Arah: Aku, Kau, dan Rahasia

Julia Rosela Kapisa
Chapter #7

BAB 6: One in Million

"Ibu, nggak ada kabar dari Bam ya?" Aku berdiri di samping Ibu. Ikut meracik berporsi-porsi bubur ayam. Satu tanganku menyendok ayam suwir. Tangan yang lainnya menaburkan bawang goreng.

"Kok tanya Ibu? Bukannya setiap hari kalian ngobrol?"

Ibu lebih sibuk lagi. Kedua tangannya super cekatan. Sambil satu tangannya menuangkan bubur hangat ke dalam mangkuk, tangannya yang lain menulis pesanan. Sudah begitu, kepalanya sibuk menghitung kembalian pelanggan yang kebetulan hendak membayar pula.

Aku sering sekali datang kemari. Tidak setiap hari juga sih. Tapi aku juga tidak punya jadwal tertentu untuk datang. Bisa dua hari sekali. Bisa tiga hari berturut-turut. Atau bisa satu minggu sekali. Bisa membawa Grace. Bisa sendirian. Entahlah. Spontan saja ide itu muncul. Aku selalu datang untuk bertemu Ibu. Untuk membantu Ibu ribet-ribet melayani seisi warung. Untuk cerita panjang lebar bersama Ibu tentang apa saja. But, it's mostly about him.

Ya... memangnya siapa lagi tokoh utamanya?

"Eh, maksud Key--apa Bam tidak memberi tahu Ibu kapan dia akan pulang ke Surabaya?"

Ibu tidak menatapku. Tangannya sibuk. Tapi Ibu samar-samar masih mendengarkanku. "Terakhir kali berbicara di telepon--dia tidak bilang apa-apa kecuali 'kangen', Key."

Aku melenguh panjang. Sudah bisa menebak akan seperti itu lagi jawabannya. Pertanyaan itu, pertanyaan yang selalu kuulang-ulang setiap datang kemari. Pertanyaan tentang kepulangan Bam. Itu juga topik yang selalu kami bahas setelah punya waktu luang di warung.

"Dua hari lagi Key diwisuda,"

Ibu menghentikan aktivitasnya. Termangu. Tubuhnya yang tambun berubah menegap.

"Dua hari?" Aku tersenyum mengangguk.

Dua hari lagi menuju perpisahan angkatanku. Wisuda, pengumuman kelulusan, prom night dan serangkaian acara farewall party yang sengaja diadakan dalam satu hari. Hari itu pula hasil SBMPTN diumumkan. Artinya, selain akan punya status baru sebagai seorang alumnus, aku mungkin juga akan menjadi maba. Mungkin. Kalau kampus terbaik itu sungguh menerimaku.

Aduh, lagian siapa suruh sih, pesta kelulusannya dijadikan satu hari dengan pengumuman SBMPTN? Sambil dansa-dansa, kita dag-dig-dug nungguin pengumuman gitu? Sambil foto-foto bareng bestie, ada yang tiba-tiba menangis histeris karena baru saja membuka portal pengumuman dan... boom! Dapat lampu hijau. Atau ada yang tiba-tiba terduduk lemah. Wajahnya murung. Sudut matanya terasa berdenyut. Sambil mendengar musik yang sengaja diputar kencang-kencang, ia justru memaksa pulang. Mendadak jadi orang paling nggak mood hidup sedunia. Bagaimana tidak? Ia habis dapat lampu merah.

"Apa Bam tahu?"

Aku mengangguk lagi. Tentu saja dia tahu.

"Aduh... gimana sih anak itu? Sudah tahu acara penting seperti ini malah tidak pulang. Ibu itu kadang terlalu capek melihat dia, Key. Dia terlalu ambisius. Terlalu sibuk cari uang. Padahal, kan, uang kuliah juga sudah ditanggung pemerintah. Dia tinggal belajar. Tinggal pulang kalau memang waktunya pulang..." Ibu berhenti ngomel sebentar.

"Sudah mbak?"

Mbak-mbak yang berdiri mendatangi kami untuk membayar itu tersenyum tipis. Menyebutkan jumlah porsi yang ia beli.

"Semuanya Rp 52.000, Mbak." Ibu menerima uangnya. Memberinya kembalian delapan ribu rupiah. Pulanglah Mbak-mbak yang menggandeng dua anak berseragam TK itu.

"Ibu itu tahu Key, dia di sana sedang liburan semester. Sudah selesai UAS. Sudah tidak ada lagi kegiatan di kampus sampai satu setengah bulan ke depan. Harusnya kan pulang saja dia?"

Eh, kenapa jadi aku yang diomelin Ibu? Aku diam. Tidak berani menjawab. Meski aku sepenuhnya tahu betul sedang apa Bam di sana. Tentu saja libur-libur begini dia memilih menambah target pekerjaan paruh waktunya. Semakin banyak yang dapat dia selesaikan, semakin banyak pula bayarannya.

Tapi separuh akalku sedikit membenarkan Ibu. Dia itu terlalu. Bukan, bukan cuma masalah uang. Dia itu terlalu memforsir diri. Seperti yang pernah dikatakannya, dia selalu ingin mencoba banyak hal. Menambah pengalaman baru. Dia tidak suka hari-harinya berlalu tanpa menghasilkan output. Dia seperti sudah lupa caranya rehat. Self-healing. Apalagi muluk-muluk pulang ke Surabaya. Inilah kenapa saat Grace dan lainnya memuji betapa dia sesempurna itu, aku benar-benar tidak setuju. Dia itu sebetulnya banyak kurangnya. Banyak malah. Karena dia memang cuma manusia biasa. Bukan Dewa. Bukan malaikat. Bukan pula seorang presiden yang di pundaknya telah menggantung banyak harapan.

"Ya sudah, nanti-nanti biar ibu bicara sama dia, Key. Sudah lama dia tidak kena marah."

Aku menggeleng tidak setuju. Sekarang aku jadi ikut-ikutan ragu. Apakah aku memang sepenting itu buatnya? Aku merasa sedang bersaing dengan kehidupannya yang serba hebat di Depok sana. Kehidupan yang membuat dia amat terlarut. Kehidupan yang lebih bisa menjanjikannya banyak hal daripada apa yang bisa kujanjikan.

Ponselku berdering. Telepon dari Bam. Apa akhirnya dia kerasa juga sedang diomongin dari jauh? Tapi kureject. Aku sedang termakan suasana. Terpancing dengan omongan Ibu yang bilang bahwa dia itu terlalu. Jadi ikut-ikutan badmood. Jadi ikut-ikutan marah padanya.

See? How did I ever look young and dumb and childish of course!

"Biar. Biar saja, Ibu. Kalau dia ingin, dia pasti datang."

***

Dan dia betul-betul tidak datang.

Aku berharap prasangkaku selalu keliru tentangnya. Setiap kali merasa terpinggirkan oleh mimpi-mimpi yang sedang dia usahakan di Kota Depok sana, aku berulang kali meneguhkan hati. Mengingat sekali lagi kata-katanya: 'Kamu adalah tokoh utamaku, Key. Apapun yang ada dalam hidupku selalu tentang kamu.' Apa itu sebatas kalimat penghibur? Apa semua laki-laki memang pandai membuai dan aku baru tahu? Apa semua laki-laki pada akhirnya sama saja?

Tapi dia itu Bam. Manusia yang paling pandai membuatku yakin menggantungkan seluruh duniaku padanya. Dan karenanya, karena dia pergi, tidak ada lagi yang menarik dari Kota Surabaya. Tidak ada. Karenanya, Kota Depok terdengar seribu kali lipat lebih menyenangkan bagiku sekarang. Karenanya, Kota Depok menjadi selalu di hati. Karenanya, kampus terbaik terlihat seperti satu-satunya pilihan yang Semesta berikan untukku. Aku seperti sudah siap melambungkan seluruh mimpiku di sana. Bersamanya.

Jadi, mana mungkin dia mengabaikanku seperti ini? Mana mungkin....

"Masuk, Key! Jangan kayak lagi nungguin angin deh lo!"

But, reality still a reality.

Aku berjalan kuyu maju ke atas podium. Di belakangku, Grace dan teman-teman lainnya menyorakiku tak kalah riuh. Sampai bapak kepala sekolah dan dewan-dewan guru di atas podium wisuda sana ikut bisik-bisik bingung. Ada apa? Apa gadis itu bintang di angkatannya?

Bukan, bukan menjadi bintangnya yang membuat mereka seheboh itu. Duh, Bintang apanya coba? Tapi karena aku baru saja dapat lampu hijau. Surprisingly, aku diterima di universitas itu. Kampus terbaik tempat Bam kuliah. Di Kota Depok. Kota yang setiap hari membuatku berjuang sampai keriting. Lucu sekali bukan hidup ini? Aku tidak pernah yakin dengan ujian yang kukerjakan. Semua materi yang berusaha kuserap, soal-soal masuk perguruan tinggi lima tahun terakhir yang siang-malam bagai bunga dari tidurku, pada akhirnya tidak pernah berhasil membuatku percaya diri selepas keluar dari ruang ujian. Tapi aku punya kegigihan. Aku punya ambisi dan kesungguhan. Aku punya tekad. Setidaknya itu yang selalu kupegang teguh. Setidaknya itu yang bisa kubandingkan di hadapan Semesta.

Aku diterima. Satu lagi takdir Semesta yang tidak pernah bisa kusangkal, namun yang kali ini membuatku tersenyum amat lega. Membuatku lebih berani menatap dunia.

Ah, tapi sebentar dulu! Bahas diterima kampus terbaiknya kapan-kapan saja. Toh, ini bukan buku tentang perjuangan hidup. Perjuangan seseorang masuk ke universitas impian. Bukan. Sudah pernah kubilang kan? Ini buku untuk dia

Kita kembali lagi di acara wisuda SMA-ku.

Aku melangkah menaiki tangga podium. Sesekali melirik ke kursi-kursi tamu undangan. Ke pintu masuk. Ke meja registrasi. Berharap-harap cemas sambil berusaha mengulur waktu. Siapa lagi? Siapa lagi yang sedang kucari? Siapa lagi yang akan menghadiri acara wisudaku selain dia? Mana mungkin ada Bibi Umma sekeluarga? Rumah mereka jauh.

Tunggu lima menit lagilah... Tunggu satu menit lagilah... siapa tahu dia sedang tertahan di gerbang depan yang banyak dijaga petugas.

Aku bahkan mengenakan gaun kebaya paling spesial. Sudah kupesan sejak berminggu-minggu lalu. Warnanya hitam mendominasi. Meski sedikit-banyak ada larik-larik ungu mudanya. Hitam dan ungu muda. Masih ingat warna pakaian Bam di wisudanya tahun lalu? Aku sempurna mencontoh itu darinya. Semuanya. Untuknya. 

Tapi dia justru tidak datang. 

Aku betul-betul berdiri di atas podium. Namaku dan nama kedua orangtuaku disebut secara lantang sebagai calon alumnus SMA ini. Lencana SMA-ku telah dilepas untuk selamanya. Bapak Kepala Sekolah kemudian mengalungkan samir di leherku. Tapi dia tetap tidak nampak barang secuil pesan.

Tidak tahukah Bam? Aku berusaha menjalani serangkaian hari perpisahan itu senormal mungkin. Astaga. Untuk urusan satu ini, tidak akan kubiarkan dia merusak hariku. Meski sulit. Meski sunyi rasanya.

Demi kenangan terakhir masa SMA-ku, demi tiga tahun waktu yang kulalui bersama teman-teman seangkatan, demi Grace dan Kafi--sahabat terbaikku, aku tetap tersenyum lebar. Berdiri di antara ratusan teman seangkatanku dan mengacungkan toga wisuda tinggi-tinggi. Aku tertawa riang. Berebut melayangkan ucapan selamat pada teman-temanku satu sama lain. Aku juga sibuk berfoto sana-sini. Bergantian menuruti ajakan selfie. Atau mengantre di dalam stand photoboth. Meski tidak jadi bersama dia fotonya Aku tetap menghadiri pesta prom di malam harinya. Berdandan secantik mungkin sambil mengenakan gaun malam yang sekali lagi senada dengan miliknya dulu.

Aku juga sempat merayakan hari kelulusanku, juga hari diterimanya aku di kampus terbaik, bersama Grace dan Kafi. Kami makan siang bersama di restaurant all you can eat seusai prosesi wisuda. Restaurantnya ada di dalam mall. Itu favorit kami bertiga. Meski ke sananya pun hanya boleh satu tahun sekali bagi kami. Gimana enggak? Harganya mahal sekali. Satu orang harus membayar Rp 200.000 sekali masuk. Biasanya sih, setiap malam tahun baru kami baru akan pergi ke sana. Tapi tahun ini, ada momen yang lebih spesial dibanding malam tahun baru. Hari kelulusan kami.

See? Aku tetap menjalani momen yang hanya akan terjadi sekali seumur hidup itu seperti seharusnya. Tidak berkurang apalagi berlebih.

Dia? Kemana dia dua hari terakhir?

Dia tidak menghubungiku sama sekali. Say congratulation saja tidak. Dia seperti menghilang ditelan seluruh kesibukannya di Depok sana. Kabar terakhir yang kudengar darinya, di perusahaan tempatnya kerja memang sedang ada project besar-besaran. Peluncuran mesin suku cadang terbaru. Dan dia menawarkan diri untuk bergabung. Dia sibuk sekali. Betul-betul sesibuk itu sampai seminggu terakhir dia jadi jarang membalas chattingku. Acara wisudaku bahkan menjadi urusan ke sekian baginya. Mana tahu dia kalau aku sudah diterima di kampus terbaik. Mana tahu...

***

Esoknya, buruk sekali moodku. Rasanya campur aduk. Gelisah, marah, sedih, yang kemudian memuncak menjadi sejurus pikiran buruk. Belum juga aku memulai hari. Masih seseorang yang baru sepuluh menit lalu bangun tidur. Pagi benar bangunnya. Adzan subuh saja belum berkumandang. Sepagi itu, satu-satunya benda yang sibuk kucari kemana-mana adalah ponsel. Kubuka aplikasi chatting berlogo biru yang sedang ngetrend di zaman itu. Geser-geser sedikit, tampil kolom chat bersama dia.

Aku melenguh panjang. Kembali menarik selimut. Tengkurap membenamkan wajah. Mendadak tidak selera memulai hari. Skip ajalah!

Tetap tidak ada kabar darinya. Tidak juga pesan-pesanku sejak tiga hari lalu dibalas olehnya. Dibaca saja tidak. Apalagi muluk-muluk say happy graduation. Nihil.

Istilahnya kalau zaman sekarang sedang dighosting.

Jika sudah begini, bukan lagi kesibukannya di Depok sana yang kucaci maki dalam hati. Bukan. Melainkan sebuah pertanyaan baru. Apa dia baik-baik saja? Apa terjadi sesuatu padanya?

Semakin siang, semakin kacau segalanya. Semakin berdatangan pikiran-pikiran buruk itu. Aku memutuskan pergi ke luar. Kalau tetap di dalam rumah, rasanya sudut-sudut balkon pun seperti sedang mengatakan hal yang tidak-tidak padaku. Scrolling sosial media apalagi. Lebih banyak lagi kicauan-kicaun yang membuatku semakin terpanggang nantinya. Aku bisa kelihatan seperti orang gila lama-lama. Ling-lung sendirian.

Tahu aku lantas pergi ke mana?

Tempat itu. Tempat sejuta kenangan kami. SNQ.

"Udah lama nggak ke sini, Mbak?"

Mas Hadi namanya. Belum pernah kenalan sih. Tapi bisa dibaca di bajunya. Hadi Waluyo. Jawa banget kan namanya?

Aku mengedikkan bahu. Tersenyum mengharagai. "Lagi UN."

Mas Hadi ini petugas bersih-bersih di Kapal Artama 3. Selalu lagi nyapu, atau ngepel, atau semprot-semprot kaca setiap aku datang. Kebetulan orangnya supel. Suka menyapa, pintar bergurau, dan rajin bercerita. Apalagi dia satu generasi denganku. Ya... satu-dua tahun di ataskulah. Jadi lumayan nyambung topik pembicaraannya. Meski kebanyakan dia yang bertanya. Dia juga yang akhirnya mendongeng dari A sampai Z. Aku sih cuma iya-iya saja. Tertawa kalau memang waktunya tertawa. Tersenyum menanggapi pertanyaan atau ceritanya. Gara-gara sepuluh bulan terakhir aku rajin sekali menaiki Kapal Artama 3 ini, dia jadi hafal denganku. Walau tidak tahu namaku. Tidak pula pernah bertanya.

"Eh? Masih sekolah? Saya kira Mbak itu anak kuliahan..."

Aku membulatkan mata, "Hah? Emang kelihatan boros banget ya wajah aku?"

Mas Hadi tertawa. Rambutnya yang dikuncir gondrong terlihat berkibas kesana kemari. "Tapi tetap cantik kok, Mbak."

Aku terkekeh. Tidak berniat memperpanjang percakapan kami. "Naik dulu ya?"

"Eh, iya iya! Monggo Mbak..."

Aku naik ke dek paling atas. Ke tempat aku dan dia berdiri dahulu. Sebetulnya, memang selalu itu yang menjadi tujuanku. Tidak pernah aku menjajahi belahan kapal lainnya. Nyobain duduk di passenger-seat saja tidak pernah. Ke mini bar kapal apalagi. Singgah di dek paling bawah pun cuma karena kebetulan aku harus melintasinya untuk sampai ke dek teratas. Pokoknya, aku cuma ingin berdiam di tempat itu. Dek paling atas. Dek yang kebetulan selalu lengang. Dek kami.   

Pukul tiga sore. Kapal Artama 3-nya mulai berlayar. Aku berdiri di tepian dek. Berdiri sambil berpegangan pada pagar besi. Tapi hari itu sepertinya bukan menjadi hariku. Lihatlah! Baru sepuluh menit aku sendirian di dek paling atas itu. Baru sepuluh menit rasanya sunyi tapi damai. Baru sepuluh menit, naiklah sepasang muda-mudi yang kira-kira masih sebaya denganku. Laki-laki dan perempuan. Saling bergandengan tangan. Yang Perempuan pakai jaket denim setengah pinggang. Yang laki-laki pakai jaket kain warna hitam. Mereka berdiri tiga meter dariku. Tapi dari jarak yang lumayan dekat itu, apalagi cuma ada kami bertiga di dek teratas, aku bisa mendengar semua percakapan mereka. Semua. Seolah dunia hanya milik mereka berdua. Seolah kehadiranku hanya pajangan.

"Habis ini mau makan apa?" Tanya si laki-laki.

"Emm... apa ya?"

"Terserah kamu deh!" Si perempuan menggelayut manja di lengan pacarnya. Aduh! Harus ya? Di depan umum begitu?

"Bebek goreng mau nggak?" Si laki-laki bertanya lagi.

Aku tersenyum getir di tempatku berdiri. Yang tidak akan pernah disadari dua muda-mudi itu. Miris sekali. Sangat miris.

Seseorang juga pernah menanyakan hal yang sama padaku.

"Mau banget!!!" Si perempuan terdengar bersemangat. Saking semangatnya, si laki-laki kemudian mengacak puncak rambut gadisnya. Makin miris lagi aku jadinya.

Mereka bergandengan tangan lagi. Berbondong-bondong turun ke dek bawah. Tersisa kembali aku seorang diri.

Aku mendengus. Merasakan sepoi-sepoi angin laut yang selalu sejuk meski Surabaya selalu terik. Ibu, ternyata begini rasanya mencintai seseorang?

Semesta, apapun yang terjadi di antara kami tiga hari terakhir, aku tetap merindukan dia. Bagaimana pun perangai buruknya di acara wisudaku, dia tetaplah pemenangnya. Aku rindu cara dia menatapku. Cara dia tersenyum. Cara dia berbicara, mengeluh, merajuk. Aku rindu masa-masa SMA saat masih ada dia di sekolah. Meski yang kumiliki hanya kenangan bersembunyi-sembunyi itu, tapi semuanya tetap berarti bagiku. Jaket bomber hitam, bau parfum musk, aku rindu semua tentangnya. Semua.

Kuraih ponselku. Berhenti pada aplikasi buku kontak. Tidak perlu susah-susah mencari. Namanya selalu berada di urutan teratas kolom pencarian. Tidak cuma di buku kontak. Di semua sosial media yang kupunya, namanya selalu ada di urutan teratas fitur explore.

Hendak ku telepon dia. Hendak kukatakan padanya bahwa hubungan ini yang menjalani bukan cuma dia. Tokoh utama di cerita kami bukan cuma dia. Aku juga berhak menentukan akan seperti apa cerita kami nantinya. Aku juga berhak mengubah alur, menambah bagian, atau mengakhiri cerita itu sekarang juga.

Hendak kukatakan padanya aku benci jarak ini. Aku benci jauh darinya. Amat benci.

Selama ini tidak pernah aku meneleponnya. Tidak pernah kecuali dia yang meneleponku duluan. See? Pernah setidak berani itu aku mengganggu harinya. Padahal setelah hari ini kupikir-pikir lagi, apa salahnya sih? Sekedar tekan calling, tunggu jawaban, bicaralah sepatah-dua patah. Toh, dia bisa mengangkat telepon sambil menulis, sambil mengetik, sambil mengerjakan apalah. Lima-enam menit mengobrol tidak akan merusak harinya. Tidak akan. Tapi dulu, aku pernah sesegan itu melakukannya.

Lima detik... Sepuluh detik... ponselku berdering memanggil. Demi was-was menatap layar yang sekarang menampilkan siluet fotonya, jemariku mematut-matut gugup. Tiga puluh detik. Ponselku tiba-tiba berhenti menyerukan bunyi tut.. tut... Tidak ada jawaban darinya.

Kutekan sekali lagi tombol calling itu. Sambil separuh hatiku mendadak gelisah. Cemas. Dan pikiran buruk yang semakin membuncah.

Tiga puluh detik lagi berlalu. Bunyi tut... tut... itu berhenti dengan sendirinya untuk kedua kali.

Tiga kali.

Empat kali.

Tujuh kali.

Aku berjongkok kuyu. Kulempar ponselku sembarangan ke lantai. Tiba-tiba tubuhku terasa lemas. Lemas sekali. Sudut mataku berdenyut. Semesta, apa aku dan dia sudah berakhir?

Tapi separuh hatiku yang lain tetap tidak mau kalah. Kuraih kembali ponselku. Kutekan kembali tombol calling di bawah selarik namanya. Dia memang selalu punya kesempatan kedua. Ketiga. Keempat. Kelima. Kesepuluh ribu sekalipun.

Satu detik... dua detik... Masih tetap bunyi tut... tut... memekakkan telinga yang kudengar. Aku mulai putus asa. Mulai berasumsi bahwa dia sedang menghindariku. Bukankah dia juga pernah bilang? Dia tidak bisa menjanjikan apapun padaku termasuk perasaannya. Bukankah itu berarti perasaannya bisa berubah kapan saja?

Lima detik... Aku mulai bosan berharap pada bunyi tut... tut... menyebalkan itu. Air mukaku berubah buruk sekali. Sudah sama kelihatannya seperti teman-temanku yang mendapat lampu merah di portal pengumuman SBMPTN kemarin. Kubenamkan wajahku di antara lipatan tangan. Menangis tapi tidak berair mataku. Marah tapi tidak bisa semarah itu. Satu tanganku yang masih memegang ponsel terjuntai ke bawah. Tidak kuperhatikan lagi bagaimana kelanjutan panggilan kedelapan itu.

Delapan belas detik... Tapi pernahkah kalian mendengar petuah ini? Ada banyak doa yang justru terkabul saat keadaan mulai mendesak. Saat dunia mulai menghimpit. Saat tidak ada lagi celah untuk berbuat. Tidak ada kecuali berserah pada takdir Semesta. Whatever meant to be, let it be. Que sera sera. 

It really happened to me.

Dua puluh dua detik... Ponsel pintarku tiba-tiba berhenti menyerukan bunyi tut... tut... Yang tidak akan pernah kusadari jika tidak kudengar sebuah suara boriton.

Lihat selengkapnya