Semua bermula dari suatu siang yang biasa-biasa saja. Kusebut biasa-biasa saja karena siang itu siang yang tenang. Tidak ada badai, tidak ada hujan. Matahari bersinar terang tapi tidak terik. Langit biru membentang dan awan mengambang tipis. Angin bertiup sepoi-sepoi.
Siang itu menjadi siang yang tenang karena televisi juga sedang tenang—tidak ada berita artis atau politik yang dibahas berulang-ulang seminggu penuh—Bu Rodiah biasanya akan menyetel tv nyaring sambil menyetrika jika sedang ada kehebohan dunia, lalu ikut-ikutan berkomentar bahkan tak jarang seperti seorang pengamat, ia ikut memberikan teori dan analisa, dan akulah yang harus mendengarkan berbagai ocehannya dengan ‘patuh’ karena di setiap siang di Rumah Asih hanya ada aku di sampingnya.
Siang itu aku sedang membersihkan kandang ayam ketika Pak Labu datang, ia suami Bu Rodiah. Lelaki setengah baya bertubuh cembung itu menjatuhkan badannya yang berat di bangku kecil kayu di sebelahku. Uap panas tubuhnya yang beraroma bawang berhembus ke hidungku. “Akhirnya ada pekerjaan yang cocok untukmu [Si:],” katanya sambil mengipas-ngipas tubuhnya dengan koran bekas. Wajah Robbin Williams, aktor idolaku jadi ringsek di jari-jarinya yang padat.