ARFANAYA

SADNESS SECRET
Chapter #18

Tak Ada Kemajuan

“Gue ikut.” Raka membuat langkah Anaya terhenti karena ucapannya.

Anaya kembali membalikan tubuhnya menghadap Raka. Wajah Anaya nampak tegang sekaligus bingung. “Serius?” tanya Anaya.

“Iya,” jawab Raka yakin.

Karena Anaya tak berani mengatakan bahwa dirinya berbohong jadi pergi bersama Raka ke tempat percetakan. Saat melewati Zea, Anaya memberikan isyarat pertolongan dengan menggunakan mata. Tetapi Zea hanya tersenyum meledek dan tak melakukan apapun.

Saat di tempat percetakan, Raka yang mencetak formulir pendaftaran. Raka mencetak formulir untuk dirinya dan Anaya.

Setelah selesai cetak Raka segera memberikannya kepada Anaya. “Makasih,” ucap Anaya saat mengambil kertas pendaftaran itu dari Raka.

Mereka kemudian kembali ke kelas. Setiba di kelas, Anaya mengatakan pada Raka untuk mengisi formulir di meja masing-masing saja. Setelah itu langsung pergi menaruh formulir itu di ruangan osis tanpa perlu menunggu.

Anaya kembali ke mejanya. “Kamu menang,” kata Anaya kepada Zea sambil menaruh sebuah minuman di depan Zea. 

“Yes...,” ucar Zea dengan gembira.

Minuman itu Anaya beli saat perjalanan kembali ke kelas. Karena Anaya kalah dalam taruhan jadi dia harus melakukan seperti perjanjian awal.

***

Setelah seminggu berlalu. Pengumuman hasil pemilihan anggota osis di umumkan. Nama-nama yang terpilih di pajang di mading sekolah.

Para siswa berbondong-bondong melihat pengumuman tersebut. Ada yang senang dan puas dengan hasilnya, ada juga yang menangis karena hasilnya tak sesuai dengan harapan mereka. Begitu banyak respon dari siswa, sesuai dengan banyaknya pendaftar.

Anaya yang sedang duduk dengan santai di dalam kelas setelah dari kantin lalu dihampiri oleh Raka. Wajah Raka terlihat tidak senang kala itu. “Lo ga jadi daftar?” tanya Raka.

Perkataan Raka membuat Anaya sontak berdiri. Dengan wajah yang terlihat gugup, Anaya menjawab, “kok kamu bilang gitu Rak? Banyak kan yang ga lulus.”

“Gue udah tanya sama pihak osis. Nama lo ga terdaftar di mereka,” ucap Raka dengan wajah datar. “Lo bohongin gue?” Dahi Raka mengerut.

“Bukan gitu. Aku tiba-tiba berubah pikiran,” jelas Anaya.

“Kenapa lo ga bilang ke gue?” balas Raka, dingin. Tatapan matanya menajam, walau intonasi suaranya tak terdengar membentak. Tetapi Raka memancarkan aura kekesalan yang kuat.

“Emang keputusan kamu bakal berubah juga kalau aku ga jadi ikut?” tanya Anaya. Emosinya sedikit tak stabil karena Raka terlihat kesal.

“Iya.” Raka membalas pertanyaan Anaya tanpa berpikir.

Lihat selengkapnya