Gadis berkacamata itu berjalan memasuki ruangan kelasnya dengan wajah tak bersemangat. Ini sudah hampir sebulan, dan ia sama sekali belum menemukan hal yang menarik dari dunia perkuliahannya. Beberapa teman sepintas terkadang memang sedikit memberinya senyum, dan itu membuatnya bahagia, tapi menyedihkan karena ia harus berbahagia hanya karena sapaan basa–basi itu. Belum ada yang diajaknya bicara, kalaupun ada yang mengajaknya bicara, hanya sekedar menanyakan, “Ada tipe-x gak?” Lalu Ia berikan tipe-x tanpa berkata apa pun, dan sebelahnya akan mengembalikan dengan satu kata, “Thanks.” Selesai. Kalaupun bukan tipe-x, mungkin pulpen ataupun benda lainnya. Tak ada percakapan layaknya teman sekelas. Tak ada basa–basi layaknya teman biasa, apalagi aksi saling meledek dan menghina layaknya teman–teman lainnya yang telah dekat, yang sering ia lihat di sekitarnya. Hati kecilnya menginginkan hal itu. Sayangnya, ia tidak bisa.
“Nama lu siapa sih?” di satu pagi yang aneh, tiba–tiba seorang gadis menghampirinya yang sedang asik dengan komik di tangannya. Arihni mendongakkan kepalanya dengan raut wajah terganggu.
“Kenapa?” Tanyanya, balik dengan nada dingin. Si gadis dengan dua temannya di samping kanan dan kirinya, terlihat sedikit tersinggung dengan nada suara si kacamata yang tidak dikenalnya itu. Gadis berambut ikal sebahu dengan gaya khas anak muda itu melirik kedua temannya dengan ragu.
“Kita kurang orang nih, buat tugas kelompoknya Pak Ahmad. Elu belum ada kelompok kan?” Arihini tampak berpikir sejenak. Ia baru teringat dengan tugas kelompok itu, salah satu hal sulit yang harus ia lakukan. Ia tidak mengenal siapa pun, dan Ia tidak tahu harus mengerjakan tugas tersebut dengan siapa.
Melihat si gadis berkacamata itu tak kunjung menjawab, gadis di depannya langsung berkata, “Udahlah, ikut aja. Lagian elu gak ada yang ngajakin kan. Gue cuma butuh nama sama npm elu doang. Tugasnya biar kita aja yang bikin.” Terlihat jelas si cantik berambut ikal itu sebenarnya enggan mengajak gadis aneh berkacamata yang tak pernah mengobrol dengan siapa pun di kelas itu. Tanpa pikir panjang lagi, Arihni segera menuliskan sesuatu di kertas kosong yang ia robek dari bindernya.
“Nih.” Ia menyerahkan nama dan npmnya pada gadis di depannya, yang secara akademik nanti menjadi teman sekelompoknya di tugas mata kuliah bahasa indonesia. Teman kelompok yang bahkan ia tidak tahu namanya pula. Segera setelah ketiga gadis itu mendapatkan yang mereka minta, tanpa basa–basi lagi ketiganya berlalu meninggalkan Arihni dengan komiknya. Arihni masih mengamati ketiga gadis yang mungkin memang anak kelasnya itu berlalu. Kemudian ia menghela napas panjang. Bukan maksudnya bersikap sedingin itu, ia hanya terlalu gugup karena ada yang mengajaknya bicara. Menyedihkan... Batinnya. Arihni tak lagi berminat pada komik yang dipegangnya. Banyak hal yang terlintas di kepalanya, bukan tentang kematian itu. Tapi, tentang hidupnya. Ia masih mempertimbangkannya, mengenal dunia yang ia jalani. Mengenal orang–orang yang Ia temui. Tapi, ia belum memutuskannya, apakah ia mau atau tidak. Masih terbayang ucapan ibunya tadi malam, di telepon...
“Nak, ikhlasin, Nak. Mamah juga sedih sama keadaan kamu, mamah juga gak ngerti. Tapi, mamah lebih sedih kalau kamu hidup terus menerus kayak begini. Orang tua mana yang bisa rela, ngeliat anaknya terus sendiri. Tanpa teman, tanpa sahabat. Mamah selalu berdoa, di sana, di manapun itu, akan ada yang bisa nerima kamu, yang bisa kamu terima juga hadirnya, sebagai teman. Kamu juga harus punya keyakinan begitu, Nak, karena semuanya tergantung diri kita masing–masing. Mamah sayang kamu, Nak.” Arihni menarik napas dalam–dalam, karena ia sadar ia sedang duduk sendirian di bangku taman samping gedung kelasnya dan banyak orang di sekelilingnya. Tak mungkin ia mendadak menangis di sini. Ia harus menahannya.
Seseorang lainnya menghampiri dirinya. Dua orang yang tak ia kenal lagi. “Gak ada orangnya kan?” Tanya si cowok. Arihni hanya mengangguk kecil. Keduanya punya wajah yang unik, juga tampan dan cantik. Tapi, itu bukan yang ada dipikiran Arihini saat ini. ia harus pergi, ia canggung jika harus berbagi tempat, walaupun itu memang tempat umum sekalipun. Sebelum ia akan beranjak, si gadis dengan suara lirih berbicara padanya, “Kita sekelas kan?” Arihni menatap keduanya dengan kening berkerut. Dengan suara tak yakin ia menjawab, “Mungkin...” lalu berlalu begitu saja.
“Cuek banget.” Celetuk si cowok, wajahnya terlihat tidak terlalu menyukai gadis berkaca mata yang baru saja ia lihat. Namun, gadis di sampingnya masih terdiam, dengan mata yang masih mengikuti sosok berkacamata itu. “Bukan... Dia cuma kikuk aja,” ucapnya, setengah berbisik. Aldo, cowok berwajah unik dan tampan itu dengan kening berkerut ikut menatap Arihni yang semakin menjauh.
“Woy!” Teriakan yang tiba–tiba muncul di depan mereka membuat mereka berdua terkejut. Si pelaku hanya nyengir dengan lebar dan duduk dengan santai di bangku depannya yang baru saja ditinggalkan oleh si kacamata. “Anjrit lu!” maki Aldo, sambil melemparkan bungkusan makanannya pada orang di depannya itu, yang langsung menghindar dengan begitu mudahnya. “Heii, Princess!” Sapanya pada si cantik Bella.
***
Arihni menatap layar handphone-nya dengan wajah kesal. Untuk pertama kalinya ada pesan masuk di handphone-nya dari nomor selain nomor orang tuanya. Hanya saja, pesan pertama itu bukan pesan yang ia nantikan semenjak ia memutuskan mempunyai alat komunikasi tersebut. Isi pesan yang baru dibacanya hanyalah barisan kalimat dengan nada perintah. “Elo ke kosan gue sekarang, kalo bisa. Ini makalahnya udah gue print. Besok gue sama anak–anak gak masuk. Elu aja yang kumpulin ke si Bapak. Ini alamat kos-an gue.” Arihni menghela napas panjang, haruskah ia beranjak keluar kamar kos-annya di malam yang dingin begini. Letak kos-an Anggun cukup jauh, tak mungkin Ia kesana besok pagi disaat kuliahnya jam 8 pagi juga.
“Kenapa dingin banget sih? AC-nya bocor apa?” gerutu Arihini sepanjang jalan, dalam balutan jaket hitam besarnya. Malam sudah menunjukkan jam 10 lebih, dan keramaian di jalanan luar kos-annya yang notabene dekat dengan kampus masih ramai oleh entah siapa. Dari mahasiswa hingga pedagang atau gerombolan abang–abang ojek. Arihni menaiki salah satu angkot menuju alamat yang tertera di sms.
“Permisi neng” Arihni nampak tersentak. Bayangan seorang kakek - kakek tua terjatuh di ladang tengah malam membuatnya terkejut. Ia menatap bapak - bapak yang kini duduk didepannya. Yang tadi tak sengaja menyentuh tangannya saat hendak menaiki angkot. Bapak–bapak paruh baya itu balas menatapnya dengan senyum ramah. Arihni terlalu terkejut dan banyak hal di kepalanya yang tidak membuatnya membalas senyuman si bapak. Cepat–cepat ia memalingkan wajahnya ke arah lain. Beberapa kali ia menarik napas panjang. Menahan sesuatu yang ingin meledak dalam dadanya.
“Tolong jangan tersenyum. Kalian tidak tahu apa yang kulihat. Kematian kalian. Bagaimana bisa aku membalas senyum polos itu. Hei Kamu. Yang entah di mana, dan entah siapa. Yang memberiku takdir sekejam ini. Apa yang harus kulakukan dengan kematiannya. Haruskah aku hanya diam?” Batin Arihni, ia menggugat Tuhannya. ia menggugat takdirnya. Selalu.
Segera, setelah ia melihat jalan gang yang ia tuju, ia segera turun tanpa kembali menatap si bapak–bapak berwajah polos itu. Kembali ia melihat layar handphone-nya, mengecek alamat kos-an yang harus ia tuju. Di depannya hanya ada satu gang yang cukup besar dan sebuah alfamart. Ia berniat berbelok ke arah alfamart tersebut, tenggorokkanya kering. Tepat ketika ia akan membuka pintu kaca alfa seseorang dari dalam menariknya, ada yang hendak keluar. Keduanya sekilas bertatapan, Arihni langsung berlalu untuk masuk.
“Kenapa, Do?” orang yang kebetulan keluar tadi, Aldo. Ia bersama kembarannya yang menunggu di luar. Dengan wajah linglung cowok tinggi itu menghampiri kembarannya.
“Kayaknya pernah liat...” gumam Aldo, mengingat gadis yang tadi berada tepat didepannya, di balik pintu kaca tersebut.
“Cantik?” Tanya Bella, dengan wajah meledek. Ia sudah sangat hapal tabiat kembarannya, jika sudah berwajah linglung seperti itu. Pasti karena cewek. Aldo tampak berpikir agak lama, “Lucu,” ucapnya, dengan wajah ragu. Bella hanya tersenyum meledek, menatap aneh pada kembarannya. Biasanya, kembarannya dapat dengan mudah mendeskripsikan satu sosok wanita yang membuatnya terpesona.
“Terserah deh. Pokoknya, sekarang kamu cepetan ke kosan siapa itu, aku lupa namanya. Ambil buku yang buat tugas besok. Malem ini kita ngerjain tugasnya. Kamu sih, ditunda–tunda mulu, jadi kita harus begadang sekarang.” yang direspon dengan ekspresi lucu Aldo yang memonyong–monyongkan bibirnya. Meniru kembarannya yang mulai keluar cerewetnya itu.
“Berisik lu, Bel.” Ucap Aldo, setengah bercanda. Yang baru saja akan dibalas oleh kembarannya, sebelum seseorang tiba – tiba merangkul Bella dari samping. Membuat gadis cantik itu mendadak terdiam kaku. Aldo hanya bisa tergagap dengan mulut setengah terbuka. Kejadiannya terlalu cepat, sebelum ia mampu menarik Bella untuk menyingkir.
“Beeelllaaa!” dia salah satu teman kampus mereka, gadis berwajah setengah indo. Populer dikalangan cowok – cowok kampus. Yang sejak hari pertama sudah jatuh hati pada si kembar Aldo.
“Apaan sih lu. Minggir, minggir,” Aldo menarik paksa gadis yang kini menggelayut manja di bahu kembarannya yang kini berwajah pucat. Yang ditarik malah tersenyum–senyum genit karena ini pertama kalinya ia dipegang oleh Aldo. “Jaim banget lah nih cowok. Tapi pasti gue bisa dapetin!” Aldo menatap sinis gadis berwajah putih pucat itu. “Kepedean lu!” Maki nya. Lalu ia segera menarik tangan Bella dan berlalu dari tempat itu. Sama sekali tak peduli dengan panggilan si gadis genit tersebut yang kini kebingungan dengan sikap dua kembaran itu.
Ucapan Aldo yang membuatnya aneh. Ia yakin ia tidak mengatakan apa pun, lalu maksud ucapan Aldo yang mengatainya kepedean itu apa? Kepalanya berpikir keras. Belum lagi, kembarannya yang terlalu angkuh di matanya. Jika saja ia tidak mengincar Aldo, mana sudi ia akan beramah tamah pada cewek pendiam yang sombong itu.
***
Arihni memasuki gerbang bertuliskan ‘pondok melati’ di atasnya. Ia memperhatikan sekelilingnya, pondokan itu lebih seperti sebuah asrama disbanding sebuah kos-an. Dengan taman yang luas di tengah – tengahnya. Mata Arihni segera menjelajahi setiap nomor pintunya. “Kamar no 10,” gumam Arihni. Ia menemukannya, sekaligus menemukan sesosok gadis dengan piyama dan rokok di tangan kanannya, sedang melamun di tembok depan kamar bernomor 10 itu. Dia, Anggun. Arihni menghampirinya dengan wajah penasaran. Gadis yang dilihatnya sangat berbeda dari gadis kemarin sore yang di kampus selalu ditemani dua dayang–dayangnya dengan dandanan make up tebal.
Merasa ada yang memperhatikan, Anggun menoleh. Dan, ia sedikit tersentak karena seorang gadis berjaket hitan tebal sudah berdiri disampingnya dengan ekpresi datar. “Anjir lu, kaget gue!” Sentaknya tanpa sadar. Arihni hanya tersenyum basa–basi. Anggun sedikit menyipitkan matanya, mencoba mengenali siapa gadis di depannya.
“Mana tugasnya?” Tanya Arihni. Kini kening mulus Anggun yang berkerut, ia memperhatikan Arihni dengan sangat teliti. “Elu, si kacamata?” Arihni mengangguk dengan wajah sama–sama bingung seperti Anggun. Arihni berpikir sejenak, ia hanya tak memakai kacamata yang biasanya ia pakai jika berangkat kuliah. Apa yang membuatnya terlihat berbeda? Tapi, ia tak begitu memperdulikannya. Ia kini berdiri tak sabar, sudah hampir tengah malam dan teman kelompoknya ini malah berbasa–basi tak jelas.
“Tugasnya lah, cepetan. Dingin nih.”
“Oh, iya, iya, bentar.” Anggun segera masuk ke dalam kamarnya. Yang secara kebetulan dari dalam ada yang membukanya juga. Seorang cowok berwajah chinese. Arihni berpura–pura tak melihat. Bukan hal aneh lagi. Di sekitar kamar kos-an nya pun banyak yang seperti itu, berpacaran di kos-an.
Sayangnya, Arihni harus menunggu kembali. Anggun yang masuk untuk mengambil tugasnya, malah terdengar seperti sedang bertengkar. Arihni menghela napas panjang. Ia duduk di tembok rendah yang tadi di duduki Anggun. Batang rokok yang tadi dihisap Anggun masih tersimpan di atas tembok itu. Sudah hampir setengahnya.
“Sorry lama. Nih,” suara kertas mengagetkannya. Segera ia menerima tugas makalah yang telah dijilid itu.
“Thanks ya,” ucap Anggun dengan suara lembut, kini Arihni melihatnya dengan jelas. Wajah yang tak bermake up tebal seperti biasa itu, memiliki lebam biru di pipi kirinya. Dan, matanya yang terlihat habis menangis. Arihni mengalihkan pandangannya. Ia tak ada urusan dengan urusan teman sekelompoknya, yang tak ia kenal itu. “Sip” ia mengucapnya sambil berlalu.
“Hati–hati,” ucap Anggun kembali, kini dengan menepuk lengan Arihni pelan. Arihni tersentak kaget. Ia menoleh kembali ke belakang. Anggun telah kembali menuju kamarnya. Mulutnya sedikit terbuka, ia ingin berkata sesuatu. Tapi, kemudian ia sadar ia tidak tahu apa yang seharusnya ia katakan. Atap gedung itu, dan Anggun dengan blus biru laut yang cantik. Tapi, adegan melompat itu yang tidak cantik. Iya, Arihni melihatnya. Teman sekelompoknya yang ia pikir tak ia kenal, akan meninggal dengan melompati atap gedung itu.
Seseorang yang baru saja, mengatakan ‘hati–hati’ kata yang baru ia dengar dari seorang teman. Jika memang teman kelompok sudah dapat dikatagorikan menjadi teman. Dan, ia melihat kematiannya. Arihni melangkahkan kakinya keluar dari gerbang ‘pondok melati’ itu dengan berat.
Ada hal aneh yang terlintas dipikirannya. Sebuah pertanyaan, “Bagaimana aku menolongnya?” pertanyaan yang tak pernah lagi ia tanyakan setelah kejadian dulu. Dulu sekali, ketika ia masih berusia 15 tahun.