"Halooo Lintaaang, kamu lagi ngapain sayang," ucap Rasha lewat telepon genggamnya.
"Sekarang sedang mengurus persenjataan, gimana kabarmu," sahut Lintang dari barak militer.
"Aku baik-baik saja kok, eee bisa kau datang kesini sebentar," tanya Rasha.
"Iya, tunggu aku selesai ya," sahut Lintang.
"Iya, aku tunggu, wassalamualaikum," sahut Rasha sebelum menutup gawainya.
"Waalaikumsalam," sahut Lintang sebelum beralih menuju senjata barunya.
"Hmm, ada apa lagi dengannya, apa dia bikin masalah lagi," gumam Lintang sebelum fokus mengecek senjatanya.
Sementara itu di restoran. Shafa terlihat hanya menyaksikan dari kejauhan sambil berusaha untuk tenang.
"Sesekali balaslah suratku, sekali saja, tolong sempatkan untuk menuliskan satu kata saja untukku, sekali saja carilah waktu barang sedetik dari semua kesibukanmu itu untuk menuliskan sesuatu untukku, masih belum pantaskah diriku untuk mendapatkan balasan darimu, aku mungkin memang belumlah orang yang sepenting itu untukmu, tugasmu memang yang utama oh Maheshwara, tapi sudilah engkau membalas satu kata saja untuk rakyatmu ini," pikir Shafa sembari menggulung sebuah kertas dan menyelipkannya ke kaki seekor macaw yang segera terbang menuju kantor pos terdekat.
"Mau sampai kapan engkau terus mengirim surat untuknya, mungkin dia sibuk Shafa," ucap Shifa.
"Aku hanya ingin tau kabarnya," ucap Shafa.
"Sudah beberapa hari ini kau terus berusaha berkabar dengannya, mungkin saja kau salah alamat," ucap Sekar.
"Mana mungkin, mana ada raja yang menyembunyikan alamat rumahnya," ucap Shafa.
"Barangkali dia ada alamat lain yang lebih pribadi, maksudku Yusuf juga punya dua alamat," ucap Sekar.
"Aku hanya bisa mengirim surat ke Suralaya," ucap Shafa.
"Tertumpuk mungkin suratmu itu," ucap Shifa.
"Atau memorimu yang salah, kau mungkin hanya berhalusinasi saja karena terlalu menginginkannya," ucap Zahra.
"Kalaupun itu halusinasi maka semoga jadi nyata, aku percaya bahwa dia akan memperhatikanku, setidaknya sebagai rakyatnya," ucap Shafa.
"Iya, semoga jadi nyata Shafa," sahut Sekar.
"Ihhh gatal banget pingin ngomong," pikir Shifa yang terlihat memalingkan muka.
"Kenapa Shifa itu sebenarnya," pikir Zahra.
...
Malam hari akhirnya tiba dan suara seekor merak menggetarkan langit restoran saat kemudian sayap putih dari paravani terlihat melintasi awan membawa Lintang menuju restoran. Begitu paravani mencapai tanah, dengan lembut sang Mahasena melangkah turun tanpa sedikitpun suara membawa sekotak hadiah menuju Rasha yang saat itu sedang sibuk menata beberapa barang-barang yang dibelinya untuk dibawa Lintang.
"Ada apa Rasha, barang-barang siapa itu," tanya Lintang.
"Umm, aku beli saat kerja disini, mungkin akan berguna untuk rumah kita nanti, tolong simpankan," ucap Rasha.
"Monitor 6 layar ya, ada saja idemu membeli barang-barang ini," ucap Lintang.
"Itu agar aku bisa nyaman bekerja, monitor untuk bermain, lalu ada kain batik yang aku buat sendiri, ini peralatan memasak dan banyak lagi, tolong simpankan ya," ucap Rasha.
"Hmm, baiklah, tapi kenapa sampai kau titipkan padaku," tanya Lintang sambil membuka kotak hadiahnya.