“Bun, Nana engga mau pergi ke rumah Reza sekalipun itu acara orangtuanya, Reza itu orangnya nyebelin, bun” keluh Reina. Ia menolak mentah-mentah permintaaan bundanya yang sedari tadi membujuknya untuk ikut dinner di rumah Reza.
Bundanya tak bisa memaksa lagi, Reina sudah memutuskan tidak mau berurusan dengan segala bentuk hal yang berkaitan dengan Reza.
“Yaudah, kalo ga mau ikut, enggak apa-apa, tapi bunda khawatir ninggalin kamu sendirian di rumah malem-malem,” ucap bunda khawatir.
Reina tersenyum. Akhirnya ia tak terus-menerus dibujuk oleh bundanya untuk ikut ke rumah Reza. Ia lega tidak berurusan dengan Reza. “Tenang bun.” Ia memperlihatkan wajahnya bahwa dirinya baik-baik saja ditinggalkan sebentar oleh ayah dan bundanya.
“Bunda siap-siap dulu ya sayang,” pamit Bunda meninggalkan putri semata wayangnya.
“Iya bun, hati-hati ya bun.”
Orangtuanya pun pergi menuju rumah Reza tanpa dirinya. Kini ia berada di kamarnya sedang asyik membaca buku milik penulis favoritnya, Sapardi Djoko Damono dengan judul “Pinkan Melipat Jarak”. Sudah hampir setengah buku, ia baca tanpa jeda, ia sangat menikmati setiap kata yang dihadirkan oleh penulis lewat buku tersebut. Ia juga sangat tenang karena tidak ada yang mengganggunya dikarenakan ia tak menghidupkan ponselnya.
Ia menggerak-gerakkan badannya, ia mulai kelelahan, “Kayaknya aku baca sampai bagian ini dulu deh, pengen rebahan dulu ah.” Ia pun menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang dan meraih ponselnya yang berada di atas meja. Sesaat setelah ia menghidupkan ponselnya, ratusan notifikasi masuk membanjiri, ia sudah tahu bahwa hal ini akan terjadi setiap kali ia mematikan ponselnya, tetapi ia juga selalu merasa terganggu jika ponselnya tetap hidup ketika ia sedang membaca buku. Ia menghela nafas kesal dan menyimpan kembali ponselnya. Setelah menunggu beberapa saat, nada notifikasi masuk pun berhenti berbunyi, tangannya pun kembali meraih ponsel tersebut.
“Parah sebanyak ini,” ucap Reina seolah tak percaya. Ia selalu tak percaya dengan banyaknya notifikasi masuk tersebut. Ia tidak pernah melakukan hal-hal viral yang menyebabkan dirinya dibicarakan dan dihubungi banyak orang. Tetapi mau bagaimana pun, orang-orang selalu membanjiri kolom komentar di berbagai media sosial miliknya. Ia sosok yang selalu menghindari keramaian, sangat suka suasana yang sepi dan sunyi. Sosoknya seperti itu membuat orang lain selalu tertarik untuk mencari tahu lebih dalam dirinya.
Tangannya memilih pesan masuk yang dianggapnya penting dan segera mengkliknya. “Hmm, ada 5 panggilan dari Farel,” gumamnya ketika mendapati nama Farel menjadi salah satu bagian dari ratusan notifikasi masuk. “Ada 2 chat darinya juga,” lanjutnya menegaskan.
“Re, besok kita ke Cafe favoritmu ya.”
“Aku jemput, janji enggak bakal telat”
Reina membalas singkat pesan tersebut, “Oke.”
Ia kembali memilih pesan. “Ini nomer baru banyak banget yang masuk, dapet darimana mereka nomerku?” ucapnya curiga sesaat mendapati banyak pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal.
“Hai Re, ini aku, lelaki yang menyapamu di depan Mall.”
Ia kaget ternyata dari sekian banyaknya pesan masuk tersebut, ada pesan dari lelaki aneh yang baru saja ia temui tadi sore di depan Mall.
Semesta, siapa dia?
Ia tak membalas pesan lelaki tersebut. Ia tidak mau berurusan dengan orang asing, hanya akan merumitkannya saja.
“Tapi kok lelaki itu bisa tahu nama aku sih, tau dari mana dia,” pikirnya kembali.
“Oh iya semua orang juga tau nama aku, jadi ga heran sih kalo dia tau,” ucapnya meyakinkan atas pertanyaan yang sedang berkecamuk di kepalanya.
“Ini juga Rizal kenapa tiba-tiba ngehubungin lagi.”
“Re. Aku tahu, gelas yang pecah gak bakalan bisa disusun kembali karena sudah ada puing-puing yang mungkin saja hilang dan tidak ditemukan lagi. Tetapi berkali-kali aku memastikan bahwa aku selalu ingin pulang ke tempatmu. Rumahmu yang teduh selalu menghangatkan kesepian diriku atas kehilangan orang paling berharga dalam hidupku yaitu bapak. Tetapi aku juga akan mengakui bahwa kemarin aku sempat hilang arah dan pergi menuju rumah yang lain. Namun tak ku temukan ketulusan dan keteduhan itu. Kemanapun kakiku melangkah, kamu selalu menjadi orang yang selalu aku temukan. Aku yakin itu. Mohon maafkan aku ....”
Ia tak melanjutkan membaca isi pesan tersebut, “Bikin bad mood aja deh ni orang” keluhnya mengabaikan isi pesan tersebut.
Ada apa sebenarnya dengan orang-orang ini, kenapa selalu ingin datang, menjengukku. Saat ini aku tak butuh ramai dan riuh, aku sedang suka sepi dan sendiri. Aku sedang tak suka membuat sebuah kenangan, aku akan membiarkannya tetap kosong beberapa saat. Orang-orang ini berusaha mencipta kebisingan di sudut-sudut hati yang sudah aku tutup rapat-rapat. Aku sudah meminta kepada Tuhan untuk tak dipertemukan dulu, tetapi tetap saja orang-orang ini tetap hadir dan berusaha masuk dalam dunia sunyi ini. Aku sedang lelah semesta, sedang tak ingin main-main dalam hal rasa, tolong bantu aku menghindarinya.
Ia mencari-cari Dm dari Murteza, tetapi ia tidak menemukannya. Sudah hampir satu minggu mereka tidak berkomunikasi. Terakhir kali Murteza mengabarinya akan pergi ke Jogja karena ada seminar kesehatan. Ia mencoba memejamkan matanya berharap apa yang dialaminya bisa dilupakan dan tak pernah terjadi lagi terutama kehadiran pesan dari Rizal. Meskipun ia sudah memaafkan kesalahan Rizal secara keseluruhan, baginya Rizal telah menjadi sosok asing yang tak perlu ia ketahui lagi. Patah yang disebabkan oleh Rizal tak akan pernah sembuh meski ia memutuskan untuk kembali kepadanya. Ia akan selalu merasa patah dan rapuh ketika ia bersentuhan dengan hal yang berkaitan dengan Rizal. Ia yakin, suatu saat ia akan menemukan sosok yang menyembuhkan lukanya, memperbaiki patahnya, membuatnya utuh. Nanti, saat semuanya sudah siap.
~~~~~
Di sebuah kamar berukuran sedang, Farel terlihat kebingungan. Sedari tadi, matanya menatap layar ponsel yang tepat berada di kolom chat dengan penerima “Reina”. Setiap kali jarinya mengetik suatu kalimat, ke sekian kalinya jarinya pun menghapusnya kembali. Hatinya bimbang, ”Apakah sudah saatnya?,” ia terdiam sejenak kemudian mengetik kembali, “Gue bisa,” ia pun menyunggingkan bibirnya, jarinya pun mengklik “kirim”.
“Akhirnya.” Ia menghela nafas dan melihat kembali isi pesan yang dikirimkannya seolah tak percaya. Besok, apa yang dipendamnya akan segera terungkapkan. Semua rasa yang tercipta atas ketulusan Reina mampu meyakinkannya bahwa gadis tersebut merupakan sosok yang sangat istimewa. Ia tak pernah merasakan jatuh cinta berkali-kali dengan gadis lain, tetapi kehadiran dan keunikan Reina mampu membuatnya jatuh cinta berkali-kali dan bersyukur bahwa hidupnya kini lebih berarti. Meskipun ia pernah berhubungan dengan gadis lain, Reina tetap sosok gadis yang sangat memahaminya dari siapapun begitu pun sebaliknya.
Semoga tak ada yang patah
Farel menelpon temannya Rangga untuk memberi tahu rencananya tersebut. “Halo Bro,” ucapnya lantang sampai tak sempat mengucapkan salam terlebih dahulu karena merasa sangat bahagia.
Farel mengulang kembali ucapannya, “sorry Bro, Assalamu’alaikum.”
“Gue mau ngasih tau lo rencana gue buat cewe yang gue suka,” ucapnya sangat bersemangat.
“Iya gue mau ngungkapin perasaan gue besok.”
“Di cafe favoritnya, cafe “cofeetime”, doain gue ya, semoga berhasil,” pintanya sambil tertawa.
“Yaudah makasih ya, gue tutup dulu, wa’alaikumussalam”. Farel pun menutup panggilannya. Jantungnya berdebar cukup kencang, ia sudah tak sabar menunggu hari esok.
“Semoga semuanya lancar!”
Di sisi lain, Rangga juga meraskan hal yang serupa. Bahagia karena dapat melihat kembali lebih dekat sosok gadis yang selama ini ia cari. Hatinya berbunga-bunga sesaat ia mengingat kejadian tadi sore, pertama kalinya, ia mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan gadis tersebut. Meskipun gadis yang diincarnya tersebut sedikit kesal dan ketus menjawab setiap pertanyaan yang diajukan, tetapi ia tetap bahagia, pencariannya sudah selesai.
“Farel udah siap eksekusi, gue juga bakal susun rencana.”
Ia juga tak mau menunggu lama untuk segera mengungkapkan perasaannya tersebut kepada gadis tersebut, tetapi ia bingung harus memulai darimana. “Gimana caranya ya, deket aja belum, oh iya gue liat buku catatan milik dia aja, kali aja ada petunjuk”, ucapnya sesaat ia teringat buku catatan dengan gantungan “Reina” yang terjatuh tiga bulan yang lalu.
“Eh tadi gue denger cewe yang disukai Farel itu suka sama cafe coffeetime, kok kayak Reina sih, atau perasaan gue aja,” pikirnya sejenak.
”Loh bukunya dimana?” ucapnya panik ketika ia tidak menemukan keberadaan buku catatan tersebut. Tangannya mulai mengobrak-ngabrik rak buku miliknya, ia juga memeriksa setiap laci meja yang ada di kamarnya.
“Nah ini dia,” ucapnya lega setelah tangannya menggenggam kotak berukuran sedang yang di dalamnya berisi barang yang dicarinya.
Perlahan ia membuka kotak tersebut, memang benar buku catatan milik Reina tersimpan di dalamnya. Tangannya pun meraihnya dan mulai membuka kembali halaman per halaman dari buku tersebut. Hingga di halaman terakhir, ia menemukan sebuah foto yang berukuran lebih kecil dari buku catatan kecil tersebut, ia menatapnya dalam-dalam foto seorang lelaki dan perempuan yang sedang duduk di sebuah taman. Semenjak ia menemukan tersebut, ia tak pernah membuka halaman terakhir dari buku tersebut, hanya halaman depannya saja. Tapi hari ini, ia membuka halaman terakhir dari buku tersebut dan melihat sesuatu yang sangat mengejutkan.
Ia pun tercengang. “Hah...Fa..re..l,” ucapnya seolah tak percaya bahwa lelaki yang duduk di sebelah Reina adalah Farel, temannya.
Ia pun terduduk lemas, ia masih tak percaya jika ia menyukai gadis yang sama dengan temannya. “Kenapa selalu seperti ini, Tuhan?” batinnya memekik. Ia kembali terjebak cinta segitiga seperti peristiwa yang terjadi kepadanya sewaktu SMA.
“Woi Bro, besok gue mau nembak cewe,” ucap seorang lelaki berseragam putih abu-abu dengan jahitan papan nama di seragamnya betuliskan “Reno”, menepuk bahu lelaki yang tepat berada di sebelahnya.
Lelaki dengan seragam yang sama dengan jahitan papan nama “Rangga” pun menatap Reno curiga, “Lo serius?” tanyanya.
“Lo mau tau siapa cewenya?”
“Siapa?”
“Tuh,” ucapnya menunjuk ke salah seorang gadis yang sedang menikmati makanannya.
Rangga terdiam, ia melihat temannya menunjuk seorang gadis yang ia sukai. Ia menelan ludah seolah tak percaya, “lo mau nembak Rere?” tanyanya memastikan.
Reno pun tersenyum, “Iya”. “Lo setuju kan?” Tangannya menyenggol tangan temannya tersebut.
“Iya gue setuju,” ucap Rangga pasrah.
Hatinya perih, “Gue harus ngerelain Rere, gue harus liat Reno bahagia”.
Apakah kali ini, ia harus kembali menyerah dan pasrah seperti apa yang dilakukannya dulu? Atau jujur atas kebahagiaannya?
Rangga terdiam, senyumannya hilang dari wajahnya, ia resah dengan keadaan yang menimpanya. Ia belum bisa memastikan dirinya untuk memilih, apakah tetap berjuang atau menghilang? Perasaannya kepada Reina berbeda dengan perasaannya kepada Rere. Ia pikir, Rere hanya cinta monyet, sedangkan Reina lebih dari itu. Ia tidak bisa langsung mengambil keputusan, ia tak mau menyesal untuk ke sekian kalinya.
Satu jam pun berlalu, ia telah memilih untuk berusaha dan berjuang. Ia tak peduli apa yang akan terjadi kepada pertemanannya suatu saat nanti. Tapi, untuk saat ini, ia tak kan menyerah, ia akan berusaha mengejar cintanya dengan sejuta rintangan yang siap menghadangnya. Ia hanya ingin berjuang, meski belum tentu ia menjadi tempat untuk pulang.
~~~~~~~~~~
“Na...Nana...” panggil Bunda. “Na, Farel udah jemput,” lanjutnya.
“Iya bun, sebentar.”
Reina keluar menggunakan jaket levis dengn rok tigaperempat, rambutnya diikat, di lengan kirinya ada sebuah tas kecil berwarna hitam sudah menggantung dan sepatu kets warna putih melengkapi penampilannya.
“Maaf ya, ” ucapnya nyengir kepada Farel.
Farel tersenyum, “Santai, aku ga telat kan,” ucapnya sombong.
“Iya-iya, aku yang telat.”
“Yuk!”
“Bun, Nana berangkat dulu ya,” pamitnya sembari mencium tangan Bunda. Farel pun mengikuti dari belakang.
“Farel tolong jaga Nana ya,” pinta Bunda.
“Iya tante, tenang aja.”
“Apa sih, yang ada aku yang jagain dia bun”, ucap Reina jail.
Mereka berdua pun meninggalkan rumah menuju cafe. Di tengah perjalanan, jantung Farel berdetak sangat kencang, “Gue bisa gak ya?,” batinnya. Sesekali matanya melirik Reina yang sedang asyik menonton film di ponselnya sambil ketawa-ketawa. Ketika dirinya kembali fokus ke arah jalan, tak sengaja ada seorang pengendara motor menyalip mobilnya, membuat dirinya tak bisa mengendalikan kemudinya.
Reina kaget dengan situasi tersebut, “Rel...ini kenapa Rel”
Farel tak menjawab pertanyaannya, ia berusaha menyeimbangkan laju mobilnya, tetapi gagal. Ia menabrak bahu jalan. Mobil berhenti, mereka berdua pun tak sadarkan diri.
Farel perlahan membuka matanya, tangannya memegang kepala yang sakit karena terkena benturan, “aduh”. Ia melirik ke sebelahnya, melihat kening Reina dilumuri banyak darah akibat kecelakaan tersebut. Tangannya berusaha membangunkan Reina, “Na, bangun,” ucapnya haru.
Reina tak menjawab. Ia kembali memanggil namanya, “Na bangun Na, please,” pinta Farel sedikit histeris.
Mereka pun segera dibawa ke rumah sakit terdekat oleh para warga yang melewati area kecelakaan tersebut. Farel tampak menyesal melihat keadaan Reina yang belum sadarkan diri. Ia terus menerus menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi kepada Reina.
“Sus, ruang melati No. 1 blok A itu di sebelah mana?” tanya Bunda panik setelah mendapat telpon dari Farel bahwa dirinya dan Reina mengalami kecelakaan. Ia menghentikan salah satu suster yang sedang menderek ranjang.
“Ibu lurus, kemudian belok kanan,” tunjuk suster mengarahkan bunda.