Selamat pagi, Depok.
Bab yang paling kutunggu-tunggu. Bab baru dalam hidupku. Selamat datang dunia perantauan, ngekos, quarter-liefe crisis, homesick. Belum lagi tuntutan mencari teman yang satu frekuensi. Yang katanya tidak ada lagi namanya sobat-sohib. Tugasmu, tugasmu. Tugasku, tugasku. Padahal tugasnya, belum mati satu, sudah tumbuh seribu lagi. Katanya, di fase kehidupan yang satu ini, sudah mulai muncul rasa malu kalau seluruh hajat hidup ini masih ditanggung. Apalagi ditanggungnya bukan dengan orang tua. Makin serba salah rasanya.
Pokoknya, selamat datang kehidupan yang sebenar-benarnya kehidupan.
Tapi semua itu sedikit berbeda definisi denganku. Ini justru bab paling menyenangkan. Dan kalau ditanya bagian hidup mana yang paling ingin kuulang kembali, I will definitely choose this part. Jangan kaget! Isinya memang cuma tentang yang manis-manis saja. Bahagia seharian. Tersenyum sepanjang waktu. Makin berseri kelihatannya jika dibanding zaman SMA dulu. Haha-hihi. Bersama dia ke mana pun.
Ehm, meski itu cuma bertahan satu-dua semester. Memasuki semester tiga, mulai terasa kacau balaunya dunia perkuliahan. Mulai rajin cari-cari alasan untuk menghabiskan jatah absen. Mulai bermunculan sobat sohib persambat-sambatan.
Tapi sebelum semua itu. Satu bulan sebelum kami pergi ke Kota Depok.
Tamara berangkat ke Amerika. Ia tidak berbohong soal menetap di sana. Semuanya bahkan sudah dipersiapkan sejak kami belum saling bertemu. Kepergian yang mendadak. Terutama bagi dia. Satu-satunya manusia di bumi yang justru baru tahu setelah pesawatnya hampir take off.
Kepergian itu berdampak besar baginya. Amat besar. Seminggu penuh dia jadi pendiam. Tidak kutemukan lagi sisa-sisa senyuman paling menyenangkan di dunia itu. Dia murung sekali. Seminggu dia hanya di dalam rumah. Uring-uringan sepanjang hari. Jadi lebih sering melamun. Tidak beraktivitas. Malas makan dan mandi. Apalagi pergi jalan-jalan denganku. Pokoknya, seminggu itu dia telah berubah menjadi manusia super badmood.
Tuh kan Kalu? Apa kubilang? Jangan terlalu cepat menilai seseorang. Nyatanya, dia tidak sesempurna itu. Dia cuma manusia biasa yang bisa tumbang kapan saja.
Tapi Tamara lebih terlalu lagi. Ia pergi tanpa kabar-kabar. Tanpa salam perpisahan. Padahal, keluarga Glen bukankah keluarganya sendiri?
Glen setiap hari mengirim email padanya. Setiap hari pula tulisan berparagraf-paragraf itu cuma mengendap di kolom spam. Cuma menuh-menuhin isi pesan keluar. Tamara seperti telah memutus kontak dengan semuanya. Dia juga berbicara lewat media sosial yang masih tersisa. Lewat semua teman Tamara yang kebetulan dia kenal. Lewat penjaga-penjaga rumah Tamara. Meski hasilnya sama saja. Tetap tidak ada jawaban. Mustahil juga mau menelepon langsung. Nomor telepon luar negerinya saja Glen tidak punya. Minta orang-orang di rumah Tamara juga tidak diberi. Bukankah itu aneh?
Aku juga tidak tinggal diam. Berhari-hari email dari Glen tidak di reply. Kini giliran aku yang mencoba. Kutulis email untuk Tamara setiap hari. Betul-betul setiap hari tanpa jeda. Kutanyakan kabarnya. Kutanyakan apa ia hidup dengan baik di sana. Kutanyakan apa ia punya banyak teman. Kutanyakan semua yang ingin dia dengar dari Tamara. Semuanya.
Tapi hasilnya nihil. Sia-sia. Sampai satu minggu. Sampai dua minggu. Tiga minggu. Empat minggu. Tujuh minggu sudah tidak kami dengar lagi kabar Tamara. Kedua orang tua Tamara sama tutup mulutnya. Sulit dihubungi. Menghilang entah ke mana.
Memang tidak ada yang namanya mantan sepupu, apalagi mantan keluarga. Tapi hubungan kekeluargaan mereka seperti telah berhenti sejak Tamara pergi.
"Laura, harus ya kamu pakai jaket kuningnya ke mana-mana?" Dia tertawa.
Dia menungguku di parkiran motor. Duduk di atas sepeda motor matic yang disewanya sepanjang berkuliah di Kota Depok. Dia pakai kemeja kotak-kotak yang disembunyikan di balik jaket bomber hitam. Tas punggung warna hitam. Celana jeans skinny. Dan helm full-face.
"Namanya juga maba. Sudah biarin! Nanti pasti bosan-bosan sendiri," aku duduk di jok belakang. Menyambar helm darinya. Mengatur posisi sebentar. Kami siap jalan.
Kehidupanku sempurna berubah setelah masuk kampus. Setelah menjadi anak Depok yang masih terhitung seumur jagung. Sekarang, aku jadi lebih sering berdandan. Memoles wajah pakai make up yang lebih tebal lagi dibanding zaman SMA. Sudah mulai rajin pakai liptint berwarna sedikit mencolok, apalagi pensil alis. Gaya berpakaianku juga sempurna berbeda. Bukan lagi anak SMA yang pakai japit pita dan dikuncir ekor kuda rambutnya. Sekarang semakin mirip orang dewasa pada umumnya. Pakai celana panjang, atau kemeja berkerah, atau blazer, atau blouse formal, atau outer yang sedang ngetrend di masa-masa itu. Yang sebetulnya lebih sering kusembunyikan dibalik jaket kuning almamater.
Aku semakin suka menyibukkan diri. Aku mendaftar ke dua organisasi internal fakultas. Ke beberapa kegiatan kepanitian. Ikut terjun menjadi volunteer seperti dia. Meski tidak akan sesohib Kalu dan Raihan, tapi teman-temanku di sini jauh lebih banyak. Ada saja teman nongkrong. Teman makan siang di kantin fakultas. Teman sesama dari luar Depok dan sesama kepo dengan kota ini, yang esok-esok jadi gemar keliling kota bersama. Ada pula teman ngekos. Uniknya lagi, semua orang bilang aku gadis yang cukup populer di fakultasku. Apalagi di angkatanku. Tidak ada yang tidak kenal dengan Lauren. Dia juga pernah bilang begitu. Entahlah. Semuanya kubiarkan berlalu seperti air. Seperti air yang pintar mengalir, semasa kuliah aku belajar menjadi manusia yang pintar mengikuti arus.
Karena seperti dia, aku juga ingin mencoba banyak hal baru. Keluar dari zona nyamanku. Aku mulai gila dengan yang namanya mencari uang. Meski tetap lebih gila dia dibanding aku. Seperti dia, aku akhirnya bekerja paruh waktu. Awal semester satu, aku belum bekerja di perusahaan penerbit buku itu. Belum. Aku masih bekerja paruh waktu serabutan. Jadi tutor bahasa Inggris. Jadi tukang jaga toko yang dulu bayarannya Rp 50.000 per hari. Atau bantu-bantu isi kuesioner skripsi. Yang ini bayarannya agak lumayan. Sekali isi, dibayar Rp 5.000. Bayangkan! Pernah dalam sehari aku mengisi 50 kuesioner milik kakak tingkat. Dapat bayaran Rp 250.000. Atau aku juga pernah mengisi 100 kuesioner tapi diberi waktu dua hari. Bayarannya? Sudah bisa untuk bayar kamar kosku selama sebulan.
Soal teman dekat, sudah pernah kubilang kan? Tidak akan ada yang sesohib Grace dan Kafi. Tapi tentu saja aku juga punya satu orang yang ke mana-mana pasti selalu dengan ia. Pasti ada ia kalau ada aku. Yang baru satu-dua minggu nyambung diajak ngobrol. Yang suka nemenin ke toilet. Yang sama-sama bukan dari Depok dan sama-sama kepo dengan seisi kota ini. Yang terpenting, ia cerewet seperti Grace. Karena katanya, anak introvert itu jodoh pertemanannya memang dengan anak ekstrovert. Kalau dua-duanya introvert, pertemanannya akan membosankan. Keras kepalanya sama-sama sampai ke tulang. Atau kalau dua-duanya ekstrovert, bisa lebih repot lagi urusannya. Bahaya kalau sampai bertengkar, bisa habis seisi rumah.
Namanya Marsa. Seleb Jaksel. Dipanggil begitu karena memang seseleb itu wajah, penampilan, apalagi sosial medianya. Hari pertama ospek, sudah banyak yang mengantri untuk jadi cemewew si seleb ini.
Yang terakhir, tentang hubunganku dan dia. Manis sekali kalau diingat-ingat lagi. Ah, tidak ada yang tidak indah tentangnya. Masa-masa itu, kami semakin sering bertemu. Tentu saja! Dia ngotot sekali mencarikanku kosan yang satu kompleks dengannya. Bahkan hanya terpisah dua gang. Yang karena sama-sama tinggal di lantai teratas, aku bisa melihat dengan jelas pintu kamar kosnya dari kamar kosku. Ini pula alasanku memilih kosan yang itu. Sekali dibuka tirainya, sekali keluar kamar dan berdiri di balkon, kamar kami terlihat seolah berseberangan. Kami suka sekali berdiri di balkon. Saling menunggu sampai pintu kamar kos seberang terbuka. Disusul lima detik kemudian ponselku pasti berdering. Panggilan darinya. Mengobrolah kami sampai larut malam. Sampai pukul dua pagi juga pernah. Menertawakan ini-itu. Mengomentari setiap orang yang terlintas di kepala. Selalu ada saja topik yang bisa dibahas dengannya.
Kami seperti sedang menebus segalanya yang tidak pernah bisa diulang kembali di masa SMA. Pergi dan pulang kampus bersama. Makan di kantin bersama. Tidak setiap hari juga sih. Dia dan aku punya rutinitas yang berbeda. Ya... paling tidak seminggu dua kalilah. Atau mulai sekarang, dia tidak akan duduk sendirian lagi di dalam kereta setiap hendak pulang ke Surabaya. Sekarang, kami bisa melakukan itu berdua. Yang ini bagian favoritku. Naik kereta api dua belas jam bersamanya. Duduk bersebelahan. Tidur berdempetan kepala. Semua orang pasti mengira kami sepasang suami istri. Momen yang paling kutunggu-tunggu setiap akhir semester. Oh iya, nantinya, setelah satu kampus denganku, entah kenapa dia jadi memutuskan pulang ke Surabaya setiap liburan semester. Bukan dua semester sekali seperti yang sudah-sudah.
Apapun itu, waktu-waktu bersama dia selalu menyenangkan. Waktu-waktu bersama dia selalu terasa singkat.
"Mau ke mana sih?" kubuka kaca helmku. Kucondongkan kepalaku di samping telinganya.
Pukul setengah lima sore. Dan kami masih duduk di atas motor. Kurasa kami sedang berlalu menjauh dari wilayah kampus. Selalu begini. Dia tidak pernah janjian dulu denganku setiap kami pergi naik motor berdua.
"Laura, kamu lupa ya ini hari Jumat?" suaranya nyaris ditelan hiruk-pikuk kendaraan lain.
"Hari Jumat kan? Bukan hari Sabtu?"
Dia tertawa, "Ya... Nggak apa-apa. Dimajukan sehari juga boleh kan?"
"Bukannya hari Jumat itu jadi milik kamu dan teman-temanmu?"
Dia menggeleng. Membelokkan motor ke arah kanan. Hampir selesai kami menyusuri Jalan Margonda Raya.