“Rak, Arfan ikut lomba apa yah?” ucap Anaya secara tiba-tiba, dengan senyum cerah.
Raka menatap Anaya dengan wajah datar tanpa ekspresi. Tatapan itu membuat Anaya kembali sadar. Ucapan yang Anaya katakan secara tak sengaja karena suasana menggembirakan itu.
“Anaya, kamu gila.”
Anaya menunduk. Perasaan canggung menyelimuti seluruh tubuhnya. Bagaimana bisa ia bertanya seperti itu kepada Raka. Anaya mempertanyakan yang sedang Raka pikirkan saat ini. Pikiran itu membuat Anaya semakin tertekan.
“Maksud lo Marvin?” balas Raka.
Anaya kembali mengangkat kepalanya. “Iya... Marvin,” jawab Anaya cepat.
“Dia peringkat 1 mat,” jawab Raka.
Anaya mengangguk dengan cepat, ia berusaha menyembunyikan rasa canggung, cemas, dan kaget yang bercampur jadi satu.
Kemudian Marvin tiba-tiba keluar dari kerumunan orang-orang. Marvin terlihat sangat bahagia.
“Nay, selamat yah,” ucap Marvin. Senyuman kebahagiaan sangat terlihat jelas.
“Selamat juga, peringkat 1,” jawab Anaya sambil tersenyum.
“Makasi peringkat dua,” jawab Marvin dengan nada meledek. Mereka berdua tertawa bersama dengan lepas.
Disana Raka hanya menjadi penonton. Raka tak ikut tertawa atau tersenyum bersama. Ia hanya terdiam dengan wajah datar, dengan wajah yang seperti sedang berpikir dalam benaknya.
Anaya tak mengetahui jika Raka juga lolos seleksi. Nama Raka berada pada peringkat pertama di bidang Fisika. Anaya tak bertanya dan tak mengucapkan selamat.
Zea, Caca dan Sarah juga telah membaca pengumuman. Sesuai dugaan mereka masing-masing, tak ada dari mereka yang lolos. Hanya Anaya yang lolos diantara mereka berempat. Setelah selesai dengan pengumuman mereka kembali ke kelas.
Hingga tiba saat pulang sekolah. Anaya mencari Raka yang sudah keluar lebih dulu dari kelas dari pada dirinya. Di halaman sekolah Anaya berlari mencari sosok Raka hingga di parkiran sekolah. Untung saja Raka masih berada disana.
Anaya berdiri di hadapan Raka dengan nafas yang terengah-engah. “Raka...” panggil Anaya, berusaha mengatur kembali nafasnya.
Sementara itu Raka melihat Anaya dengan tatapan bingung.
Akhirnya nafas Anaya kembali berhembus dengan normal. “Selamat,” ucap Anaya sambil tersenyum. Senyuman yang membuat Raka membisu.
“Kenapa diam aja?” tanya Anaya.
Fokus Raka akhirnya kembali. “Makasih.”
“Mau makan bakso sebagai perayaan,” tawar Anaya. Raka langsung mengiyakan ajakan itu tanpa pikir panjang.
Mereka berdua lalu ke warung bakso terkenal di dekat rumah Anaya. Sang pemilik warung bakso sudah cukup akrab dengan Anaya karena Anaya sering makan disana.