Arah: Aku, Kau, dan Rahasia

Julia Rosela Kapisa
Chapter #9

BAB 8: Salah Ya, Ren?

Semester tiga. Dia semester lima.

Dia sedang ada di Jakarta sekarang. Dia Sedang magang di salah satu perusahaan paling mentereng di daerah Sudirman. Perusahaan pasar modal. Upah magangnya pun sama menjulangnya dengan jumlah lantai yang dimiliki perusahaan itu. Ah, jumlah lantainya saja kata dia sama banyaknya dengan jumlah gigi manusia. Duh, dia ada-ada saja. Padahal, jelas-jelas masih lebih banyak jumlah lantai di sana daripada jumlah gigi manusia, orang dewasa sekalipun. Dan sebanyak itu, dia justru menempati lantai 8. Tidak terlalu terasa vibes gedung pencakar langit seperti yang selalu kami angan-angankan dari lantai itu. Tetapi biar bagaimanapun, dia senang sekali berada di sana. Tentu saja! Itu Jakarta. Kota Impiannya. Kota impian kami.

Sudah tiga bulan dia berada di sana. Artinya, sudah tiga bulan pula kami kembali hanya berkomunikasi di malam hari, lewat pukul sebelas. Dia di sana sibuk benar. Pagi-pagi pukul tujuh dia sudah harus berangkat ke perusahaan pasar modal itu. Baru pulang pukul empat sore. Masih sambil mengerjakan tugas kampus, tugas magang, pekerjaan paruh waktu bergaji UMR itu pula. Katanya, semua pengalaman di perusahaan itu baru baginya. Dia terkadang juga mengeluh kesulitan. Mengeluh takut dengan dunia kerja. Takut dengan masa depan yang menunggu. Tapi, namanya juga dia. Tidak ada kata menyerah dalam kamus hidupnya.

Aku juga sedang sibuk-sibuknya dengan rutinitas kampus. Mulai terasa menjadi mahasiswa yang sebenar-benarnya mahasiswa. Mata kuliahnya mulai rumit. Mulai sering membuatku berkutat di depan layar laptop berjam-jam. Bahkan sampai tengah malam. Mulai mudah sensi ketika ada yang mengajakku bicara padahal jelas-jelas aku sedang mengerjakan sesuatu. Tugas organisasi dan kerja paruh waktuku ikut-ikutan menggila di semester ini. Semester 1 sampai 4 memanglah waktu yang tepat untuk menjadi sibuk di kegiatan luar akademik. Sesibuk-sibuknya kalau bisa. Karena kalau sudah semester lima ke atas, tidak ada lagi yang paling bisa menyita pikiran kecuali mencari pengalaman magang sebanyak-banyaknya dan skripsi.

Setidaknya itu yang kulihat dari cara dia menjalani hidup.

Aku benar-benar mencontoh itu darinya. Pagi sampai siang kuliah. Sorenya rapat organiasi satu. Makin sore lagi rapat organisasi dua. Malamnya sempurna menjadi milik pekerjaan paruh waktuku. Semester itu, aku sudah menjadi freelance di penerbit setempat. Sambil masih membuka jasa isi kuesioner skripsi. Lewat tengah malam baru bisa mengerjakan tugas-tugas kuliah. Pusinglah pokoknya!

"Minum dulu, kalau tenggorokan lo kering, nanti makalahnya ikutan garing. Dinilai jelek sama Bu Nuning, Laura!" Segelas matcha dingin mendarat di samping laptopku. Mood baikku hilang seketika.

Bukan! itu bukan dia.

"Sudah gue bilang berapa kali sih? Jangan panggil gue Laura!" Aku buru-buru meraih tas punggungku. Membereskan setumpuk jurnal, laptop, lengkap beserta charger-chargernya.

"Kenapa nggak boleh? Mulut-mulut gue…"

Tentu saja tidak boleh! Tidak boleh kecuali itu dia. Panggilan itu, 'Laura' cuma dia yang boleh memanggilku begitu. Cuma dia!

"Pokoknya jangan!" sewotku melengos pergi.

Maju mundur aku hendak menulis bab yang satu ini. Sudah pernah kutulis sampai separuh halaman, tapi kemudian kuhapus kembali. Bab ini sebetulnya terlalu panjang hanya untuk dijadikan dalam satu bab. Hanya untuk kububuhkan dalam cerita yang padahal dikhususkan untuk dia. Atau itu juga karena tokoh baru dalam bab ini. Separuh hatiku merasa buruk setiap mengingatnya. Buruk sekali. Rasa bersalah, marah, dan benci yang berkumpul menjadi satu. Marah dan benci pada diriku sendiri yang tidak pernah bisa membuka hati untuk laki-laki selain dia. Marah dan benci pada diriku sendiri karena setelah segalanya berakhir, aku tetap tidak bisa sembuh dari dia.

Namanya Ryu. Keturunen chineese 10001%. Kulitnya putih bersih seperti susu. Matanya sipit. Pakai kacamata bundar kekinian. Tubuhnya tinggi berisi. Tampan. Ia makhluk paling tampan di jurusanku. Tapi tetap saja. Di hidupku cuma dia yang paling tampan. Cuma dia.

Ryu teman satu angkatanku. Mahasiswa Ilmu Ekonomi Kampus terbaik sama sepertiku. Seringkali kami sekelas di beberapa mata kuliah. Eh, hampir di seluruh mata kuliah malah. Kecuali mata kuliah agama. Kami berbeda. Ia selalu mengambil paket sks yang sama denganku. Entah dapat informasi dari mana ia. Apalagi ia juga selalu mendaftar ke dalam organisasi yang sama denganku. Selalu. Baru hari kelima ospek, sudah ada sinyal-sinyal aneh darinya. Yang lama-lama membuat ia jadi lebih mirip penguntit. Hobi mengikutiku ke mana-mana. Selalu ada saja caranya untuk bisa berurusan denganku setiap hari. Betul-betul setiap hari. Ngapel ke kosanku juga pernah. Tapi ia tidak sekalipun bilang suka. Say I Love You dan nembak juga tidak. Padahal, semua orang bisa melihat itu dari caranya memperlakukanku. Semua orang, kecuali dia.

Satu tahun berlalu tentang Ryu, dia justru tidak kuberi tahu. Dia sungguh tidak sadar betapa di dunia ini ada manusia seperti Ryu. Laki-laki yang punya seribu satu macam cara untuk mendapatkan hatiku selain dia. Aku tidak pernah berani menyinggung tentang Ryu di depannya. Tidak pernah. Toh, buat apa? Mau sebagaimanapun Ryu memperlakukanku, aku tetap memilih dia. Tidak berkurang sedikitpun perasaanku padanya. Itu yang terpenting.

Aku berjalan gontai. Pergi menjauh dari Ryu karena sepagi ini ia sudah mengganggu hariku.

Sejurus, aku kembali berhenti. Teringat sesuatu.

"Tahu dari mana?" mataku mengarah sinis pada segelas matcha yang sama seperti pemberinya, kuabaikan mentah-mentah.

Ryu berdehem. Membetulkan letak kacamatanya. Segera menyeringai sehangat mungkin. Sikapku yang selalu dingin padanya seolah tidak berarti apa-apa. Ini yang kubenci dari menulis tentangnya.

Ia sebaik itu dan aku sekejam ini.

"Lo kan—selalu pesan itu di mana-mana, Laura—"

"LAUREN! NAMA GUE LAUREN!" potongku.

"Eh, iya iya! Aduh, maksud gue Loren... Itu, lo kan selalu pesan matcha di kantin, di cafe, di resaturant, di mana-mana..."

Itu karena dia. Karena aku menyukai apapun yang dia sukai.

Aku mendengus. Kembali berjalan.

Lima langkah. Aku membalikkan tubuhku lagi. Ini menyebalkan sekali. Ketika kita sedang ingin membenci seseorang, tapi separuh hati justru bertolak belakang. Separuh hati kita memerintahkan hal yang sebaliknya. Ingin melawan tapi tetap kalah ego itu.

Kutatap Ryu dan gelas matcha dingin itu secara bergantian. Agak terpaksa, agak ogah-ogahan, agak takut Ryu berbesar kepala, kuambil gelas matcha yang sudah mencair es batunya itu.

Menolak perasaan seseorang bukanlah alasan untuk tidak menghargai kebaikannya.

"Thanks,"

Ryu cengar-cengir. Wajahnya merah padam demi melihatku bersungut-sungut menerima matcha itu. Persetan.

Aku berlalu pergi.

***

Kenapa akhirnya kuputuskan untuk menulis bab ini?

Karena setahun mengenalku, Ryu semakin gencar. Karena pada akhirnya, tidak bisa lagi kusembunyikan Ryu dari dia. Karena apapun yang berkaitan dengan dia, pasti akan kutulis di sini. Namanya juga 'Buku untuk dia'.

Ryu dan aku tergabung di dalam organisasi yang sama. Departemen yang sama pula—Ekonomi Kreatif. Itu ulahnya. Itu pasti kesengajaan yang ia buat agar seolah-olah kami memang ditakdirkan untuk bertemu. Jangan salah! Ia pandai sekali melobby seseorang hanya untuk selalu berurusan denganku.

"Ren, temenin gue rapat bareng anak-anak BLM yuk! Mau bahas proker bisnis Ekraf nih!" Ryu menyejajarkan langkahnya di sampingku. Derap kakinya menyesuaikan porsi berjalanku. Kelihatan pula, nafasnya tersengal seperti habis berlari terburu-buru. Dasar bucin!

Kutatap ia penuh keberatan, "Kenapa gue? Gue kan bukan wakil lo?

"Yah, Ren, yang namanya proker tuh, ketua dan wakilnya sudah beda lagi sama ketua dan wakil departemen. Lo lupa? Di proker yang ini, gue ketuanya dan lo wakil gue!"

Ryu bersemangat sekali saat mengucapkannya. Kulit wajahnya yang putih seperti susu terlihat makin berseri. Berbeda jauh denganku yang justru membulatkan mata. Melotot ke arahnya karena lagi-lagi, ia pasti telah berhasil melobby seseorang hanya agar berurusan denganku.

"HEH?! Sejak kapan?" pekikku tak mau percaya.

Ryu melipat tangannya di depan dada. Menatapku sambil tersenyum jahil. Senyuman yang menurutku paling menyebalkan sedunia, "Sejak gue sadar, gue itu memang jodoh terbaik lo, Ren!"

Naik pitam aku mendengarnya.

"Ryu, gue nggak punya waktu buat dengarin hal-hal yang nggak penting!"

"Nah justru itu, Ren! Justru karena lo nggak punya waktu buat dengerin yang nggak penting, solusinya cuma satu!" Ryu tersenyum makin serius.

"Jadiin gue yang 'penting' di hidup lo, mulai sekarang!"

Aku menoleh menatapnya. Ah, air muka itu lagi. Air muka yang seperti tengah menagih tinggi harapan padaku. Wajahnya yang selalu jadi idaman seluruh gadis di angkatanku, postur tubuhnya yang selalu segagah bintang film action(ini kata beberapa mahasiswi di kelas pengantar teori ekonomi makro dulu), dan perangainya. Perangainya yang paling kusayangkan dari seluruh cerita tentang ia. Perangainya yang sehangat itu. Perangainya yang tak pernah bermaksud apapun padaku kecuali sebuah ketulusan. Perangai yang seberharga itu, mengapa justru dipertemukan denganku? Mengapa justru dibiarkan menyasar masuk ke duniaku? Aku tidak bisa memberinya balas rasa yang sama. Tidak bisa! Asal ia tahu saja. Jawabanku akan selalu tidak untuknya. Dan aku yakin sekali. Jawaban Semesta juga tidak. Segigih apapun Ryu berjuang, ada takdir yang tidak pernah bisa ia ubah. Walau aku tidak sedang bersama dia, kami tidak akan bisa bersatu. Tidak akan bisa!

"Yu, to the point aja deh! Atau gue cabut sekarang nih?" Aku sudah memasang posisi tubuh seperti hendak beranjak. Ia menahan lenganku.

"Eh, Ren! Aduh, gitu aja ngambek!"

Lihat selengkapnya