"Sun arep-arepaken, tekan riko raino lan bengi, koyo panas ngerandu udan mesti yang biso ngademi, sun impekno kauripan, hang agung indah nggowo senenge, sun lan riko lungguh kuwade, gandane kembang hang dadi saksine."
Senandung suara Ihsan terdengar dari luar ruang kerjanya saat kemudian seorang gadis kecil datang membawakan minum untuknya.
"Nih mas, dibuatkan ibuk," ucap gadis kecil itu.
"Makasih Fira," ucap Ihsan dengan riang.
"Surat-surat mbak Shafa itu masih mbok simpen mas," ucap Fira.
"Ehehehe, iya," sahut Ihsan.
"Gak mau bales kah!?, sampai harus pakai surat resmi, kau gausah nahan-nahan gitulah mas, udah sama-sama suka, ada modal, nikah aja apa susahnya sih, nanti aku bantu-bantu kok," ucap Fira.
"Sabar dek, harus ada persiapan," ucap Ihsan.
"Oponeeeh, ibuk dah kuatir, makanya ngobrol ginian jangan sama bapak terus, emang dari dulu bapak gak romantis masih aja tanya bapak," ucap Fira.
"Tenang ajalah Fira, aku juga sedang bersiap kok, bilang ibu, nunggu jualan mbak Shafa lancar dulu," ucap Ihsan.
"Nek gitu bantuin kek, biar lancar," ucap Fira.
"Kalau itu agak susah Fira, mas cuma bisa bantu pas sempat aja, udahlah kamu belajar dulu," ucap Ihsan.
"Iya, oh iya mas, suaramu kedengaran dari luar, asik banget nyanyimu," ucap Fira sebelum melambaikan tangan dan pergi.
"Eeeeh, kurasa aku perlu sedikit lebih pelan, hmm gimana kabarnya disana ya," pikir Ihsan sambil melanjutkan tugas-tugasnya.
...
Sementara itu direstoran. Shafa terlihat bekerja dengan riang, wajah cerahnya seolah menyinari dapur, mengisinya dengan kegembiraan saat dia mulai dengan telaten mulai mencontohkan satu demi satu metodenya untuk mengolah makanan. Saat itu Rasha juga mulai belajar membatasi dirinya dalam bertugas dan lebih fokus mencontohkan caranya bekerja dengan pelan dan detail pada petugas kebersihan lainnya. Saat itu restoran sudah berjalan dengan lancar, semua hal sudah kembali stabil dan juga mulai kembali menyerap tenaga kerja. Tak banyak yang menduga bahwa sebuah bisnis yang berawal dari sebuah truk makanan kini sudah menjadi restoran luas dengan beberapa lantai dan hiasan indah. Beberapa orang sudah mulai mengambil foto sebelum makan disana, sebuah taman bermain disediakan beserta sebuah kebun sayur kecil yang sengaja ditampakkan untuk edukasi. Menu unik disana juga merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan mengingat hampir bisa dipastikan bahwa menu setiap hari akan berubah namun yang membuat banyak orang antusias adalah menu pembuka berupa jamu yang disediakan, hari itu kebetulan Shifa sedang membuat kunir asam untuk orang-orang disana. Hari itu senyum cerah Shafa menghangatkan seisi dapur yang akhirnya dibawakan Zahra dan para pelayan lain keluar menuju meja makan bersama pesanan pelanggan. Saat itu para pelanggan juga sesekali mendengar gelak tawa kecil Shafa yang kadang bersenandung riang.
Dalam suasana itulah Rasha mulai memperhatikan dengan seksama dan mulai terpikir sesuatu sambil mencuci beberapa piring. Segera setelah itu sebuah catatan kecil dibukanya dan sesuatu ditulisnya.
"Semoga Shafa suka dengan ide ini," pikir Rasha sebelum menutup buku hariannya dan kembali bekerja.
Waktu berlalu dan Shafa melambaikan tangannya pada matahari, menyambut lembut sinar rembulan yang menembus awan menuju wajah Shafa yang sedang keluar sebentar untuk meregangkan tubuhnya sambil menangkap butiran salju yang semakin banyak. Disaat itu pula Sekar dan timnya menjalankan alat-alat mereka untuk memecah dan menyingkirkan salju sambil menyalakan lampu minyak untuk menerangi malam sekaligus memberikan kehangatan meski tak seberapa.
"Shafa, gimana menurutmu, salju sudah mulai tebal, tanaman kita perlu kehangatan, aku rasa kita perlu penghangat ruangan untuk kebun," ucap Sekar.
"Tak bisakah kita menggunakan kompor untuk itu," ucap Shafa.
"Agak kurang rata panasnya, lagipula kompor kita lebih baik digunakan untuk masak, restoran kita terlalu ramai untuk mengorbankan alat dapur untuk berkebun, lebih baik kita menggunakan sistem penghangat ruangan terisolir," ucap Sekar.