22 JUNI 2019
Hujan diluar sana berjatuhan. Menumpahkan segala kesedihannya kepada bumi, memberitahukan semesta bahwa saat ini ia tengah bersedih. Tak hanya hujan yang kini sedang bersedih. Aku yang menatapnya dari jendela beningpun ikut menangis. Aku kini duduk diantara papa dan mamaku. Mereka menyaksikanku menangis.
“Ma, Pa. A..ku hanya ingin sekolah di SMA IDOLA, gak disekolah lain apalagi SMK.” Ucapku dengan terbata-bata. Kutatap wajah kedua orang tuaku bergantian, berharap mereka mau berusaha.
Pendaftaran SMA IDOLA sudah terbuka sejak tadi, sekitar jam 9 dan sekarang sudah jam 10. Aku benar-benar takut tidak akan diterima disekolah yang aku impikan sejak dulu. SMA IDOLA adalah SMA unggulan didaerahku, sangat sulit untuk bisa masuk ke SMA itu jika tak memiliki nilai tinggi. Dan itu yang aku khawatirkan, nilaiku tak cukup tinggi, hanya nilai standar yang tertulis diselembar kertas putih yang membuatku ketakutan. Jika melihat jarak rumahpun aku jamin pasti akan ditolak karena jarak sekolah kerumahku lumayan jauh. Seperti kakak kelasku tahun lalu, mereka banyak ditolak.
“Kenapa pendaftaranku sama sekali tak bisa di acc” tangisanku menjadi-jadi ketika melihat layar laptopku yang sama sekali tak memperlihatkan apa yang ku inginkan.
Mama dan papaku nampaknya sudah pusing melihatku menangis sejak tadi.
“Mau bagaimana lagi. Jangan bodoh dengan terus-terusan menangis” Mamaku pasti sudah lelah melihatku menangis sehingga ia mengatakan hal seperti itu.
“Kita bisa apa juga? Gak ada namanya bayar orang buat masuk.” Kini papaku juga ikut berbicara. Seperti yang kukatakan sangat sulit untuk masuk ke SMA IDOLA. Aku menundukkan kepalaku, mataku tetap saja memanas dan terus menjatuhkan air mata meski sudah ku usahakan untuk menahannya agar tak menetes lagi.
“Tapi pa, aku mau sekolah dimana lagi?” suaraku terdengar bergetar.
“Aku gak mau masuk SMK, ataupun SMA lainnya”
“Dari dulu, aku gak pernah kepikiran masuk sekolah lain selain SMA IDOLA”
“Pa, Adelia harus apa lagi?” tangisanku pecah seketika. Aku membenci diriku yang lemah dan tak tau harus apa dalam situasi seperti sekarang. Keahlianku hanya menangis dan menangis.
Tiba-tiba, suara decitan kursi terdengar dari telingaku. Kepalaku terangkat spontan ingin melihat ada apa. ternyata papa berdiri kemudian berjalan masuk kekamarnya. Lagi-lagi aku hanya bisa menangis dan berbicara sendiri dengan diriku.
‘Kenapa tidak ada satupun orang yang peduli denganku?’ aku menutup mulutku rapat-rapat. Berusaha agar isakanku tak terdengar ditelinga mama.
“Pergi ganti pakaianmu. Papa baru ingat kalau om Pratama anaknya bersekolah di SMA IDOLA” Tiba-tiba saja papa muncul dan memberi perintah. Perasaanku yang tadinya hancur langsung baikan meski mataku tak berhenti menangis.
“Dia bisa bantu aku pa?” tanyaku antusias meski suaraku tetap bergetar.
“Belum tentu sih. Tapi coba aja kerumahnya bertanya” aku langsung mengangguk semangat. Senyum dibibirku juga mulai mekar. Langsung saja aku bangkit dan berlari dengan semangat kedalam kamarku.
******
Gerimis menyapaku ketika aku membuka jendela mobil. Aku tak begitu menyukai hujan, alasannya karena hujan membuat aku malas dan mengantuk. Merasakan angin yang mulai meniup hujan aku langsung menutup kaca mobil, lalu beralih menatap papa yang fokus menyetir.
“Pa”
“Hm?”
“Kira-kira aku bisa keterima di SMA IDOLA tidak?”
“Menurut papa kamu akan ditolak” mataku langsung melotot seketika menatap papa dengan tatapan tak percaya.
“Wah, aku sebenarnya anak papa bukan sih?” ucapku dengan nada sewot. Papa hanya tertawa merespon ucapanku barusan.
“Aishh”
*****
Aku kini berdiri didepan pintu sebuah rumah yang lumayan besar. Rumahnya kelihatan sepi. ‘Apakah ada orang?’ itu yang kupikirkan pertama kali saat turun dari mobil. Papa mengetuk pintu dan mengucapkan salam, dan tak butuh waktu lama muncul seorang pria yang kulihat seumuran dengan papa. Pria itu tersenyum melihat papa dan juga tersenyum saat melihatku, kubalas senyuman itu dengan sebuah senyuman ramah memperlihatkan deretan gigiku.
Aku tau pria didepanku ini. Dia teman papa, dan aku sudah pernah kerumah ini sebelumnya, hanya saja aku tak pernah melihat anaknya. Tapi kata papa, aku pernah melihat dia sebelumnya, karena dulu dia pernah kerumah sama papanya tapi aku lupa. Oh iya sampai lupa. Nama om didepanku ini adalah Pratama.
“Ayo masuk” Om Pratama mempersilahkan aku dan papa untuk masuk. Saat menginjakkan kakiku masuk kedalam, suasana nyaman menyambutku. Nyaman dalam artian sepi dan tenang sama seperti rumahku. Om Pratama mempersilahkan kami duduk.
“Mau minum apa Her?” Om Pratama kemudian berdiri.
“Kopi saja” Om Pratama mengangguk lalu beralih menatapku yang diam-diam memperhatikan seisi rumah, melihat apakah ada yang berbeda. Terakhir kali aku kerumah ini kelas dua SMP, sudah lama sekali.