Ardanareshwar

Ghozy Ihsasul Huda
Chapter #40

Hanya Dia

Jum'at, 12 Desember 2014, dini hari. Shafa sedang sibuk menuliskan berbagai macam resep untuk restorannya, dimejanya terlihat sebuah tumpukan kertas tak peduli bahwa dibalik kacamatanya terlihat sorot lelah dan kantuk yang dia tahan akibat kurang tidur semenjak membuka restoran. Disampingnya terlihat segelas kopi hitam yang sudah sejak lama habis. Dipandangnya sebentar gelas itu sebelum akhirnya dia menyelesaikan satu menu lagi dan menumpuknya bersama yang lain sebelum memasukkannya kedalam loker.

Tepat setelah itu berdirilah dia dari meja lalu ditatapnya sahabat-sahabatnya yang sedang tertidur pulas. Kantuk sempat merayapi pikirannya sekali lagi namun setelah dilihatnya jam dan menyadari bahwa shubuh akan segera tiba maka bukannya menuju kamar tidur, Shafa justru mandi untuk menyegarkan tubuhnya.

Seusai mandi Shafa keluar sambil membuang sebuah benda penuh darah kesebuah tempat dimana dia membakarnya sampai habis dengan tangannya bersama benda-benda yang sama sebelum akhirnya mengambil sekaleng susu dikulkas dan keluar melihat salju turun.

Sambil memandangi salju turun membasahi wajahnya Shafa terduduk diam, menyandarkan kepalanya ke jendela restoran, membiarkan tempias angin dingin menerpa tubuhnya. Bersamaan dengan itu dipandanginya rembulan yang mengingatkannya pada hiasan kepala kekasihnya sebelum ia pejamkan matanya seraya tersenyum mengingat setiap kenangan yang mereka buat bersama sewaktu sekolah dan dilihatnya sosok anak kecil yang selalu dia lindungi. Perlahan dia melihat anak kecil itu tumbuh menjadi seorang bocah yang memulai bisnisnya. Memori terus berputar dikepalanya dan kini bocah itu tumbuh menjadi seorang pemuda yang menyatakan cinta padanya. Tak lama kemudian pandangannya berputar lagi memperlihatkan pemuda tadi dikampung halamannya dan saat itulah dia melihat kedua orang tua pemuda itu yang terus tumbuh hingga menjadi pahlawan di kampung halamannya. Terus dia putar memorinya dan dia lihat sang pahlawan kini berjuang bersamanya memperebutkan kemenangan. Tak lama dia menyaksikan pemuda itu berjalan gontai dalam memorinya, membawa sebuah permata yang kini dia bungkus menjadi kalungnya sebelum akhirnya pandangannya buram. Tangis mulai turun dari matanya yang tak mau mengingat lagi kejadian setelah itu.

"Andai aku memintamu berhenti saat itu, semua ini takkan terjadi, kau tak perlu memikul Dunia di pundakmu, andai saja aku mengatakannya, kau tak perlu menderita, kini setelah semua kutukan dan beban yang kuberikan padamu, aku bahkan belum pantas menghiburmu," gumam Shafa sambil menyeka tangisnya saat tiba-tiba sebuah saputangan terlihat dihadapannya.

Perlahan diambilnya saputangan itu dan akhirnya tangan Zahra terlihat dengan jelas setelah dia coba menghapus air matanya. Perlahan dari sisi lain, sebuah pelukan menghangatkan tubuhnya saat dia menyaksikan Shifa yang masih mengantuk memeluk dirinya sementara dari belakang Sekar membawakan kudapan untuk mereka.

"Terimakasih," ucap Shafa lirih.

Lihat selengkapnya