Arga memasuki gerbang rumahnya dan memarkirkan sepeda motornya di halaman. Ia bergerak menuju beranda rumah.
Ia menarik napas dalam-dalam, merasa kelelahan setelah seharian penuh beraktivitas di sekolah. Ia melepas sepatu dan memasuki rumah, disambut oleh suara gemuruh TV dari ruang tengah.
Arga berjalan menerobos ruang tamu menuju ruang tengah. Melepas jaket kulit hitamnya dan melemparkannya ke sofa. Ia tersenyum saat melihat Ibunya sedang menonton acara favoritnya.
"Den, sudah pulang." Sambut Bik Ratih mengejutkan.
Arga mengangguk menatap wanita rimpuh itu lalu matanya kembali berpindah memandang lurus sang Ibu yang tengah asyik menonton dengan mata kosongnya. "Mama gimana hari ini, Bik?"
"Ibu hari ini seperti biasa, Den. Gak mau minum obat kalau tidak sama Den Arga."
Arga mengangguk. "Ya udah kalau gitu... Aku ke kamar dulu ya Bik, bersih-bersih dulu. Bibik siapkan dulu obatnya. Biar saya yang bujuk Mama buat minum obat nanti."
Bik Ratih mengangguk, memancing anak majikannya itu berlalu pergi ke kamarnya. Hingga lima belas menit berselang, Arga telah kembali ke ruang tengah dan membawa nampan berisi beberapa jenis obat yang telah di siapkan Bik Ratih.
Arga terduduk di samping Ibunya dan meletakkan nampan di atas meja. Ia memandang dari samping, pandangan Ibunya yang masih kosong. Sementara, ia tahu bahwa suara-suara yang terdengar dapat terserap oleh pikirannya yang mungkin jejal oleh satu hal. Ayahnya...
"Ma." Sapa Arga lembut.
Tanpa bicara, wanita berasal merah itu menoleh dan mulai menatap penuh wajahnya.
"Mama minum obat dulu, ya." Pinta Arga. "Kata Bik Ratih, Mama udah makan banyak hari ini. Sekarang... Giliran Mama sekarang minum obat, ya."
Nilam. Wanita setengah keriput itu hanya mengangguk. Memancing, Arga tersenyum lega dan mulai memberikan beberapa jenis obat yang berbeda-beda satu per satu di minumnya. "Papamu..." Katanya kemudian.
Arga tertelan. Menatap sang Ibu dengan iba penuh kekhawatiran. Terakhir periksa, dokter mengatakan bahwa Nilam tidak boleh di bebani oleh banyak persoalan terlebih jika hal ini menyangkut Ayahnya, sumber utama dari segala penyakit yang di alami Ibunya sampai sekarang ini.
Arga bingung harus menjelaskan apa, sementara ia harus menenangkan hati Ibunya dengan jawaban-jawaban yang mungkin berbalut kebohongan lagi hanya demi membuat perasaan Ibunya tetap stabil.
"Papa masih di kantor, Ma." Jawab seseorang muncul dari ambang pintu rumah.
Lelaki berusia dua puluh tujuh tahun itu sudah kembali pulang ke rumah, lalu datang mendekati mereka. Namanya Bagas Eka Rajendra alias Bagas, Kakak Arga. Ia terduduk di samping Ibunya kemudian.
"Mama gak percaya." Geleng Nilam mulai menatap Arga. "Mama gak percaya sama ucapan Kakak kamu."
Arga berpaling menatap Bagas. Detik berikutnya, lelaki itu mengangguk seolah memberi isyarat. Arga mengerti dan berpaling menatap ibunya lagi. "Ma. Apa yang di katakan Kak Bagas, benar. Papa masih harus membereskan pekerjaannya di kantor."
Nilam menatap kedua anaknya bergantian. Ada sesuatu yang membuat ia akhirnya percaya meski perasaannya merasa ada kejanggalan terhadap suaminya.
"Mama istirahat, ya." Bagas menuntun Nilam tuk kembali duduk di sofanya sambil memanggil Bik Ratih yang mendadak kembali muncul dari dapur, memintanya tuk menemani sang Ibu.
Bik Ratih mengangguk dan berjalan menuju Nilam, menemani majikannya kembali duduk di sofa. "Ibu, saya akan menemani Ibu istirahat, ya," kata Bik Ratih dengan suara yang lembut dan penuh kepedulian.
Nilam menatap Bik Ratih dengan mata yang masih kosong, tapi ada sesuatu yang berbeda di dalamnya. Ada sesuatu yang seperti... kepercayaan. Ia kemudian mengangguk dan membiarkan Bik Ratih menemani dirinya.
Bagas berdiri dan memandang Arga dengan mata yang serius.
Arga mengangguk seolah memahami tatapan itu, ia bergerak mengikuti Bagas ke arah ruang lain. Mereka berdua kemudian saling berhadapan setibanya mereka di ruang tamu.