Sore ini gerimis mengantar perjalananku dengan Mama ke permakaman. Cahaya matahari masih mampu mengintip dari balik barisan mendung yang berarak-arak. Mobil kami menembus padatnya jalanan Kota Yogyakarta. Aku senang menghabiskan waktu sore dengan Mama, terlebih waktu-waktu khusus ke permakaman seperti ini. Biasanya sebulan sekali kami berziarah ke permakaman. Hanya kami berdua. Dan, kami menikmati momen seperti ini. Saling diam, tapi saling memahami.
Aku memperhatikan awan yang mulai tercerai-berai. Cahaya matahari sore semakin kuat menerobos celah-celah awan tersebut dan menghapus gerimis sisa hujan sesiang tadi. Aku segera mematikan AC mobil dan membuka jendela sedikit. Aroma udara selepas hujan lebat yang begitu menenangkan menyelinap masuk. Aku memperhatikan orang-orang yang riuh berlalu-lalang, pesepeda motor kembali memadati jalanan setelah hujan reda. Nadi jalanan kembali berdetak, suara riuh sepeda motor kembali memenuhi udara, bercampur dengan klakson dan suara manusia. Aku menghirup udara segar yang menyenangkan. Mama berkutat dengan setirnya. Aku berkutat dengan lamunanku.
Setiap kali berziarah ke permakaman, aku selalu terharu sekaligus kagum melihat Mama. Momen seperti inilah yang selalu aku rindukan setiap bulan. Ada begitu banyak kisah yang ingin aku ceritakan tentang Mama. Perempuan yang diciptakan Tuhan dengan hati yang entah terbuat dari apa. Hati yang tidak mampu aku jelaskan dengan kata-kata. Ada haru yang menguap begitu cepat menjadi hujan di pelupuk mata setiap kali melihat Mama akhir-akhir ini. Mama yang tetap sigap bangun paling pagi dan memasak untukku meski aku sudah berkali-kali meminta Mama untuk istirahat. Dan, hal itu selalu berakhir kami masak bersama setiap pagi, sarapan untuk kami berdua. Menikmatinya berdua sambil berbicara tentang apa saja, apa pun yang bisa kami bicarakan. Kadang terselip tentang kerinduan kami kepada Lintang, adikku yang jarang pulang dan rindu kepada Ayah yang tak mungkin pulang.
Kami hanya tinggal berdua di rumah ini, selepas Ayah meninggal setahun lalu dan selepas Lintang merantau ke Bandung. Rumah kami semakin sepi, tapi tetap membahagiakan. Tidak ada rasa sedih yang kami izinkan mengendap-endap masuk. Apalagi setelah aku dibolehkan menjadikan garasi rumah sebagai ruang kelas untuk anak-anak. Aku membuat kelas dongeng bersama teman-teman di kampus, garasi rumahku adalah markas kami. Mama tidak pernah melarangku untuk aktif di kegiatan apa pun, tentu dengan catatan selama itu baik. Mamaku adalah idola teman-temanku karena Mama memang sangat mudah bergaul dan sangat mengerti anak muda. Itu membuat teman-temanku iri kepadaku. Mama pun sering jadi tempat curhat teman-temanku selepas kami selesai kelas dongeng. Sembari ditemani teh hangat dan camilan singkong goreng, garasi rumah kami menjadi tempat konsultasi remaja tanggung. Dari masalah cinta monyet sampai kehidupan remaja, tentang karier, bahkan tentang keluarga.
Aku melemparkan pandangan ke arah jalanan yang semakin riuh. Hujan telah sempurna berhenti menyisakan jalanan yang basah dan memantulkan cahaya matahari dan bayangan gedung. Sebuah pemandangan yang sering dilewatkan oleh siapa pun di jalan raya. Aku menghirup dalam-dalam udara kota ini, menyaksikan kota ini tumbuh seiring bertumbuhnya diriku. Kota yang sempat ingin kutinggal pergi.
Aku semakin bersyukur saat aku harus tetap tinggal di kota ini selepas lulus SMA. Keinginanku untuk merantau ke Ibu Kota menguap setelah berkali-kali gagal ujian masuk universitas beberapa tahun lalu. Akhirnya, aku memutuskan untuk mendaftar di UGM saat gelombang terakhir. Sepertinya memang takdirnya begitu, aku masuk pada pilihan pertamaku, Psikologi. Pada akhirnya aku memilih berdamai dengan cita-citaku sebelumnya dan membuat cita-cita baru. Aku mulai melupakan tentang merantau, bagaimana rasanya ngekos, jauh dari orang tua, dan sebagainya. Dan, aku bersyukur ternyata ini adalah cara Tuhan untukku menemani hari-hari terakhir Ayah sebelum meninggal. Juga, menemani Mama, malaikatku.