Jam olahraga telah selesai. Semua siswa mengganti pakaian olahraga mereka ke seragam pramuka. Anaya, Zea, Caca, dan Sarah sedang bersama-sama mengantre di depan kamar mandi.
“Habis ini makan yuk!” ajak Zea.
“Oke,” jawab Caca. Sarah dan Anaya memberikan isyarat persetujuan dengan mengangguk.
Setelah mereka berempat selesai mengganti pakaian, mereka bergegas ke kantin sebelum waktu pelajaran selanjutnya di mulai. Masih ada 15 menit menuju jam istirahat. Istirahat dilakukan selama 15 menit. Jadi mereka masih mempunyai 30 menit waktu untuk makan.
Saat tiba di kantin. Mereka memesan nasi gado-gado. Kantin hanya diisi oleh teman-teman kelas Anaya karena saat itu belum jam istirahat.
Mereka telah selesai dengan pesanan mereka. Tinggal memilih tempat duduk. “Duduk disana,” ucap Sarah.
Sarah memandu perjalanan menuju kursi. Siapa yang sangka jika Sarah memilih meja dan tempat duduk bersama dengan teman-teman laki-laki mereka. Yang terburuk adalah dimeja itu ada Arfan. Anaya enggan untuk duduk disana. Tetapi ia tak tau cara menolak.
“Nay, ayo duduk disini,” panggil Zea.
Anaya lalu duduk di sebelah Zea. Di depan Anaya ada Raka yang juga sedang makan, dan disebelah kanan Raka ada Arfan. Posisi itu terlalu dekat, Anaya tak bisa fokus saat makan.
Kantin yang dipenuhi oleh aroma makanan. Mulai dari makanan berat seperti nasi kuning, gado-gado, bakso, mie ayam, hingga makanan ringan seperti snack dan aneka jajanan basah.
Teman-teman Anaya saling bicara satu sama lain. Tetapi Anaya hanya diam dan fokus pada makanannya. Walaupun sebenarnya Anaya kesulitan untuk makan karena perasaan gugupnya. Kantin itu ramai dipenuhi oleh suara, tetapi Anaya bisa mendengar suara detak jantungnya.
Zea secara tidak sengaja bersentuhan dengan punggung tangan Anaya. “Nay, tangan kamu dingin banget. Kamu sakit?” ujar Zea.
“Aku gapapa kok,” jawab Anaya cepat. Semua mata kini tertuju pada Anaya, termasuk Arfan.
Raka mengambil tangan Anaya. Menggenggam tangan Anaya di kepalan tangannya. “Kita ke UKS yah?” kata Raka.
Kelopak mata Anaya melebar. Ia syok dengan tindakan Raka yang terlalu tiba-tiba. “Aku gapapa,” tegas Anaya, langsung menarik tangannya. Hingga kehangatan dari telapak tangan Raka tak ia rasakan lagi.
Kegiatan makan-makan itu akhirnya selesai. Anaya akhirnya terbebas dari rasa canggung dan kegugupan. Apalagi ada kejadian Raka yang menggenggam tangannya dan disana ada Arfan. Itu buruk, Anaya takut akan ada yang salah paham akan sikap Raka.
Sebenarnya di sudut hatinya, Anaya merasa senang karena bisa makan bersama Arfan. Itu membuat Anaya bisa melihat Arfan dari jarak yang sangat dekat. Walaupun hanya bisa mencuri-curi pandangan, dan setiap pandangan hanya bertahan tiga detik saja, Anaya merasa hatinya terpuaskan dengan itu.
Tetapi karena kejadian tadi, Anaya jadi mengetahui gejala lain dari tubuhnya saat dekat dengan Arfan. Selain perasaan gugup hingga tak berani menatap mata Alvan, jantung berdetak dua kali lebih cepat, nafas yang berat, tangan Anaya juga jadi sangat dingin. Seberapa dingin tangannya terasa dari tingkat kehangatan telapak tangan Raka tadi.
“Nay, kenapa tadi diam aja? Ga kayak biasanya,” tanya Zea.
“Aku tadi lagi mikirin soal seleksi olimpiade sekolah,” jelas Anaya.
“Itu kan belum keluar,” balas Zea, kesal. Zea merasa Anaya terlalu keras pada dirinya sendiri sejak dulu.