"Om Daniel, besok jadi berangkat ke Jakarta nggak?"
Bam tersentak. Dia berhenti menyendok bubur ayam. Buru-buru melirik Rafi di seberangnya. Kelihatan sekali dia sedang mendadak panik. Bila kubaca dari raut wajahnya, dia seperti ingin mengumpati Rafi tapi tentu saja tidak akan. Suaranya seolah tercekat demi memandang wajah polos Rafi yang menunggu jawaban darinya sambil tidak perlu merasa bersalah sedikitpun. Ah, namanya juga anak kecil!
Ironisnya lagi, satu-satunya manusia di meja makan itu yang tidak tahu bahwa Bam akan berangkat ke Depok tepat esok harinya adalah aku. Suasana hatiku tiba-tiba campur aduk. Seluruh ketakutanku, seluruh pertanyaan yang dua hari terakhir berusaha kusimpulkan sendiri jawabannya, topik paling cringe yang selalu kutunda untuk segera dibahas dengannya, demi mendengar kalimat Rafi barusan, seolah membuncah jadi satu. Membuncah bagai air bah.
Itukah mengapa dia sepanjang dua hari yang kami lalui tidak sekalipun membicarakan tentang kuliahnya?
"Ish, bukan Jakarta Raf! Tapi dekatnya Jakarta!" Alice melempari adiknya dengan potongan kerupuk.
"Namanya Kota Depok, sayang. Tentu saja Om Daniel jadi berangkat. Rafi besok mau ikut antar ke stasiun?" Kak Maudy membetulkan. Tersenyum mengusap mulut putranya yang belepotan bekas bubur ayam.
"Wuihh... Mau!!! Rafi mau lihat kereta api Ma!"
Kutatap dia dengan bahasa muka yang tentu saja menagih penjelasan. Dia juga sedang menatapku sama datarnya, menyandarkan bahunya ke punggung kursi. Aku tahu dia sedang mendadak kehilangan selera makan saat itu. Kami beradu tatap cukup lama di tengah meja makan yang sebetulnya riuh oleh perdebatan Rafi dan Alice tentang letak Kota Jakarta dan Depok. Lagi-lagi, kami seperti sedang bercakap-cakap melalui sebuah tatapan kosong. Sibuk merangkai asumsi-asumsi baru yang bermunculan di kepala.
Suasana berubah seribu kali lipat lebih sesak di antara kami berdua. Ketegangan, kikuk, canggung, dan sandiwara mogok bicara yang terus berlanjut sampai bermenit-menit berikutnya saat kami sudah tidak lagi berada di warung bubur ayam milik keluarganya. Di sepanjang perjalanan, dia diam entah memikirkan apa. Sama sekali dibisu oleh keadaan. Mungkin sedang mengira aku marah dan merasa tidak dianggap olehnya padahal tidak begitu juga. Aku justru bersedia mendengar penjelasannya. Kecuali suatu hari nanti, aku sungguh tidak bisa marah kepadanya.
Apalagi aku. Sudah menjadi tabiatku untuk tetap diam tidak berani memulai. Di balik punggung kokohnya yang berbalut jaket bomber hitam, aku sebetulnya hendak menanyakan banyak hal. Termasuk ke mana tujuan kami sekarang. Karena setelah kupikir-pikir, ini bukan perjalanan menuju rumahku. Dia terus ke arah Timur. Lurus menuju Surabaya Timur. Tapi suaraku tersendat. Takut hanya akan memperkeruh keadaan, kuputuskan diam.
Selama hampir dua puluh menit, kami sempurna berperang dingin. Seperti sedang ada sungai besar dan luas yang terbentang di antara aku dan dia. Yang lagi-lagi pilihannya cuma berpusat pada diriku. Lagi-lagi cuma aku yang bisa memutuskan. Apakah aku harus menyeberangi sungai itu meski aku cukup tahu diri tidak pandai berenang. Atau aku harus tetap berdiri di tepi sungai dan menjadi pecundang selamanya dengan tidak pernah mendengar penjelasan itu dari dia. Semuanya sama-sama menyakitkan dan akan mengahancurkanku.
Tapi aku keliru.
Sebenarnya, aku tidak perlu susah payah menyeberangi sungai itu. Atau belajar berenang supaya tidak tenggelam. Atau mencari perahu. Atau sungai itu tidak akan mendadak mengering hanya agar aku bisa menyeberanginya dengan selamat. Aku juga tidak perlu takut akan menjadi seorang pecundang karena memutuskan tidak menyeberanginya. Eh, memutuskan? Bahkan tidak ada yang perlu kuputuskan dalam urusan ini. Kenapa? Karena sejatinya, tidak ada penjelasan yang harus kudengar darinya hari itu.
Sungai itu, sungai yang kukira ada dan membentang luas menciptakan jarak di antara kami, sebenarnya cuma intuisiku saja. Kupikir dengan aku tidak tahu soal keberangkatannya Ke Depok yang ternyata sudah sedekat itu, artinya aku tidak dianggap penting. Artinya aku bukan siapa-siapa baginya. Padahal seandainya aku bisa berpikir lebih rasional lagi, ini bukan sepenuhnya salah Bam. Aku ikut bersalah karena kalian tahu sendiri kan? Dulu aku setidak berani itu memulai duluan. Aku bisa saja kemarin-kemarin menanyakan tentang kuliahnya. Tentang kapan dia akan berangkat ke Depok. Itu mudah sekali bukan? Tapi aku tidak pernah berani melakukannya.
Dulu, satu-dua tahun pertama kami, aku pernah setakut itu akan mengganggu hidupnya.
Sebenarnya lagi, dia kebetulan punya timing-nya sendiri untuk menceritakan segalanya padaku yang sayangnya pagi itu telah didahului oleh Rafi.
***
Surabaya North Quay. Pernah dengar? Ya... Pasti pernahlah!
Tapi kalau ternyata belum, coba deh, sekarang, ambil handphone, buka mbah google, ketik 'Surabaya North Quay', lalu tekan search. Gimana? Sudah muncul kan? Bagus nggak?
Sore itu, ternyata ke sanalah tujuan kami.
Oh iya! Selain warung bubur ayam milik keluarganya, nanti-nanti aku juga akan sering datang ke tempat ini.
Kami berdiri di atas dek Kapal. Namanya Kapal Artama 3. Kapal cruise yang kebetulan sedang beroperasi sore itu. Eh, kapal itu memang cuma beroperasi di sore hari sih. Setiap Sabtu dan Minggu pukul 15.00-17.00. Harga tiketnya tujuh puluh lima ribu per orang. Berlayar mengelilingi Selat Madura selama satu jam. Tidak akan berangkat sebelum terkumpul setidaknya 30 penumpang. Lihat! Saking seringnya, aku sudah mirip seperti petugas marketing di sana. Aku lebih dari hafal tentang Surabaya North Quay. Pelabuhan termegah di provinsiku. Tempat melihat sunset favoritku selain Bali. Sudut-sudut yang kemudian penuh sejarah bagiku dan dia.
Kapal itu memang didedikasikan untuk kapal wisata. Punya restorasi, kamar mandi, TV, Cafe, dan AC di setiap bidangnya. Tapi kami justru berdiri di dek terluar. Dek paling atas.
"Kamu tahu Gita? Manusia selalu membuat banyak rencana seolah hidup ini betul-betul milik kita seutuhnya. Padahal, sejak kita masih di dalam rahim, semuanya telah diatur." Dia berdiri di tepian dek kapal. Berdiri menghadap laut, berpegangan pada pagar besi yang terpasang di sepanjang tepian dek.
"Tadinya, aku memang mau mengatakan segalanya di tempat ini, Gita. Membicarakan tentang kuliahku..." dia berbalik. Terkekeh menatapku. Rambut hitamnya yang diterpa angin kencang terlihat berombak-ombak kesana kemari. Ganteng.
"Tapi... mau bagaimana lagi? Semesta ternyata punya rencana yang berbeda denganku." dia mengedikkan bahu. Berbalik lagi menatap air laut yang warnanya biru pekat.
Aku menatap siluet tubuhnya dari samping. Rasanya, meski kami jelas-jelas sedang berada di tempat dengan view yang dalam keadaan normal aku pasti akan jatuh cinta, aku tetap lebih suka memandangi dia. Memperhatikan setiap lekuk wajahnya mumpung dia sedang tidak menoleh ke arahku. Ah, gimana bisa sih, manusia sesempurna dia justru memilih gadis yang biasa-biasa saja sepertiku? Kayaknya, di sekolah kami dulu masih banyak deh, gadis-gadis yang lebih segalanya dariku. Yang kepribadiannya lebih baik dariku. Yang tidak introvert sepertiku. Yang sehebat dan sediidolakan dia apalagi, buanyak banget! Tidak akan bisa kuhitung dengan jari. Aduh, apa sih yang dia lihat dariku? Dan jawabannya baru kudengar di akhir cerita kami.
Dia melepas jaket bomber hitamnya. Menyampirkannya di salah satu pundak. Menyisakan kaus hitam berlengan pendek yang menurutku selalu membuat dia terlihat seribu kali lipat lebih tampan. Ngomong-ngomong, dia kan memang selalu pakai baju warna hitam. Aku jadi berpikir, itu kaus hitamnya memang dia punya banyak atau jangan-jangan dia cuma punya satu dan selalu dipakai terus? Eh, nggak pernah dicuci dong?
"Semesta kan memang selalu punya banyak kejutan buat kita?" aku berusaha mencarikan suasana. Berusaha menjelaskan betapa bukan dia satu-satunya yang bersalah di antara kami. Aku berdiri lebih dekat di sampingnya. Ikut menatap air laut berwarna biru pekat yang sekarang dihiasi buih-buih putih karena tentu saja Kapal Artama 3-nya sudah mulai berlayar membelah lautan.
"Kalau tidak ada kejutan, mana seru hidup ini? Mana ada yang bisa diketawain? Yang besok-besok jadi bisa bikin kita belajar, bahwa diri ini masih banyak banget kurangnya."
Keren kan kata-katanya? Ya iyalah. Kalimat itu kebetulan mampir di beranda twitterku dua hari lalu.
"Kamu tidak marah Gita?"
Aku mencebik ke arahnya. Memasang wajah sekesal mungkin, "Sedikit." Tetapi lima detik kemudian aku justru tertawa menyeringai. Dia juga.
Seandainya dia tahu, aku sedang segelisah itu memikirkan hari-hari esok tanpa melihat dia lagi. Hari-hari di sekolah tanpa datang pukul 07.50 atau pergi ke kantin di hari Jumat. Tidak mungkin kan dia cepat pulang? Setidaknya butuh waktu enam sampai delapan bulan. Walau ternyata dia butuh waktu lebih lama dari itu.
Di menit-menit berikutnya, kami lebih banyak diam. Diam menikmati pemandangan yang sungguh menakjubkan karena kebetulan kapal itu sedang melintasi Monumen Jalasveva Jayamahe. Dia kembali asyik berpegangan pada pagar besi yang melintang sepanjang tepian dek. Aku jadi ikut-ikutan memasang ekspresi 'menikmati pemandangan' seperti yang dia lakukan. Aku berpegangan pada pagar besi. Mengikuti semua gerak-geriknya . Ini sekaligus pengalaman yang langka bagiku karena jujur, meski telah tinggal di Surabaya selama 17 tahun, itulah pertama kalinya aku datang ke Pelabuhan Tanjung Perak, ke SNQ. Juga pertama kalinya aku naik kapal cruise. Yang ternyata amat menyenangkan meski biayanya dulu masih terbilang sangat mahal bagi kami anak SMA. Ehm, meski menyenangkannya lebih karena ada dia di sampingku.
Kapal itu melintas ke Jembatan Suramadu. Di bawah atap kokoh jalan raya yang melayang menghubungkan Pulau Jawa di Surabaya dan Pulau Madura di Bangkalan. Lagi-lagi aku baru tahu, di Surabaya, ada tempat semengagumkan ini selain kawasan-kawasan perumahan elit di daerah Surabaya Pusat. Ah, jembatan itu lantas membuatku nyaris mati diserang penyakit jantung bermenit-menit berikutnya. Nyaris membuatku terjun ke perairan Selat Madura yang dalamnya bisa berpuluh-puluh meter.
Dia tiba-tiba merapatkan tubuhnya di sampingku. Membuat tidak ada lagi jarak di antara kami berdua. Dia mengenggam tangan kananku. Jari-jari tangan kirinya sekarang sempurna berpilin dengan jari-jari tangan kananku.
Aku termangu. Buru-buru memeriksa genggaman tangan kami dan wajahnya secara bergantian.
"Gita, apa aku masih harus menjelaskannya?"
"Apa?"
Dia tersenyum. Senyuman menyenangkan itu lagi, "Seberapa penting kamu buatku."
Aku tersenyum menantang. Walau sebetulnya jantungku sedang dag-dig-dug tidak bisa diajak berkompromi, "Ish... memangnya sepenting apa? Besok kamu berangkat ke Depok saja aku baru tahu H-1!" aku mencebik lagi. Sungguh, itu cuma bercanda.
Dia tertawa. Menatap wajahku lamat-lamat. "Sepenting ini," dia maju selangkah lagi.
Cup!
Detik itu juga, aku ingin waktu berhenti untuk kami. Untuk satu menit ke depan. Untuk satu jam. Untuk satu hari. Atau kalau bisa berhenti untuk selamanya.
Tiba juga di bagian itu. Bagian yang sebetulnya ingin sekali kupotong dari teka-teki cerita kami. Tapi tentu saja tidak akan. Nanti kalau kupotong, ceritanya pasti akan menjadi buntu. Lagipula, aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk menuntaskan segalanya hari ini. Menutup rapat-rapat buku yang meski kubaca berulang kali pun ending-nya akan tetap sama. Sekarang, ketika menulisnya pun, suasana itu, desiran aneh yang muncul di dadaku atas apa yang dia lakukan hari itu, semuanya seperti bisa kurasakan kembali. Semuanya masih tergambar dengan jelas. Sejelas bagaimana dia dan aku telah berakhir untuk selamanya.
Ini salah satu bagian yang kubenci dari menulis tentang dia. Aku benci sekali harus mengakui betapa aku dan dia pernah melangkah jauh. Jauh sekali. Sampai kami sama-sama lupa jalan pulang. Sebetulnya, aku memang tidak ingin pulang. Aku tidak ingin kembali di titik di mana aku dan dia bukan dua orang yang saling ingin menghabiskan sisa hidup bersama. Meski sudah sangat jauh, aku ingin terus melangkah lebih jauh lagi. Aku yakin sekali, di depan sana ada janji-janji kehidupan yang menyambut kami. Dia juga.
Tapi Dia berbeda. Aku tidak bilang dia ingin pulang. Tidak. Bahkan di antara kami, dialah yang paling ingin melawan takdir. Tentu saja itu tidak bisa. Dia memang harus pulang.
"Besok banget ya?" ucapku menyudahi perilakunya yang mendadak padaku barusan.
Dia mengangguk.
"Kenapa buru-buru banget? Bukankah semester awalnya baru akan dimulai bulan Juli? Ini masih bulan April kan?"
"Wah, kamu bahkan sudah cari tahu tentang itu, Gita."
Aku diam. Toh, kami sudah saling tahu sama tahu sekarang.
"Aku harus bekerja, Gita."
"Kerja?"
Dia mengangguk lagi, "Aku punya waktu menganggur lebih dari dua bulan. Ya... kenapa tidak digunakan untuk sesuatu yang bermanfaat? Cari uang misalnya."
"Tapi... tapi kenapa harus jauh-jauh ke Depok? Kalau cuma mau mengisi waktu dua bulan, di Surabaya juga banyak lowongan pekerjaan."