Sudah lebih dari dua hari, Nara tidak masuk sekolah. Ia masih merasa takut untuk kembali ke sekolah yang ia anggap seperti sebuah neraka baginya.
Nara terus memikirkan kejadian yang terjadi antara Arga dan Langit, serta kondisi Arga gan masih belum ia ketahui. Nara juga khawatir tentang hutang ibunya yang belum dilunasi dan ancaman penarikan rumah mereka.
Nara merasa tidak memiliki semangat untuk melakukan apapun, termasuk masuk sekolah. Ia hanya ingin menunggu kabar tentang Arga dan mencari cara untuk membantu ibunya melunasi hutang sebanyak itu.
Saat ini, Nara sedang duduk di kamarnya, memandang ke luar jendela dengan mata yang kosong sembari menikmati semilir angin sore pertanda hujan akan segera turun.
Suasana di kamarnya terasa sunyi dan sepi, hanya terdengar suara angin yang berhembus lembut melalui jendela. Nara merasa seperti terjebak dalam sebuah gelembung waktu, di mana semuanya terasa berhenti dan tidak ada yang berubah.
Arga. Pikirannya kembali terngiang oleh bayangan lelaki itu. Ia masih ingat seperti apa sikap Arga untuk melindunginya dari serangan Langit dan kawan-kawannya. Hingga, kondisi Arga yang begitu mengkhawatirkan demi melindungi ia agar tetap baik-baik saja.
Detik berikutnya, Nara berpaling ia bergerak menuju meja lalu duduk di sana sambil mengambil sebuah buku kosong dan mulai menulis sesuatu dengan tangan yang gemetar.
Setiap luka adalah air mata...
Setiap kebahagiaan adalah tawa.
Arga. Siapa kamu?
Kenapa kamu muncul membawa sesuatu yang membuatku merasa aman dari setiap luka yang aku rasakan. Dan tawa... Yang hanya bisa aku rasakan sesaat.
Nara terus menulis, mengalirkan kata-kata yang keluar dari hatinya. Setiap kata adalah ungkapan perasaannya, setiap kalimat adalah cerita tentang luka dan kenangan yang mungkin tidak akan pernah sembuh. Sekalipun sembuh, hal itu pasti tidak akan pernah ia lupakan.
"Naraaaa!!" Suara Irma mengetuk pintu kamarnya. Memancing, ia beranjak dari kursi dan membuka pintu kamarnya lebar.
"Ganti bajumu dengan pakaian bagus. Malam ini kita akan pergi."
Nara menaikkan sebelah alisnya. "Pe-Pergi kemana, Bu?"
"Gak usah banyak tanya! Pokoknya kamu cepat ganti baju, Ibu tunggu kamu di luar."
Nara hanya mengangguk dan membuat wanita itu berlalu. Di saat yang sama, Nara menutup kamarnya kembali rapat dan berbalik menuju lemari.
Baju yang bagus. Kalimat terakhir Ibunya membuat Nara mengganti pakaian dengan balutan sebuah dress pastel dan rambut yang selalu ia biarkan tergerai panjang.
Sesaat sebelum ia beranjak, buku kosong yang telah ia tulis pada halaman pertamanya itu dimasukkannya ke dalam sebuah slingbag putihnya. Ya. Buku itu seolah-olah menjadi sebuah simbol dari perasaannya yang masih terluka, namun jauh lebih baik saat ia menumpahkannya lewat kata-kata yang ia tulis hingga menjadi sebuah paragraf yang sempurna.
Mulai saat ini, buku bersampul merah muda itu akan selalu Nara bawa ke mana pun dirinya pergi bersama pena hitamnya. Janjinya pada diri sendiri sesaat sebelum akhirnya ia memutuskan tuk pergi atas ajakan sang Ibu.
****
Setelah beberapa kali melontarkan pertanyaan yang sama, namun tak ada jawaban dari mulut Ibunya sama sekali, akhirnya Nara menyerah. Ia memilih diam dengan segudang penasaran yang entah kemana wanita itu mengajaknya pergi.
Malam semakin larut. Kendaraan di jalanan lumayan lenggang dengan cahaya lampu yang menyorot dari jendela mobil taksi yang mereka tumpangi.
Nara melirik ke arah Irma yang masih memandang ke depan dengan wajah yang tegang. Kemudian, Nara mencoba untuk tidak memikirkan terlalu banyak tentang apa yang akan terjadi, tapi ia tidak bisa menahan rasa penasaran yang semakin besar.
Sekitar setengah jam perjalanan, akhirnya Irma menghentikan taksi yang mereka tumpangi fi depan sebuah bangunan yang terlihat seperti hotel. Nara melihat ke arah Irma dengan mata yang bertanya.
"Ayo turun." Perintah Irma membuka pintu usai memberikan dua lembar yang kertas berwarna hijau kepada sang supir.
Nara mengangguk menurut. Ia melihat ke arah hotel yang mewah dan elegan. Sungguh, ia tak mengerti apa yang Irma akan lakukan setibanya datang ke hotel ini. Apakah mereka akan menginap? Tapi mengapa? Batin Nata bertanya-tanya.
Irma mulai melangkah masuk ke dalam hotel. Menerobos petugas keamanan dan bagian resepsionis sambil melihat ke sekeliling dengan rasa penasaran yang semakin besar.
Petugas keamanan dan resepsionis di hotel tadi pun sempat melihat mereka dengan tatapan yang sedikit heran, tapi Irma tidak memperdulikan mereka. Ia terus melangkah maju, hingga akhirnya mereka tiba di sebuah pintu kamar bernomor empat ratus lima.
Irma menarik napasnya dalam lalu mengetuk pintu kamar itu.
Tidak lama kemudian, pintu kamar itu terbuka, dan Nara melihat seorang pria setengah abad yang berdiri di ambang pintu. Pria itu memiliki wajah lelah, rapi matanya tajam penuh perhatian.