“Keluar!” bentak Anaya saat Luna sedang bicara panjang lebar kepada Raka. Walaupun Raka tak menggubris sama sekali.
“Apa?” balas Luna, kebingungan. Menatap Anaya dengan sinis.
“Raka punya aku sekarang. Jangan ganggu kita!” rintih Anaya dengan ekspresi geram.
“Punya aku?” keluh Luna.
“Iya. Kita lagi belajar bareng. Dia lagi ngajarin aku dan aku merasa terganggu dengan sikap kamu. Lagian kamu ngintilin aku kan kesini. Jadi aku berhak dong usir kamu,” ucap Anaya dengan tegas.
“Liat aja nanti.” Luna pergi dalam keadaan yang sangat marah. Tetapi Anaya tak perduli akan hal itu.
Anaya kembali duduk dikursi. Menenangkan jiwa dan raganya yang masih dikuasai oleh amarah. Sementara itu Raka terus melihat Anaya sejak perdebatan tadi hingga salah satunya kalah dan memilih untuk pergi.
Kegiatan belajar kembali dilanjutkan. Setelah perdebatan dengan Luna tadi, Anaya menjadi sedikit canggung. Perkataan yang keluar dengan spontan tanpa pikir panjang itu, entah apa yang Raka pikirkan mengenai Anaya sekarang. Anaya sendiri merasa perkataannya terlalu berlebihan karena menyebut Raka miliknya. Apalagi Raka sendiri, dia pasti lebih kesal.
Ketika keluar dari perpustakaan, Anaya langsung minta maaf atas sikapnya tadi. Anaya berkata bahwa itu ia ucapkan tanpa pikir panjang. Perasaan kesal yang menggebu juga membuatnya bicara asal-asalan. Anaya berharap Raka tak kesal.
“Ga perlu minta maaf. Gue ga marah,” kata Raka.
“Kamu suka Luna?” tanya Anaya tiba-tiba.
Padahal Anaya sudah mengetahui jawabannya. Tetapi Anaya memilih untuk bertanya karena ingin memastikan satu hal.
Tetapi Raka tak menjawab pertanyaan itu. Raka malah pergi meninggalkan Anaya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Anaya sampai dibuat panik akan sikap Raka itu.
Saat sedang proses belajar mengajar, Anaya terus melirik ke arah Raka. Sikap aneh Raka tadi membuat hati Anaya tak tenang. Anaya tak terima jika Raka tak menjawab pertanyaan itu dan malah memilih pergi. Kebisuan Raka dapat diartikan sebagai sikap enggan menjawab. Biasanya itu terjadi jika pertanyaan yang diajukan adalah benar.
Pikiran itu membuat pikiran Anaya kacau. Entah mengapa hati Anaya tak menerima jika Raka menyukai Luna. Tidak masalah jika menyukai seseorang. Tetapi setidaknya jangan Luna. Anaya tak ingin temannya jatuh ke perempuan pick me, manja, cengeng, dan tak tahu malu seperti Luna.
“Pokoknya Raka ga boleh sama dia!” gumam benak Anaya ketika melihat Luna.
“Kalian udah capek belum?” tanya Bu Tutik, guru Agama dikelas.
“Udah...”
“Kalau gitu gimana kalau kita refreshing. Tapi ibu punya refreshing yang beda dari guru-guru lain. Ibu bisa baca pikiran kalian,” kata Bu Tutik.
Semua murid di kelas lalu terkejut bersamaan. Di dunia ini tidak ada yang bisa membaca pikiran. Jadi pasti ada yang tidak percaya akan hal itu. Salah satu yang tak percaya adalah Anaya.
Kemudian Bu Susan memulai permainannya. Dia meminta agar seluruh siswa mengosongkan pikiran mereka. Kemudian selanjutnya menyuruh untuk memikirkan masalah yang sedang terjadi di rumah mereka masing-masing.
Bu Tutik yang berjalan keliling kelas terlihat seperti sedang membaca pikiran mereka satu persatu.
“Gilang. Kakak kamu mau nikah yah. Semoga masalahnya cepat selesai dan keluarga kakak kamu menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, wa rahmah.” Bu Tutik tersenyum kepada Gilang.
Sementara itu Gilang terlihat syok setelah pikirannya dibaca. Ekspresi wajah Gilang menimbulkan asumsi bahwa Bu Tutik membaca pikirannya dengan tepat. Jika itu benar, itu keahlian yang luar biasa.