Ardanareshwar

Ghozy Ihsasul Huda
Chapter #1

Penguasa

"Aku bosan," gumam seorang pemuda dengan kulit seputih salju ditengah kobaran api membiarkan rambut hitam legamnya berkibar diterpa angin bersamaan dengan syal merah panjangnya.

"Ampun Prabhu!!, aku tidak akan mengulangi tindakanku ini," teriak seorang pria tua sambil menyeret tubuhnya menjauhi pemuda tadi.

"Ahh berisik," gerutu pemuda tadi seraya menembakkan laser dari ujung jarinya untuk memusnahkan pria tua tadi sampai tak bersisa.

"Oi Ihsan, kau berlebihan lagi, dia saksi penting untuk membongkar bandar perjudian ini," ucap pemuda berkulit hitam yang turun kearah pemuda bernama Ihsan tadi.

"Dia membuatku risih cak Alim, lagian kau juga udah punya saksi lain," ucap Ihsan.

"Aduuh dia kan bandarnya disini, pasti lebih banyak informasinya," ucap Alim.

"Udahlah Alim, kita masih bisa menyelidiki kasus ini dengan saksi dan bukti yang ada, Ihsan kan datang hanya karena kurang hiburan," ucap pemuda dengan rambut putih yang muncul dari puing-puing membawa beberapa barang.

"Kau terlalu sering memaafkannya Yusuf, dia ini raja alam semesta, kok bisa loh masih kayak gini," ucap Alim pada pemuda berambut putih tadi.

"Dia sedang patah hati Alim, tentu saja semuanya terasa hampa baginya. Heh Ihsan, kalau memang kau sayang padanya carilah cara untuk membuatnya kembali, kau kan raja," ucap Yusuf sembari menatap Ihsan yang mulai murung menatap langit.

"Shafa...," gumam Ihsan sambil menghembuskan nafas panjang seraya memejamkan matanya.

...

Sementara itu jauh dari sana disebuah restoran, seorang gadis sedang terlihat memotong ikan lalu membakarnya. Disisi lain tubuhnya ada sepiring nasi dan semangkuk kecil sambal terasi serta potongan sayur segar tempatnya kemudian menaruh ikan yang dibakarnya tadi sebelum akhirnya tangannya menekan bel agar ikan bakarnya segera disajikan. Tepat setelah itu gadis tadi tersenyum kecil seraya menghapus peluhnya dan beristirahat menyadari bahwa itu adalah pesanan terakhir sebelum istirahat makan siang.

Tepat setelah itulah gadis tadi segera mengambil pakaiannya dan bergegas berangkat menuju ruangan kecil di restoran itu untuk menunggu waktu dzuhur. Didekat ruang itu diambilnya setangkup air untuk mulai membasuh wajahnya yang seputih awan dengan kelopak mata lebar berwujud kuncup bunga, menyembunyikan bola mata yang jernih dengan semburat merah yang mewarnai iris matanya, dibasuhnya lagi wajahnya yang kali ini membuat air mengalir dari alisnya menuruni lentik bulu matanya mengaliri hidungnya seperti sungai yang mengalir disekitar batuan menuju rona merah di bibirnya yang membingkai mulutnya yang tersenyum lebar hingga akhirnya air jatuh dari dagunya. Kemudian diambilnya lagi air untuk membasuh kedua tangan dengan jemari lentiknya melewati lengan lembutnya dan sampai sikunya yang bersih dari noda lalu dia angkat lagi tangannya untuk membasuh rambut panjang yang segelap langit malam dan menjuntai lurus sampai ke punggungnya lalu akhirnya dia basuh kedua kaki kecilnya sebelum membaca do'a dan merapikan lagi pakaiannya menutup seluruh bagian tubuhnya kecuali wajahnya dengan kebaya hitam longgar berlengan panjang lengkap dengan sarung tangan dan kaus kaki hitamnya serta jarik merah panjang yang dia gunakan untuk mengikat pinggulnya sebelum akhirnya melangkahkan kakinya menuju ruangan kecil itu dimana seorang lelaki telah menunggu.

"Sungguh kau sebuah anugrah ditempat ini, tak bosan-bosan aku memandang wajahmu yang sempurna itu Shafa," ucap lelaki tadi sambil memandangi wajah gadis bernama Shafa yang baru memasuki ruangan itu.

"Hhh harus berapa kali aku mengingatkanmu pak Fikri, kau itu laki-laki, gak seharusnya beribadah disini, pergi ke masjid sana," ucap Shafa yang mulai sedikit risih.

"Ah benar, tapi mungkin sesekali bolehlah aku disini, mungkin kau sedang butuh imam," goda lelaki bernama Fikri itu.

Lihat selengkapnya