Keriuhan suasana perpisahan sekolahnya Ia lewatkan begitu saja. Tak ada coretan warna-warni spidol di seragam sekolahnya. Ia melangkah semakin menjauhi gerbang sekolahnya. Tidak ada kesedihan di wajahnya. Baginya, itu hal biasa, sangat wajar. Dirinya yang jauh dari keramaian, yang tidak dikenal oleh kerumunan, bahkan mungkin tidak disadari oleh seseorang yang tengah berdiri di sampingnya. Acara perpisahan tidak pernah menjadi acara untuknya. Tak ada siapa pun yang harus ia beri senyum perpisahan atau selamat kelulusan.
Gadis berkacamata dengan rambut sebahu itu menatap luruh jalan besar di depannya. Hari itu terlalu banyak kendaraan yang berkeliaran. Menyusahkan... batin gadis berkacamata itu. Hampir sebelum Ia melangkahkan kakinya untuk menyeberang, Ia melihat sosok tua renta di sampingnya. Tak jauh dari dia berdiri, menatap jalanan dengan ragu. Si nenek tua tak dapat menyeberang. Gadis berkacamata mengurungkan niatnya melangkah, tak ada orang lain selain dirinya dan si nenek yang akan menyeberang. Dengan langkah berat, Ia melangkah mendekati nenek tersebut. “Mari, saya juga mau menyebrang, Nek.” Dengan wajah sumringah, si nenek mengangguk. Gadis berkacamata berdiri lebih merapat kemudian dengan satu tangannya, dilambaikan untuk menahan laju mobil yang akan melewat. Ia mengangguk pada nenek di sampingnya, menyuruh si nenek mengikutinya. Ia tidak memberikan tangannya untuk menuntun si nenek. Seperti kebanyakan orang jika akan membantu seseorang menyeberang.
Sampai di sisi seberang jalan, gadis berkacamata hendak langsung berlalu sebelum tangan keriput si nenek menyentuh lengannya, “Terima kasih, Nak,” ucap nenek tersebut. Gadis tersebut tersentak kaget, dan langsung menarik tangannya menjauhi si nenek. “Maaf” gumam si gadis berkacamata sebelum berlalu meninggalkan nenek tua tersebut dengan kebingungan.
Bukan ucapan terima kasih si nenek yang membuatnya tersentak kaget. Sebuah gambaran melintas di kepalanya ketika tangan keriput si nenek menyentuh pelan lengannya. Gambaran seorang nenek yang mendadak jatuh tak sadarkan diri di tengah pertengkaran besar suatu keluarga. “Dia meninggal.” Sebuah suara muncul di kepala si gadis berkacamata itu. Sosok nenek di kepalanya itu, beliau yang baru saja ia tolong menyeberang. “Maaf, bukan bermaksud tak ramah padamu, Nek. Aku hanya tak suka disentuh. Aku pun tak suka menyentuh. Karena, yang kusentuh bukan kalian. Tapi kematian. Itu menakutkan.”
***
Ini aku, namaku Arihni. Aku tak punya nama panggilan, karena tak akan ada teman yang memanggilku. Aku pun tak ingin ada yang memanggilku.
Kini, yang kudengar hanya suara denting jam kamarku, dengan suara ketikan yang berasal dari jari–jariku. Sudah seminggu aku hanya mendengar kedua hal ini. Tak ada yang lain. Karena, memang sudah seminggu aku tidak meninggalkan tempat ini, kamarku. Kehidupanku. Sesekali mungkin aku akan beranjak dari tempatku mengetik, untuk sekedar mengambil piring yang ada di balik pintu kamarku. Kalaupun aku capek atau pegal, aku hanya akan berbaring sesekali. Ada draft yang harus kukejar. Ada buku – buku yang harus kubaca. Ada film – film yang harus kutonton. Karenanya, aku harus menyelesaikan draft ini. Setelah semua ini selesai, ada koper dan barang – barang yang harus kupersiapkan untuk tiket kereta yang telah lama kupesan. Saat itu, di mana hari aku akan pergi dari kota ini.
Suara ketukan menganggu konsentrasi mengetikku. Aku tak akan menggubrisnya. Aku melanjutkan mengetik saja.
“Arihn...” itu suara mamaku. Aku menghela napas panjang. Aku yakin mereka tahu bagaimana aku tak menyukai seseorang mengetuk kamarku. Menggangguku. Dengan langkah berat dan malas aku beranjak dari tempatku, aku tahu apa yang akan kudengar. Juga, seharusnya mereka tahu apa yang akan mereka dengar juga dari mulutku.
“Aku gak mau, Mah.” Itulah jawabanku, entah untuk yang ke berapa kalinya. Kedua orang tuaku menyuruhku melanjutkan sekolah, masuk Universitas. Disaat impianku hanyalah lulus SMA dan pergi ke kota kecil tanpa keramaian, menyewa kamar kos-an ku sendiri, dan menghabiskan waktuku dengan pekerjaanku di dalam kamar kos-an ku sendiri. Tak ada keramaian, tak perlu interaksi. Itulah yang kuinginkan. Hanya itu. Tapi, mereka tidak mau mengerti.
“Kamu butuh bergaul, Rihn. Berkenalan dengan orang lain. Banyak hal yang seharusnya gadis seusia kamu lakukan. Bersenang-senang, Rihn.” Aku tersenyum sinis mendengarnya. Kehidupanku bukan untuk bersenang – senang, sayangnya.
“Ini kesenanganku, Ayah. Menulis.” Jawabku. Kulihat Mamah melirik tumpukan barang–barangku yang akan kubawa pergi. Matanya berair, menahan tangis.
“Ayah gak ngelarang kamu untuk nulis, Sayang. Yang Ayah sama Mamah kamu mau, kamu berkenalan sama orang–orang di luar sana. Banyak hal lain yang bisa kamu lakukan, salah satunya menjadi mahasiswa. Kalau mau, kamu ambil jurusan sastra untuk bekal karir menulis kamu.” Aku menatap keduanya dengan lelah. Aku sudah menolaknya, berkali–kali. Karir menulisku sudah baik, walau baru pemula. Itu cukup, aku hanya butuh itu. Tak ada hal lain yang ingin kulakukan. Tidak, dengan kondisiku seperti ini.
“Jangan tinggalin Mamah, Sayang...” dengan suara serak dan bergetarnya, aku melihat tangannya yang ingin menggapaiku. “Jangan, Mah, jangan sentuh aku. Aku takut,” entahlah, apa karena kalimatku terlalu kasar, atau memang keadaan ini terlalu menyedihkan sehingga Mamahku tak dapat lagi membendung air matanya. Selalu begini. Percakapan kami selalu begini. Aku tak suka melihat mereka berdua bersedih. Karenanya, aku tak suka tetap berada di sini. Diantara mereka, yang selalu bersedih dan berlinang air mata karena anaknya. Yang bahkan, aku sendiri tak dapat menghapus air mata itu dengan tanganku. Aku tak bisa menyentuh mereka, aku takut.
“Ayah mohon, kamu jangan egois. Bantu Ayah, sama Mamahmu mempercayai kamu untuk dapat terus bertahan hidup. Dan bertahan hidup bukan sekedar mengurung diri dalam kamar selamanya.”
“Ayah gak ngerti gimana jadi aku. Bagaimana bisa aku harus bertemu mereka semua, orang–orang di luar sana dengan keadaanku yang begini. Ayah gak ngerti gimana takutnya aku...” bisikku dengan suara serak. “Kami tau nak, kami tau...” lanjut Ayah, aku tahu Ia sekuat mungkin menahan air mata yang telah menggenangi matanya itu. Menyedihkan, mereka berdua terlihat sangat tua dan lelah. Maafkan aku Ayah...
“Enggak. Kalian gak tau. Kalian gak akan pernah tahu. Bagaimana rasanya melihat itu. Melihat kematian itu!” Teriakku. Aku berlalu dari hadapan keduanya. Berlari menuju kamarku. Aku mengurung diri, lagi.
***
Akhirnya aku pergi. Dengan suara isak tangis Mamah dan tatapan sedih Ayah. Aku beranjak meninggalkan rumah yang telah 17 tahun ini kutinggali. Kesepakatannya, aku diizinkan pergi menuju kota kecil dan sederhana itu, tapi aku kuliah. Maaf, demi melihatku berubah dan berkenalan dengan dunia luar kalian harus merelakanku pergi. Walaupun sebenarnya tempat itu tidak menjamin apa pun, tapi aku bersikeras pergi. Karena aku lelah, untuk selalu menahan rasa sakit dan rindu ini jika terus menerus bertemu kedua orangtuaku yang sama sekali tak berani kusentuh. Yang tak bisa kupeluk jika aku butuh mereka. Yang tak bisa kecium kedua tangannya setiap aku akan pergi. Dan, karena aku pun akan tetap menolak menerima uluran tangan mereka, sentuhan mereka.