Kinar membuka pintu gudang, menyisir pandangan ke sekeliling.
"Kemarin pas cari botol, di sebelah sana ada senter." ujarnya sambil menunjuk.
Olivia mengintip satu persatu barang yang tertutupi oleh kain putih yang sudah berdebu.
Setelah berhasil ditemukan, Kinar segera mengambil senter tersebut lalu mengetuk-ngetuknya. Memeriksa apakah masih menyala atau tidak.
Senter mulai berkedip, lalu menyala namun cahayanya sudah redup.
"Nggak terlalu terang, tapi gapapa lah yang penting masih bisa nyala." ujarnya.
"Ini banyak kayu, bisa dijadiin obor kalo kita bisa nyalain api." celetuk Olivia.
"Yang pake batu terus digesek itu?" tanya Nara.
Olivia mengangguk.
"Kelamaan Liv, waktu kita terbatas. Ini udah mau malem loh."
"Iya juga ya, yaudah deh pake senter aja."
Ketiganya segera keluar dari gudang, berjalan kembali memasuki kamar.
Ketika sampai tepat di depan pintu kamar, Davin dan Rifael datang membawa dua botol bekas yang telah terisi air.
"Kita makan dulu sebentar, gue sama Fael barusan nangkep ikan." ujar Davin.
"Ikannya mana?" tanya Nara.
"Ada di luar sama ranting-ranting pohon juga, kalian yang masak ya. Giliran kita berdua yang ngaso." jawab Rifael terkekeh.
------
Nara menaiki anak tangga terakhir lantai atas. Mendapati Davin seorang diri menatap ke luar jendela. Entah apa yang sedang dilakukannya, Nara pun segera menghampiri Davin.
"Lo ngapain disini?" tanyanya berdiri di sebelah Davin.
Davin menoleh, lalu menggeleng pelan sambil tersenyum kecil.
"Cuma lagi hirup udara bentar buat nenangin diri, itung-itung refleksi karena abis ini kita jalan lagi."
Nara manggut-manggut paham.
"Yang lain kemana?" tanya Davin menoleh.
"Oh ada kok, ngumpul di ruang tamu."
Davin beralih, kembali menatap ke luar jendela.
Wajah Davin terpampang jelas dari samping, sesekali angin malam menerpa wajah dan rambutnya, membuat perasaan Nara jadi tak menentu. Degup jantung Nara kembali berdetak tidak karuan.
"Gue boleh jujur nggak ke lo?"
"Boleh, tapi, jujur soal apa?"
"Gue sebenernya disini bukan buat nenangin diri doang, tapi sekaligus ngilangin rasa takut dalam diri gue. Tapi ternyata ..."
Davin menunduk.
"Nggak segampang itu." sambungnya.
"Lo takut kalo misalnya nanti salah satu dari kita akan celaka lagi?" tebak Nara.
Davin mengangguk pelan, "Kok lo bisa tau?"
"Ya gue ngerasain hal yang sama kayak lo, dan gue yakin Kinar, Oliv sama Fael juga. Cuma mereka pinter aja nyembunyiinnya."
Davin mendongak, menatap langit malam yang gelap tanpa adanya bintang.
Nara melihat kemeja Davin yang sobek di bagian lengan, lalu berpaling.
"Gue juga boleh jujur nggak sama lo?"
"Boleh, jujur apa?"
Nara bergeming sesaat, pandangannya lurus ke depan tak berani menatap Davin.
"Gue ..."
Nara menggigit bibir bawahnya, menutup mata rapat-rapat.
"Gue ... Gue sebenernya suka sama lo."
Davin spontan menoleh, ia terkejut mendengarnya.
"Sejak kapan?"
Nara menunduk, masih enggan menatap Davin.
"Udah lama, tepatnya pas lima bulan setelah gue gabung jadi sahabat kalian. Bahkan bisa dibilang, sampe sekarang rasa itu masih ada." akuinya.
Davin bergeming, entah bagaimana harus menanggapi. Ia benar-benar bingung.
"Gue tau ini emang bukan situasi yang tepat, tapi gue cuma mau ungkapin aja rasa suka yang ini gue pendam selama bertahun-tahun,"
Nara menghela napas sejenak.
"Dan itu nggak gampang. Buktinya baru sekarang gue beraniin diri." sambungnya.
"Apa yang lain tau soal ini?"
Nara menggeleng, "Soal itu gue nggak akan mau lakuin. Karena gue tau lo masih suka kan sama Kinar?"
Davin tertegun, matanya berpaling dari Nara.