Satu tahun kemudian …
“Kemana aja sih, lo? Ditelponin nggak diangkat-angkat?”
Rifael terkekeh, “Sorry, gue telat bangun abis bergadang semalem.”
Davin mendecak, “Kebiasaan lo. Nih, bawain ke atas, gue mau ambil minumnya dulu.”
"Siap!" lantang Rifael.
Rifael bergegas menaiki tangga.
Sesampainya di lantai atas, Rifael mendapati Nara sedang menata piring serta sendok dan garpu di atas meja.
“Udah dari tadi, Ra?”
Nara tertegun sesaat, melihat Rifael baru saja tiba dan berdiri berada di sebelahnya.
“Iya. Lo sendiri kenapa baru dateng?”
Rifael menggaruk tengkuknya, tersenyum lebar.
“Abis bergadang gue.”
Setelah semua tertata rapih, Nara menatap sepenuhnya pada Rifael.
“Lagi?”
Rifael bergeming sebentar, lalu mengangguk pelan.
“Tapi tenang aja, sedihnya udah nggak berlebihan lagi kok. Yaa, namanya juga lagi proses move on, Ra. Ada yang cepet, ada yang lambat. Nggak gampang, apalagi kejadiannya ...”
Melihat raut wajah Rifael berubah murung,
Nara menepuk-nepuk pundak Rifael.
"Udah jangan dibahas lebih lanjut lagi soal itu."
Rifael manggut-manggut, “Iya.”
Davin datang membawa minuman, bersama dengan Erika—mama Jessie dan seorang gadis kecil berusia delapan tahun bernama Azwa.
"Tante!" sapa Nara dan Rifael, segera mencium tangan Erika.
Erika menaruh paper bag di atas meja berisikan kue bolu buatannya.
“Barusan di rumah saudara, tante buatin bolu ini khusus untuk kalian, di makan ya!”
"Makasih banyak tante!" serempak Nara, Rifael, dan Davin.
Erika tersenyum, “Iya sama-sama.”
"Halo Azwa!" sapa Nara dan Rifael.
"Halo kak Nara, kak Fael!" jawab Azwa sambil melambaikan tangan.
"Gimana sekolahnya lancar nggak?" tanya Nara.
“Lancar dong, kak! Tadi Azwa ulangannya dapet nilai seratus loh!”
“Wah, pinter banget kamu!”
Nara merunduk, menyelaraskan posisinya pada Azwa.
"Minta hadiah traktir es krim yang banyak gih, sama kak Fael." isengnya.
Rifael melirik Nara dengan malas, “Gue lagi aja yang kena.”
Erika tertawa melihatnya, “Nara nih, bisa aja, kasian tuh mukanya Rifael tertekan gitu.”