Bulan Januari, tahun selanjutnya.
Awal tahun yang justru disambut dengan hujan deras di seluruh sudut Kota Surabaya. Pesta euphoria malam pergantian tahun dua hari lalu seolah banyak berhutang pada semesta. Ia menebusnya dengan pagi yang berkabut, awan hitam menggumpal walau jam menunjukkan pukul 07.30. Suara petir bergemuruh silih berganti sejak aku bangun Subuh tadi.
Sepagi ini, tak banyak pengemudi sepeda motor yang seperti hari-hari lalu memadati setiap jengkal perempatan lampu merah. Pengamen jalanan terpaksa menepi di emperan toko. Pedagang kaki lima, ketoprak keliling, gerobak soto, urung menjajakan dagangan mereka. Hanya beberapa truk tronton bermuatan besar, mobil-mobil mewah kelas pejabat, satu-dua taxi bercat biru yang masih kentara mengisi lalu lintas. Lengang. Pembuka tahun yang lengang.
Sama lengangnya dengan ruangan konseling sekolahku yang dua minggu terakhir kosong akibat cuti pergantian semester. Hening. Seakan tidak ada yang berani bersuara kecuali denting jarum jam.
Oh iya, sekarang aku sudah resmi menjadi siswi kelas dua belas. Sudah berlalu satu semester malah. Tinggal menghitung hari dimana serentetan ujian kelulusan itu datang. Ujian praktik, UAS, UASBN, UN, apalagi ujian masuk perguruan tinggi.
"Yakin tidak mau ambil SNMPTN-nya Key? Ini kamu masuk 100 besar peringkat paralel sekolah loh! Sudah memenuhi syarat untuk daftar SNMPTN. Nggak sayang?" Bu Anjar guru pembimbing akademikku selama tiga tahun bersekolah di sini angkat bicara atas keputusanku tiga minggu lalu untuk tidak mendaftar ke jalur nilai rapor.
Aku mengulum senyum. Menggeleng sesopan mungkin sambil menatap wajah Bu Anjar yang masih berusia akhir dua puluhan.
"Nggak mau dipikir-pikir lagi? SBMPTN itu saingannya lebih banyak, Key. Lebih bejo-bejoan lagi ketimbang SNMPTN. Kalau tidak lolos, ya... terpaksa harus masuk jalur mandiri dan itu biayanya mahal sekali, Nak."
Aduh, bagaimana ya cara menjelaskannya ke Bu Anjar? Masalahnya, sampai di titik ini, kentara sekali Bu Anjar sangat berbeda pemikiran denganku. Begini ya, menurutku, tidak ada yang namanya bejo-bejoan. Tidak ada usaha yang akan mengkhianati hasil. Kalau kita sibuk memantaskan diri, bekerja keras, dan berdoa, tidak ada yang tidak mungkin. Termasuk mengalahkan saingan kita di luar sana yang justru sibuk menjadi orang bejo. Makan, rebahan, scrolling sosmed, dan baru sadar kalau akan ujian setelah H-1. Lantas bingung, buru-buru download materi ujian, tapi sudah terlambat. Jam-jam segitu bukan lagi waktu yang tepat untuk belajar, baiknya digunakan untuk menenangkan pikiran. Teori sistem kebut semalam? Kalau kamu bukan Albert Einstein, jangan coba-coba deh! Sudah keteteran begitu di hatinya masih sempat merapalkan sebuah doa pula, 'Pasrah deh. Semoga kali ini bejo,' 'Semoga besok cap-cip-cup kembang kuncupnya bertuah,' atau 'Kan kemarin Bapak sudah pergi ke Mbah Dukun. Tidak usah belajar pun sudah pasti lolos'. Yang benar saja! Bukan begitu cara mainnya. Semesta tidak pernah tidur. Semesta suka orang yang bersungguh-sungguh.
Aduh, kenapa jadi gibahin orang bejo sih?
"Memangnya apa alasan kamu tidak ambil SNMPTN, Key?"
Aku mendengus kecil. Satu lagi nih, sesuatu yang bila kukatakan, akan seratus persen ditentang Bu Anjar.
"Saya mau lintas jurusan, Bu."
Bu Anjar berhenti mengetik. Kedua alisnya terlihat menyatu. Sambil berusaha merangkai kalimat, ia menatapku penuh selidik.
"Mau ambil jurusan SOSHUM, begitu, Key?"
Aku menganggguk.
"Memangnya mau ambil program studi apa? Aduh, kamu itu lucu, Key. Di saat semua siswa dari jurusanmu berlomba-lomba ingin masuk kedokteran, ingin masuk fakultas teknik universitas negeri, kamu justru membuang kesempatan itu tanpa ampun. Seolah tiga tahun yang kamu habiskan tidak berarti apa-apa. Iya kalau kamu itu peringkat 200-an di paralel sekolah, tidak bisa daftar SNMPTN, Ibu masih bisa memaklumi. Tapi kamu peringkat 48 sejurusa n IPA, Key. Lihatlah! Sekarang, kamu malah memutuskan bermurtad dari jurusanmu. Ibu sungguh tidak mengerti dengan kamu, Keygita."
Beuhh... 48. Bam saja yang peringkat 2 sejurusan IPS dulu tidak lolos, apalagi aku.
Aku menunduk. Tidak tersinggung apalagi akan berubah pikiran. Keputusanku untuk bermurtad dari jurusanku sifatnya sudah final.
Tapi itu dia masalahnya. Soal program studi, aku belum kepikiran. Intinya, aku sudah pasti akan lintas jurusan. Sepertinya pun, selama ini, selama tiga tahun menjadi anak IPA, aku justru salah masuk jurusan. Mata pelajarannya tidak ada yang membuatku merasa 'klik' sama sekali. Jangankan klik, belajarnya saja aku tertekan. Ogah-ogahan banget kecuali itu pekan-pekan ujian. Pusing tujuh keliling kalau sudah disuruh mengingat rumus. Tidak bisa seperti teman-teman di kelasku, anak IPA pada umumnya yang loockscreen ponselnya saja sampai menggunakan tabel unsur senyawa kimia. Sudah begitu, setiap harinya, setiap pelajaran di dalam kelas, semakin aku mendalami materinya, semakin sering pula satu pertanyaan ini terlintas. Pertanyaan tentang, 'Aduh, belajar ilmu eksak begini, menghafal tabel periodik, menggambar rangka tubuh manusia, buat apa sih kalau nantinya nggak jadi dokter? Nggak jadi pharmacist? Memangnya, dulu Presiden juga hafal rumus campuran molekul gitu?
Atau sebetulnya, ada alasan lain kenapa aku ingin sekali bermurtad dari jurusanku. Alasan yang aku sendiri dulu malu mengakuinya.
"Bukan ilmu sains-nya yang nggak berguna, Gita. Itu tandanya, kamu memang anak sosial banget. Jadi buatmu, sains itu nggak bikin kamu berkembang. Padahal sih, coba kalau nggak ada sains, mana tahu kita bumi itu bulat atau datar?"
Sembilan bulan setelah keberangkatan Bam ke Kota Depok. Sembilan bulan pula kami tidak bertemu. Tapi selama itu, kami tidak sekalipun putus kontak atau aku juga tidak sedetik pun ketinggalan kabarnya di Depok sana. Janji yang dia pegang demi selalu memakai jam tangan dariku. Jam tangan yang akhir-akhir ini diberi nama 'G' bacanya 'Ji'. Maka tiap hari pula aku mendengar, 'Gita, aku sudah memakai G seharian penuh.', 'Gita, ada temanku yang mau membeli G, katanya barang antik. Boleh nggak?', atau 'Gita, sepertinya G sudah waktunya ganti baterai.'
Aduh, dia itu memang suka sekali memberi nama barang-barang.
Setiap hari kami chatting, meski tidak setiap menit juga. Dia biasanya baru bisa buka aplikasi chatting dan menghubungiku setelah pukul delapan malam. Setelah rutinitas kampus dan pekerjaan paruh waktunya selesai. Dia memang sesibuk itu di sana. Jadwal kuliahnya sebetulnya tidak padat-padat benar, cuma empat hari dalam seminggu. Pukul tujuh pagi sampai pukul dua siang. Tapi dia ikut banyak organiasasi. BEM, volunteer, dan tentu saja UKM Paduan Suara. Dulu, aku tidak tahu dan tidak kepikiran untuk bertanya kenapa dia tidak lagi main basket setelah jadi mahasiswa. Entahlah. Mungkin karena itu lebih bikin capek?
Belum lagi setelah pulang ke kamar kosan, masih ada seabrek deadline-deadline kerjaan paruh waktu yang biasanya bikin dia sampai minum obat sakit kepala.
Dia sengaja hanya mengosongkan jadwal setiap Jumat malam dan Sabtu malam. Jumatnya, dia gunakan untuk bersosialiasasi dengan kehidupan sekitar. Pergi makan nasi goreng bersama teman-temannya, jalan-jalan keliling kota Depok, atau melakukan apalah untuk refreshing. Sabtu malamnya, itu sempurna milikku. Kami bervideo call setiap Sabtu malam. Meski terpisah ratusan kilometer di provinsi sebelah, aku dan dia justru selalu melalui satnight bersama. Ya... supaya kelihatan seperti pasangan-pasangan ABG pada umumnya kan? Yang ngedate-nya setiap hari Sabtu malam? Eh, nggak juga sih. Grace dan Kafi malah setiap hari.
Dia menceritakan apa saja yang tidak cukup kalau cuma dibahas lewat chat. Ini sih bagian favoritku. Satu hal yang paling kutunggu-tunggu selama seminggu penuh. Aku selalu suka mendengarkan dia bercerita. Aku selalu ingin tahu bagaimana harinya. Is it fun or is it bad? Is something wrong? Is someone bothering him?
Dahulu, aku sepertinya pernah menjadi orang yang paling ingin menemani dia sepanjang waktu. Seseorang yang paling bersedia menerima hitam putih hidupnya. Seseorang yang akan setiap hari mengingatkannya: Bam, tidak apa-apa. Hidup tidak akan selalu berjalan mulus. Kalau sekarang senang, berarti kemarin sudah ada sedih yang terlalui. Kalau sekarang sedih, berarti akan ada hari esok yang lebih menyenangkan. Tapi jangan terlalu senang! Hukum alam kan selalu bekerja. Sekarang senang. Besok sedih. Besok senang lagi. Besok sedih lagi. Begitu seterusnya sampai minyak goreng menyatu dengan air.
Aku tersenyum pongah. Lebih mendekatkan wajahku ke layar laptop, "Memangnya bulat atau datar?" ucapku mencebik. Memasang wajah semenantang mungkin. Meski sejujurnya, aku, bahkan semua orang juga tahu jawabannya. Halah... itu kan tebak-tebakan anak SD.
Dahinya terlihat berkerut, "Lah yang anak IPA siapa coba? Kok malah tanya aku?"
"Yah... Aku sih bukan anak IPA sungguhan, tapi anak IPA kesasar! Nih, malah sudah mau berbalik haluan ke posisi seharusnya."
Dia di seberang telepon tertawa, "Kamu seyakin itu mau lintas jurusan ya, Gita?"
Aku mengangguk, "FIX. NO DEBAT! "
"Bukan karena aku kan?"
Aku diam tidak langsung menjawab. Kenapa juga dia harus tanya begitu kalau dia sendiri sudah tahu jawabannya? Dulu, aku terlalu malu mengakuinya. Ke orang lain apalagi ke diriku sendiri. Mengaku kalau aku selalu ingin sama dengan dia.
"Gita, walau menurutmu selama ini kamu salah jurusan, tapi semua orang tahu kamu itu pintar di IPA. Buktinya kamu masih bertahan sampai sekarang. Kamu sudah melalui itu selama tiga tahun. Naik-naik kelas aja tuh? Kamu sekarang bahkan masuk peringkat 100 besar paralel sekolah, Gita. See? At least you can survive..."
"Kalau kamu pindah, itu sama saja dengan memulai lagi dari nol."
Aku tersenyum. Senyuman yang sedikit kupaksakan karena sebetulnya kalau bukan dia yang sedang berbicara, aku sudah pasti akan marah dan jadi judes.
"Ish... Bam, lagian siapa juga sih yang nggak ingin jadi seperti kamu? Mahasiswa kampus terbaik gitu loh! "
Mimik wajahnya berubah aneh sekali, "Tapi yang kutangkap bukan begitu alasan kamu, Gita."
Memangnya kenapa? Kenapa kalau ternyata bukan karena itu alasannya? Bukan karena aku betul-betul ingin menjadi mahasiswi kampus terbaik.
Aku suka kampus itu. Jelas sekali. Siapa sih yang tidak mau berkuliah di sana? Semua orang dari beribu-ribu belahan Indonesia pun pasti akan berlomba-lomba mendapatkan satu kursinya. Tapi alasan itu, alasan 'siapa sih yang tidak mau berkuliah di sana?' sebetulnya cuma kujadikan tameng karena dulu aku terlalu malu mengakuinya. Aku malu mengakui kalau sebetulnya bukan karena kampusnya adalah yang paling ngetop di Indonesia, bukan. Kalau masalah ngetop-ngetopan, di Surabaya juga lebih banyak lagi kampus ngetop.
Tapi karena ada dia di sana.
Rasanya, apapun yang berkaitan dengan dia selalu menyenangkan. Rasanya lagi, Kota Surabaya akhir-akhir ini jadi tidak seru. Perempatan jalan yang biasanya memang sudah macet jadi makin sumpek dan gerah. Lampu-lampu kota tidak bersinar seperti biasanya. Nasi bebek madura terasa hambar. Kalau yang ini, entah karena aku sudah keseringan memakannya atau memang karena tidak ada dia lagi di kota kami.
Apalagi sekolahku. Ah, sulit sekali membiasakan hari tanpa dia di sekolah. Satu-dua minggu pertama, aku malas sekali berangkat sekolah. Pernah tidak masuk sehari dengan iming-iming pelajarannya cuma seni budaya, olahraga, dan kewirausahaan. Maksudku, bukan mata pelajaran yang akan di ujian nasionalkan, jadi menurutku tidak apa-apa kalau kutinggalkan. Eh, sobat, yang ini jangan ditiru ya! Semua pelajaran itu penting. Serius deh.
Atau aku yang dulunya jarang-jarang ikut kegiatan sekolah jadi semakin tidak pernah lagi menunjukkan batang hidungku sebagai seorang panitia. Ya... buat apa? Tidak ada lagi yang kunanti-nanti kehadirannya di setiap classmeet, seminar, pertandingan basket, atau dies natalis sekolah. Hari-hari tidak efektif seperti hari pemilihan ketua osis yang memberikan banyak jam kosong, hari rapat dinas para guru, atau hari-hari saat di Kota kami pernah ada demo besar-besaran, aku memilih bolos. Aku juga malas sekali pergi ke kantin. Malas nemenin Grace ke mana-mana kalau lagi di sekolah. Entahlah, semuanya menjadi tidak seru karena tidak ada dia lagi.
Pokoknya, Keygita totally becoming a loser sejak Bam lulus.
Padahal, itu justru tahun terakhirku di SMA.
"Bam, mungkin aku memang baru nemuin jati diriku sekarang. Jati diriku yang sebenarnya lebih pantas jadi anak sosial."
Dia mendengus. Dia sepertinya ada di pihak Bu Anjar dalam urusan ini. Menentangku untuk lintas jurusan.
"Aneh kamu, Gita. Kalau merasa tidak cocok, kenapa nggak dari awal saja kamu pindah ke IPS? Kenapa baru sekarang? Kamu tahu sudah berapa banyak waktu dan tenaga yang kamu buang? Tiga tahun itu bukan waktu yang sebentar, Gita..."
"Tapi tiga tahun waktu yang cukup untuk menemukan jati diri, Bam..." masuk akal juga pembelaanku kali ini.
"Gita..."
"Bam, jadi kamu nggak yakin aku bisa?" entah setan bodoh dari mana yang berani merasukiku.
Hening. Speaker laptopku berhenti berdesing. Tandanya tidak ada lagi suara yang perlu dipantulkan.
Dia diam menatapku lamat-lamat melalui perantara layar. Aku juga. Seperti biasa, kalau atmosfer sedang berkali-kali lipat meningkatkan suhunya di antara kami, kami selalu sibuk bercakap-cakap melalui tatapan kosong. Menyalurkan segala asumsi yang tidak pernah bisa dikatakan lewat mulut.
"Aku tahu itu kampus terbaik Bam, bahkan fakultas ekonomi terbaik. Tapi semua orang punya kesempatan yang sama kan?"
"Maksudku bukan seperti itu, Gita..."
Bodohnya dulu aku sama sekali tidak mempercayai kalimat itu dan langsung tersinggung atas prasangka burukku sendiri. Yang ada di pikiranku dulu, ya wajar saja dia tidak yakin dengan kemampuanku. Dia dan aku kan memang berbeda levelnya. Dia siswa terpandai di jurusannya sedangkan aku pas-pasan. Bisa-bisanya siswi yang biasa-biasa saja macamku berani mempertaruhkan diri di kampus terbaik. Pakai acara pindah jurusan pula.
Padahal, jika dulu aku bisa berpikir lebih jernih lagi, Ya Tuhan, saat itu seharusnya aku sadar. Dia bahkan satu-satunya seseorang yang kumiliki. Dia diam-diam mengambil alih tugas Ayah dan Ibu dalam menjagaku meski tidak ada yang menyuruhnya sekalipun. Dia satu-satunya yang bisa kuandalkan dalam hidupku saat itu. Dia melarangku lintas jurusan karena dia sedang menjalankan tanggung jawabnya untuk menjagaku.
Aku menggeleng kencang-kencang, "Aduh, sudah ya Bam? Sudah malam dan aku ngantuk sekali. Besok aku harus bangun pagi-pagi banget karena Grace tumben sekali ngajakin jogging."
Sudah ya, aku tidak ingin kita bertengkar cuma gara-gara ini. Tapi urung kukatakan.
Aku segera menekan tombol leave di aplikasi video call. Tidak merasa perlu mendengarkan penjelasan darinya, minta maaf, apalagi repot-repot say good night.
Mana ada ini sudah malam? Masih jam sembilan kurang lima menit pula. Biasanya juga video call sampai larut sekali. Sampai aku ketiduran dan dia ujung-ujungnya bervideo call dengan tembok kamarku. Mana ada aku mengantuk? Paling-paling habis ini juga mengadu ke Grace. Teleponan sampai pagi sambil menceritakan semua asumsi bodohku tentang dia.