Aku ditinggalkan di taman. Taman Suropati namanya, karena itu Ibu Asih dan Bapak Hadiwijaya—sepasang suami istri yang menemukanku memberiku nama Suropati. Dulu aku dipanggil Suro, aku senang dipanggil Suro karena kupikir namaku berasal dari nama pahlawan, tapi menjadi tidak sejak tahu yang sebenarnya. Setiap kali seorang memanggilku dengan nama Suro, aku tak mampu melawan sedih. Aku manusia biasa. Setiap manusia memiliki rasa sedih tapi aku tak suka memelihara sedih. Sedih bukanlah untuk orang seperti aku, orang buangan. Orang buangan yang memelihara sedih hanya akan menghancurkan diri sendiri sementara tak pernah ada yang benar-benar peduli. Aku tak mau bergabung dengan orang-orang cengeng.
Bisma yang memberiku nama [Si:], saat itu umur kami tujuh belas tahun.
“Karena Aa’ itu seperti cicak,” kata Bisma tanpa bermaksud menghina. “Diam-diam di dinding, mendengarkan orang berbicara. Ck…ck…ck…bukankah itu yang bisa diucapkan cicak? Sedang Aa’ tak pernah komentar, Aa’ sepuluh level di atas cicak, Aa’ seratus level di atas manusia biasa.”