Arah: Aku, Kau, dan Rahasia

Julia Rosela Kapisa
Chapter #4

BAB 3: First Date?

"Selamat malam, Gita..."

Aku memekik terkejut. Buru-buru menjauhkan ponsel dari telinga. Memastikan sekali lagi nomor telepon yang tertera di layar ponsel. Nomor tidak dikenal. Tapi aku terkejut atas dua hal. Satu, jelas karena sapaan 'Gita' di akhir kalimatnya. Ayolah! Siapa lagi kalau bukan Bam? Kedua, Bam tahu nomor teleponku?!

"Ini... Ini Bam?!" Aku tahu itu pertanyaan retoris. Entahlah. Spontan saja aku ingin memperjelasnya.

Seseorang di seberang telepon terkekeh, "Bam siapa? Ini kurir pengantar makanan, Mbak. Nih, sudah di depan rumah. Eh, boleh minta tolong dibukain pintu Mbak?" Aku membekap mulut lebih terkejut lagi. Melempar ponselku sembarangan, aku berlari menuju balkon kamarku yang kebetulan menghadap langsung ke jalan raya, ke gerbang rumah. Kubuka tirai jendela sekaligus kaca jendelanya lebar-lebar. Membiarkan semilir angin malam menyentuh permukaan kulitku yang mudah sekali kedinginan.

Di depan gerbang rumahku yang bercat hitam, di sudut dinding yang menjadi pembatas antara rumahku dan rumah tetanggaku, seseorang tengah berdiri di sana. Berdiri sambil satu tangannya menempelkan ponsel di telinga. Seseorang dengan jaket bomber warna hitam, celana jeans belel, dan kaus hitam yang bersembunyi di balik jaket bombernya. Aku membekap mulut sekali lagi. Mendadak menjadi orang paling panik sedunia.

Tentu saja aku panik! Hei, darimana dia tahu alamat dan nomor teleponku?!

Tapi bukan itu yang terpenting sekarang. Astaga! Lihatllah penampilanku! Aku sedang memakai kaus putih lusuh yang kebesaran di badanku, yang warnanya sudah tidak putih-putih amat. Bagian pundaknya bahkan berlubang kecil. Aku juga sedang memakai celana pendek yang pendeknya betul-betul jauh di atas lutut. Aku nyaris terlihat tidak memakai celana karena kaus putihku yang kebesaran sampai setengah paha. Rambutku juga sedang acak-acakan dan belum keramas seharian. Sedang kucepol sembarangan yang menyisakan banyak anak rambut di bagian samping dan bawah. Eits, jangan bayangkan penampang rambutku saat itu sudah mirip seperti gadis-gadis masa kini yang cuma mencepol sembarangan rambutnya pakai jedai saja sudah PEDE pergi ke luar rumah. Tidak. Rambutku jauh lebih berantakan dari itu. Belum lagi aku sedang memasak makan malam saat dia menelepon. Sedang menumis bawang putih, memotong daging ayam, dan tidak sengaja menumpahkan sedikit minyak wijen di ujung kaus putihku. Bau badanku pastilah sudah bau masakan.

Malam itu, malam saat pertama kalinya Bam datang mengunjungi rumahku, penampilanku justru sedang mirip sekali dengan penampilan seorang ibu rumah tangga yang kewalahan menguruh kelima anaknya. Atau seorang nany. Atau tokoh pembantu di acara ftv.

Ah, di usia-usia itu, usia remaja tanggung sepertiku dulu, penampilan seperti menjadi menu utama saat kalian menyukai atau disukai seseorang. Penampilan adalah segalanya saat menjalin hubungan. Apalagi jika hubungan itu sudah berlanjut ke tahap serius. Seseorang akan lebih rajin memoles diri. Lebih selektif memilih pakaian. Lebih pintar menjaga sikap. Meski setelah menginjak usia 25, segala perspektif itu akan berubah seiring berjalannya waktu. Sama sekali berubah. Penampilan bukan lagi hal terpenting. Boleh jadi ia akan berada di urutan terakhir. Akan ada perspektif lain yang timbul seiring seseorang beranjak dewasa. Tidak percaya? Lihat saja bagaimana kisah kami berakhir nanti!

Aku berlari tersungut-sungut masuk ke dalam kamar mandi. Cepat-cepat mencuci muka sambil satu tanganku yang lain meraih handuk. Aku menggosok gigi dan teringat betapa komporku masih menyala dengan api sedang di dapur. Maka sambil mulutku dipenuhi busa, sambil satu tanganku mengayun-ayunkan sikat gigi di dalam mulut, aku berlari menuruni anak tangga. Berlari lebih panik lagi menuju dapur kotor yang sialnya terletak agak jauh dari kamar mandiku.

Urusan membersihkan badan selesai, aku kembali ke kamar. Lupakan soal mandi. Itu tidak akan keburu. Toh, di zaman yang serba modern ini, ada teknologi bernama parfum.

Aku kembali sibuk di depan kasur. Berkutat dengan blouse-blouse milikku yang tergantung rapi di dalam lemari. Aku mengeluarkan beberapa yang paling sering kupakai. Yang paling membuatku PEDE saat mengenakannya. Sayangnya, malam itu, entah kenapa, sampai blouse terakhir yang kucoba pun, semuanya terlihat sedang tidak proporsional dengan tubuhku. Sedang membuatku terlihat amat kusam, dekil, dan tidak fashionable. Oh Key, kamu cuma akan membukakan pintu untuk Bam! Bukan tiba-tiba dilamar dia dengan membawa serombongan anggota keluarganya! Atau sebetulnya, blouse-blouse itu sudah terlihat cantik kupakai. Blouse-blouse itu membalut tubuhku seperti biasanya. Aku saja yang malam itu terlalu ingin terlihat sempurna di mata dia.

Ponselku berdering lagi. Itu jelas telepon dari Bam. Hampir lima belas menit aku mendiamkannya di luar.

Aku berdecak kesal. Berlari menuruni anak tangga. Berjalan gontai menuju ruang mencuci. Aku membuka keranjang pakaian kotor. Mengobrak-abrik sampai seluruh isinya tumpah berserakan di lantai. Tahukah apa yang sedang kucari? Setelan celana skinny berwarna hitam dan sweater rajut hipster berwarna abu-abu yang sudah kupakai dua hari lalu. Kata Grace, aku paling cocok memakai setelan itu. Lebih terlihat ramping dan elegan. Aku sendiri juga PEDE memakainya, itu yang terpenting. Ehm, meski sekarang, celana skinny dan sweater rajut itu berstatus cucian kotor. Persetan. Toh, di zaman yang serba modern ini, ada teknologi bernama parfum.

Membersihkan tubuh sudah. Mengenakan setelan baju yang menurutku paling pas sudah. Aku menyisir rambut hitam legamku serapi mungkin. Membiarkannya tergerai malam ini. Dulu, kata Ibu, aku terlihat sepuluh kali lipat lebih cantik saat rambutku dibiarkan tergerai panjang. Itulah kenapa aku hanya akan pergi ke salon dan memotong rambut setiap dua tahun sekali.

Beralih ke meja rias, aku menyapukan bedak tabur secukupnya di seluruh permukaan wajah. Tidak ingin terlihat menor di mata dia, kuputuskan cukup menggunakan bedak tabur saja malam itu. Bukan cushion, apalagi two way cake. Mengoleskan liptint dengan warna tercerah yang kumiliki, menyemperotkan parfum ke sekujur tubuhku, memakai japitan kecil di rambut bagian samping, semua aktivitas yang kulakukan demi terlihat sangat amat sempurna di mata dia malam itu lantas menghabiskan waktu...

"Dua puluh delapan menit?!" Bam membulatkan matanya saat melihatku akhirnya berdiri di depan pintu gerbang.

"Plus 2 menit untuk membuka gerbangnya. Wah, genap 30 menit sudah kamu menelantarkan kurir pengantar makanan ini, Gita!" dia menggeleng-geleng tak percaya sambil menelitiku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Aku tahu itu artinya dia sedang jengkel. Tapi dia justru tertawa menyeringai saat mengatakannya.

"Lagian, kurir pengantar makanannya datang tanpa kupesan!"

Dia menghentikan langkahnya. Tiba-tiba menatapku lamat-lamat sambil tersenyum. Astaga! Apa dia selalu sengaja melakukan itu agar pipiku terasa panas?!

"Jadi, nggak suka nih, didatangin kurir pengantar makanan seganteng ini?" ucapnya sambil bersidekap sok cool.

Aku melotot. Untuk lima detik kemudian tertawa memperlihatkan pipi yang sudah semerah kulit buah apel fuji, "Suka... suka... eh, maksudku-bukan suka juga sih...aduh, yasudahlah ayo masuk!" mati-matian aku berusaha tidak salah tingkah.

"Langsung berangkat saja, Gita."

Aku menghentikan langkah. Berbalik menatapnya bingung, "Eh? Berangkat ke mana?"

Dia tidak menjawab. Justru berjalan ke luar rumah. Ke depan pintu gerbang. Aku baru sadar. Malam itu, dia datang dengan sepeda motor. Motor bebek berwarna putih merah. Motor bebek yang enam tahun kemudian, perusahan pemroduksinya sekaligus menjadi tempat dia bekerja.

Mengutak-atik jok motornya sebentar, dia kembali sambil menenteng helm half-face berwarna merah muda. Dia tesenyum. Langsung memasangkan helm berkaca bening itu di kepalaku.

Dan aku sedikit terkesiap. Sedikit terkejut, bingung, apalagi jantungku sudah berdebar tak karuan bahkan sejak pertama kali menerima telepon darinya bermenit-menit lalu. Pipiku? Jangan ditanya lagi. Terasa panas dan nyaris mendidih. Dia sedang berdiri kurang dari satu jengkal di hadapanku. Berdiri sambil kedua tangannya cekatan mengaitkan pengunci helm. Dia juga merapikan letak anak-anak rambutku yang menganggu pandangan. Dia menyelipkan rambutku ke dalam helm. Seolah dia ingin membenahiku se-enak dipandang mungkin menurutnya. Aku bahkan bisa melihat setiap detail wajahnya dengan amat jelas. Wajahnya yang ternyata memang setampan itu. Bibirnya yang merah mengatup. Matanya yang teduh. Sepasang alis yang tidak terlalu tebal tetapi tetap terlihat menawan bagiku. Suara nafasnya. Apalagi bau parfum musk-nya yang selalu kusuka.

Atau sebetulnya, aku saja yang malam itu terlalu terbawa perasaan.

"Sudah."

"Sudah?" aku menelan ludah. Menarik nafas dalam-dalam. Berusaha tidak salah tingkah.

Dia berlalu meninggalkanku. Pergi menaiki sepeda motornya yang sekarang berhenti di halaman rumahku.

"Cepat naik, Gita! Kurir pengantar makanan ini sudah lapar."

***

Di sepanjang perjalanan, dia kembali menjadi orang paling pandai berbicara. Dia bercerita apa saja. Tentang keluarganya, tentang keempat kakaknya yang sudah menikah semua. Oh iya, dia anak bungsu dari lima bersaudara. Fakta baru yang kudapat saat untuk pertama kalinya pergi berboncengan motor dengannya malam itu. Tentang kehidupan tiga tahun masa SMA-nya. Dan tentu saja tentang grup penggemar rahasianya.

"Kamu tahu Gita? Mereka berisik sekali."

Aku tertawa. Selalu suka mendengarkan dia bercerita.

"Mereka pernah mengikutiku sepanjang aku menghabiskan makan siang di kantin sampai kembali masuk ke dalam kelas. Betul-betul diikuti, Gita."

Aku tertawa lebih kencang lagi. Bersikap seolah baru pertama kali mendengar fakta itu. Padahal, tiap hari akulah yang membantu Grace bolos kelas hanya untuk menuruti kegiatan-kegiatan unfaedah grup penggemar rahasianya.

"Mereka tidak pernah absen mengirimku hadiah-hadiah anonim, Gita. Sama seperti susu matcha darimu yang tumben sekali mencontek tradisi mereka."

Tumben? Memangnya seperti apa aku yang 'tidak tumben' versinya?

"Setiap Senin pagi, seusai upacara bendera, di lokerku selalu ada banyak hadiah yang dibungkus pakai paper bag warna-warni, atau kertas kado bergambar hati, atau transparan cuma dilapisi plastik. Isinya cokelat, susu, kue-kue, yang ujung-ujungnya kubagikan juga ke teman-teman sekelas..."

"...kecuali susu matcha darimu." Intonasi bicaranya berbeda sekali saat mengatakannya. Dan anehnya, suasana di antara kami jadi hening seketika. Mungkin dia sedang malu-malu. Mungkin terbawa perasaan sendiri. Mungkin juga sedang menahan salah tingkah.

Yang jelas, malam itu, di balik punggungnya yang kokoh mengemudi sepeda motor, aku jadi tersenyum-senyum sendiri seperti orang tidak waras. Wajahku pasti sudah bersemu merah. Untung dia tidak menyadarinya. Untung aku cepat-cepat menutup kaca helmku.

Dia, manusia pertama yang membuatku memiliki perasaan-perasaan unik ini. Perasaan paling menyenangkan di dunia. Perasaan gembira, malu, sedih, dan rindu yang bercampur aduk menjadi satu-cinta.

"Ah, Gita. Pokoknya teman-temanmu itu pandai sekali melakukan hal-hal gila. Yang terkadang kupikir sayang juga. Buang-buang duit. Cokelat-cokelat itu, kue bolu matcha, harganya pasti mahal, Gita. Lebih mahal dari uang saku anak SMA."

Aku terkekeh. Sedikit mencondongkan kepalaku ke depan. Di samping telinga kanannya, "Bam, itu artinya mereka sayang sama kamu!"

Iya, seperti aku yang teramat menyayanginya. Rasa yang tetap bertahan meski grup penggemar rahasia itu telah lama pensiun sejak dia lulus sekolah.

Dia diam tidak menjawab. Entah kepalanya sedang memikirkan apa. Aku juga diam. Sibuk menatap jalanan sekitar. Kalian tahu? Sudah hampir empat puluh menit kami pergi. Tapi selama itu, kami hanya duduk di atas sepeda motor. Duduk berkeliling Kota Surabaya yang amat meriah di malam hari. Dari Ketintang lurus ke arah Timur melintasi Royal Plaza, Stasiun Wonokromo, jembatan layang, lurus lagi menyusuri Jalan Ngagel yang lumayan panjang.

Aku jarang sekali berkeliling Kota Surabaya, kotaku sendiri. Yang ternyata lebih menyenangkan dari sekedar teleponan bersama Grace sampai larut malam, sampai Mamanya Grace marah dan mencabut sambungan wifi di rumah mereka. Atau lebih tepatnya, aku saja yang jarang keluar rumah kecuali untuk pergi sekolah. Tetapi malam itu, bersama dia, aku sekaligus menemukan hobi baru. Cara self-healing anti membosankan. Yups, berkeliling Kota Surabaya. Apalagi kalau berkelilingnya ditemani dia. Dia ternyata lebih sering lagi berkeliling Kota Surabaya. Sendirian. Sampai dia hafal betul jalan-jalan tikus, jalan-jalan petak berliku di daerah yang bukan daerah tempat tinggalnya sekalipun.

Hanya begini saja aku sudah senang. Hanya berputar-putar di jalanan tanpa tujuan pasti saja aku sudah ingin sekali mengulangi momen seperti ini besok, besok lusa, lusanya lagi, lusanya lagi, dan lusanya lagi. Asal bersama dia. Asal ada dia menemaniku.

Meski suatu hari nanti, aku mungkin harus berkeliling Kota Surabaya yang amat meriah di malam hari ini sendirian. Mengingat semua kenangan kami. Melihat bayang-bayang dia di setiap sudut kota yang kulalui. Mengenang seluruh percakapan kami yang sama sekali masih membekas dengan sangat detail di kepalaku.

"Kalau kamu Gita?" Dia bersuara lagi. Memelankan laju motornya.

"Aku?"

"Kamu kan-bukan bagian dari mereka. Eh-maksudku, kamu kan tidak gabung grup itu,"

"Iya, terus?"

"Apa kamu..." dia menelan ludah. Kurasa saat itu dia sedang menahan nerveous. Aku ikutan dag-dig-dug menunggu kalimat-kalimat dia selanjutnya.

"Apa kamu juga sayang?"

Bam, sebetulnya itu pertanyaan retoris. Kamu seharusnya sudah tahu jawabannya.

Aku termenung. Merasa mati kutu, salah tingkah, bingung, dan mungkin juga... baper di waktu yang bersamaan. Aneh saja. Dia cuma bertanya kan? Tetapi ada yang salah dari cara tubuhku merespon. Seperti sedang ada seratus kupu-kupu bersayap indah yang menari-nari di dalam perutku. Seperti sedang ada badut-badut dengan kostum paling menggemaskan yang bergantian memelukku. Tanganku berkeringat dingin. Angin malam Kota Surabaya yang seharusnya terasa hangat berubah menjadi sejuk demi mendengar pertanyaan Bam barusan.

Lihat selengkapnya