Kami bangun kesiangan dan menemukan diri tidur berpelukan di depan ruang tv. Hanya beralaskan kasur tipis dan tidur dalam satu bantal yang sama. Aku merasa kikuk sebenarnya. Kami sibuk mengobrol tentang banyak hal, terutama perkenalan. Menyangkut usia, dulu sekolah di mana, sekarang kerja apa dan hal-hal lainnya. Tak terasa kami mengantuk menjelang pagi dan tertidur bersama. Arina memelukku dan aku membalasnya.
Ketika aku bangun, jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih tiga puluh lima. Sial!
Aku tak tega membangunkan Arina. Segera aku menyeret badanku ke kamar mandi. Ritual bangun tidur kuselesaikan di toilet sambil merenung banyak hal. Mengingat ciuman manis kami sebelum tidur tadi. Gelak tawa Arina masih terasa di telinga. Dan hangat pelukan kami tak jua hilang.
Aku mandi dengan sabun cair dalam kamar mandi. Membilas rambutku dengan shampoo. Arina punya selera aroma yang bagus. Aroma mawar dari sabun yang sempat kuhirup dari tubuhnya, shampoo aroma lavender. Menenangkan sekali.
Ketika akan gosok gigi, aku baru sadar ini bukan kamar mandiku. Ternyata tas mandiku tertinggal di tas punggung. Duh ... bahkan aku tidak bawa handuk.
Kudengar suara air direjang. Arina tampaknya memasak air. Aku mau keluar tapi tidak mungkin. Mau memanggil Arina tapi tidak enak rasanya. Tapi mau gimana lagi. Baru saja mau kupanggil, Arina malah memulai bicara setengah berteriak dari luar.
"Remi ... ada handuk?"
Duh ... kok dia tahu aku butuh handuk, ya. Kujawab juga dengan suara agak keras.
"Nggak, Arina. Aku bingung mau keringkan badan ...."
"Hahaha ... kamu itu lo. Minta bantuan donk!"
"Hehehe ... aku merepotkan terus."