Ini sore yang berbeda dengan sore kemarin. Tak akan ada gadis rapuh bertopeng make up dan keangkuhan yang akan melompat dari atap gedung ini. Tak akan ada apa pun yang akan terjadi di sore ini.
Tapi, Arihni, gadis berkacamata dengan tatapan kosong itu berjalan perlahan menuju ujung atap tersebut. Pikirannya masih melayang-layang di kejadian sore kemarin. Pada sebuah tangan besar, yang menggenggamnya tanpa membuatnya tersentak. Tak ada bayangan kematian yang akan membuat wajahnya memucat.
Ia mengelus–elus tangannya sendiri. Ia ingin menyentuhnya lagi. Mungkin, itu akan membuatnya tenang. Tapi, siapa dia? Batin Arihni.
Mendadak handphone-nya berdering, ia mengangkat tanpa melihat nama yang muncul di layar handphone-nya. Jika bukan mamahnya, mungkin ayahnya. Hanya akan ada nama mereka berdua saja yang membuat handphone-nya berdering.
“Halo.” Sapanya dengan suara murung.
“Rihn, di mana? Gak masuk kelas? Udah dateng tau dosennya,” dia tidak mengenali suara di seberang saluran teleponnya itu. Ia menjauhkan handphone-nya dari telinga untuk melihat nomor siapa yang menghubunginya. Nomor tak dikenal. Kembali ia mendekatkannya lagi pada telinganya.
“Siapa?”
“Ini Bellaaaa, cepetan ke kelas. Ini dosennya udah masuk.” Ia teringat, mungkin sekarang ia memiliki teman. Gadis berambut ikal yang aneh itu. Tanpa sadar, Arihni menyunggingkan senyum kecil di seberang sana.
“Aku gak masuk kok. Udah ya.” Dimatikannya handphone itu. Ia masih butuh keheningannya untuk pikirannya yang kacau.
***
Aldo menatap aneh pada kembarannya yang sejak tadi bersungut–sungut entah kesal karena apa. Yang ia tahu, Bella baru saja menelepon seseorang.
“Kenapa lu, Bel?” Bella hanya menatap dengan wajah cemberutnya, tidak berminat untuk menjawab.
“Hei.” Seseorang menghampiri mereka. gadis berjilbab yang cantik. Namanya, Nina.
“Ikut gabung, boleh?” Tanyanya ramah, Aldo hanya mengangguk kecil. Bella tidak terlalu menghiraukannya. Ia masih berwajah kusut.
Ketiganya membuat lingkaran, ada tugas kelompok yang harus dikerjakan. Dosen hanya masuk dan memberikan tugas yang sore itu juga harus dikumpulkan. Mengerjakannya boleh di mana saja, asalkan tidak ada yang telat mengumpulkannya. Pembagian kelompoknya diserahkan pada masing–masing mahasiswa. Satu kelompok lima orang.
Bella berniat untuk memasukkan nama Arihni di kelompoknya, sebelum Nina datang. Lalu, datang dua orang cowok menghampiri lingkaran mereka juga. Berniat bergabung. Sudah tak ada tempat untuk Arihni, jika kedua cowok tersebut juga masuk. Wajah Bella tambah menekuk karena kesal.
“Dia gak masuk kali Bel. Biarin aja napa.” Bisik Aldo, yang akhirnya mengerti kenapa kembarannya sejak tadi manyun saja.
Satu jam selanjutnya, suasana kelompok tersebut sudah ramai tak kondusif. Bukan lagi berdiskusi tentang tugas di depan mata mereka.
“Wah, njing. Ntar malem yang seru tuh. Dibantai dah pasti The Gunners.”
“Elu yang gue bantai kampret. Lagi bagus–bagusnya tuh klub, njing!”
“Nama lu berdua anjing?” Celetuk Aldo, iseng yang langsung disambut oleh kedua cowok tersebut dengan lelucon-lelucon ‘njing’ lainnya. Aldo sengaja, ia tidak terlalu menyukai pembahasan bola yang tak lagi disukainya itu.
“Daripada gue panggil lu ‘nyet’, njing” ketiga cowok tersebut tertawa ngakak, dengan suara mereka yang besar.
Bella memperhatikan bagaimana sesekali Aldo mencuri dengar pikiran orang–orang di samping kanan kirinya. Dengan berpura–pura bertingkah akrab sok merangkul atau sekedar menepuk keras bahu mereka sambil tertawa terbahak–bahak menanggapi lelucon cowok–cowok yang menurut Bella tidak ada lucunya sama sekali.
“Jiiiir, gue harus banget nonton ntar malem lah. Jangan sampe ketiduran lagi.”
“Gue sih gak peduli, siapa yang menang. Yang pasti taruhan gue yang harus menang. Haha”
Aldo melirik kembarannya yang hanya asik sendiri dengan tugas di tangannya. Ia sama sekali tidak berminat bergabung pada lingkaran percakapan itu, walaupun terkadang satu dua pertanyaan memancing dirinya untuk ikut bersuara yang hanya di jawab dengan singkat dan tanpa minat.
“Beel, kita ngobrol sendiri aja yuuk. Gue gak ngerti nih sama obrolan mereka,” Nina, bertukar posisi tempat duduk dengan cowok di sampingnya agar bersebelahan dengan Bella.
Bella hanya tersenyum tipis, dengan wajah risih yang tidak ia tutup – tutupi. Tapi, Nina tidak memperdulikannya. Ia tipikal gadis yang tidak suka mati gaya, ia yakin sikap supel dan asiknya akan membuat Bella sedikit terbuka pada dirinya. Walaupun teman-teman perempuan sekelas yang lain, sudah banyak yang menyerah untuk mendekati Bella.
Bella tidak menyukainya. Gadis dengan tingkat percaya diri yang terlalu tinggi, yang menganggap semua orang dapat menerimanya. Menjadi temannya. Dan, ia sendiri yang memilih ia ingin mendekati dan berteman dengan siapa. Ia yang mengontrol keadaan. Itu yang terpikirkan oleh Bella ketika melihat Nina.
Walaupun Bella tahu, kecurigaannya tadi hanya asumsi belaka saja. Ia tidak mahir seperti kembarannya yang dapat dengan mudah ‘membaca’ seseorang.
“Kos-an lu di mana sih, Bel?” Tanya Nina dengan wajah yang sangat semangat. Bella menghentikan kegiatannya, mengisi lembar tugas yang seharusnya kelompok itu kerjakan.
“Aku gak nge-kos,” jawabnya singkat.
“Ohh, elu emang orang sini ya? Rumah lu daerah mana?”
“Aku bukan orang sini kok. Entah, aku gak tau jalan,” masih dengan wajahnya yang tersenyum ramah, Nina hanya mengangguk–angguk mendengar jawaban Bella yang singkat untuk kesekian kalinya. Menunggu ada pertanyaan balasan dari gadis didepannya itu untuknya.
“Oh, emang lu orang mana? Kalau gue sih asli sini,” Bella sedikit mengangkat alisnya sebelah, ia sama sekali tidak bertanya gadis didepannya ini siapa atau orang asli mana. Ia tidak peduli.
“Oh,” yang kini hanya dijawab dengan satu kata saja oleh Bella.
Nina masih mencoba memaasang wajah ramahnya, walau kini senyumnya sudah terlihat aneh. Hingga sesuatu mengalihkan pandangan gadis berjilbab itu, cincin yang melingkar di jari tengah Bella. Dengan refleks ia menarik tangan Bella, untuk mengamati cincinnya dari dekat.
“Lucu Bel-“ Aldo yang sejak tadi tetap mengawasi kembarannya dengan sesekali melirik kearah dua gadis itu tersentak kaget melihat wajah pucat Bella.
Nina, dengan wajah cerianya yang tak tahu apa–apa itu masih asik memperhatikan cincin yang dikenakan Bella tanpa melepaskan tangan mungil Bella sambil entah membicarakan apa. Ia tidak mendongak, dan melihat bagaimana wajah bening Bella telah menjadi seputih kapas. Sangat pucat.
“Kok tangan lu dingin banget, Beel?” Tanyanya. Nina mengangkat wajahnya. Dan mendapati wajah gadis cantik didepannya telah menjadi sepucat mayat.
“Elu kenapa Bel?” Ia baru menyadari gadis yang tangannya ia pegangi sejak tadi, telah membatu. Aldo sudah berdiri disamping Bella. Wajahnya menatap Nina dengan pandangan tak suka.
“Yuk, Bel.” Ditariknya tangan Bella dari Nina. Nina yang tak mengerti apa–apa hanya menatap dengan bingung dua anak kembar yang kini telah berjalan keluar kelas itu.
***
Aldo berdiri bersandar pada tembok, bersebrangan dengan kembarannya yang terduduk dengan muka ditekuk.
“Elu gak apa-apa, Bel?”
Tak ada jawaban. Aldo menatap kembarannya dengan tatapan prihatin.
Tak lama, Bella beranjak dari tempatnya. Wajahnya masih sepucat mayat. Aldo tak yakin kembarannya masih dapat berjalan atau tidak, segera ia merangkul lengan Bella. Tangannya dingin dan lemas.
Bella masih tetap diam, hingga Aldo membawanya keluar gedung kuliah. Bayangan kelam itu menghantui kepalanya.
Bukan gadis berjilbab yang cantik dan ceria yang ia lihat. Seseorang yang lain, seorang gadis remaja dengan pipi yang tembem. Yang membeku di pinggir jalan, karena melihat adik kecilnya yang masih berusia balita itu terlindas mobil. Gadis berpipi tembem itu, hanya membeku di tempat. Dengan suara seperti tercekat, dan sangat kecil ia berkata, “A..dik” dan, gelap.
Bella tersentak kaget ketika melihat sebuah mobil melintas di depan mereka. Bayangan balita yang terlindas itu, bukan lagi hanya kenangan kelam yang Nina miliki. Kini, bayangan itu tersimpan di kepala Bella. Yang kini membuat wajahnya menjadi sepucat mayat. Ia tidak sanggup melihat kembali bayangan itu di kepalanya. Sayangnya, ia tak juga sanggup mengatur kepalanya. Apa saja yang dapat ia ingat atau tidak. Dan, ia memilih kegelapan itu.
Aldo panik, mendapati kembarannya tak lagi sadarkan diri. “Woi, Bel?!”
***
Arihni mendapati kursi favoritnya ditempati mahasiswa lain. Akhirnya, ia memilih kursi kosong yang lainnya dengan acak dan wajah tak suka. Tak berada di samping jendela besar itu, ia tak tahu harus menatap ke mana. Yang ada di depannya hanya kepala–kepala anak kelasnya, dan dosen yang entah sedang membicarakan apa. Sekilas ia mendengar mengenai teori menulis. Ia mencibir dalam hati, seingatnya ia menjadi penulis tak pernah ia belajar apa itu teori menulis.
Akhirnya, ia memilih untuk mengamati sekelilingnya. Tak ada Anggun. Sejak kejadian sore itu, ia belum bertemu gadis itu lagi. Sudah hampir seminggu ia tidak masuk kelas.
Dan, satu hal yang masuk pengamatannya. Bella. Ia baru menyadarinya, sudah hampir seminggu juga, semenjak gadis itu menghubunginya untuk memasuki kelas sore itu, ia tidak lagi bertemu Bella. Bolos kah? Atau sakit? Bahkan cowok yang biasanya bersama Bella pun tak ia lihat.
Sisanya, ia sama sekali tak memiliki pemikiran apapun, pada mereka, teman sekelasnya yang lain. Yang tak ia kenal. Juga, tak pernah berniat berkenalan dengannya. Bagi Arihni, mereka hanya manusia-manusia yang tak sengaja berada dalam satu ruangan dengannya selama beberapa waktu. Itu saja, tak lebih, tak kurang.
Sehabis kuliah jam kedua itu selesai, Arihni menatap handphone di tangannya. Ada sebaris nomor yang tak ia namai. Ia menimbang–nimbang untuk memencet tombol ‘call’ atau tidak. Haruskah? Tanyanya dalam hati.
“Halo?” Tanyanya dengan suara ragu.
“Arihniiiiiiiii!” Yang langsung disambut dengan suara yang sangat semangat di seberang saluran telepon itu. Arihni hampir saja menjauhkan handphone-nya karena yang terdengar di telinganya terlalu cempreng dan nyaring.
“Kenapa, kenapa? Tumben ih, kamu nelpon,” cerocos Bella dengan suara yang sangat semangat. Arihni sama sekali tidak mengerti gadis yang satu ini. Arihni masih diam di ujung sana, bingung harus bicara apa. Ini pengalaman pertamanya menanyakan kabar seseorang.
“Heem... besok ada kuis. Kamu masuk gak?” Hanya itu yang terlintas di pikirannya. Ia tidak tahu, basa-basi seperti apa yang harus ia ucapkan, walaupun sebenarnya yang ingin ia tanyakan adalah perihal ketidakhadiran gadis itu selama seminggu ini. Ia takut, ia terlalu mengambil langkah inisiatif dalam hubungan yang mungkin bernama pertemanan ini. Ia masih belum tahu motif apa yang dipunyai si gadis berambut ikal yang selalu menyapanya dengan antusias itu.
“Aku besok masuk kok. Kemarin emang lagi gak enak badan aja nih. Tapi udah sembuh. Oh iya, besok berangkat bareng yuk. Kos-an kamu dimana, nanti kita jemput. Gimana?”
Arihni berpikir lama, apakah ia harus menanyakan gadis ini sakit apa atau tidak? Lalu, apa maksudnya berangkat bareng, ia merasa tidak perlu untuk hal itu. Dan, yang dimaksudkan ‘kita’ yang nanti akan menjemputnya? Kita itu siapa? Apakah cowok yang selalu bersama Bella?
“Rihn?” Tanya Bella karena tak ada suara apapun di seberang sana. Arihni tersadar dari lamunan, perkiraannya yang terlalu panjang.
“Oh iya. Yaudah kalau besok masuk. Udah dulu ya.”
Klik. Sambungan terputus. Bella hanya menatap layar handphone-nya dengan mulut setengah menganga. Dari tadi ia menunggu Arihni mengiyakan ajakan berangkat barengnya, tapi yang ia dengar hanya itu.