Canggu Beach.
Di salah satu deretan kursi malas tepi pantai Canggu, Angelina tiduran sambil merasakan otot-otot tubuhnya kembali rileks tertimpa cahaya matahari pagi musim kemarau. Dengan mata tetap terpejam, Angelina mencoba menghitung sudah berapa kali dia menghabiskan akhir pekannya di pantai selama delapan tahun hidupnya di Bali. Rasa-rasanya sudah puluhan kali, bahkan aku tak perlu repot-repot membuka mata untuk mengenali suasana ini; embusan angin beraroma laut, deburan ombak, derap langkah kocar kacir kaki telanjang menapak pasir, suara tawa, serta kebisingan kehidupan para wisatawan dengan berbagai macam bahasa asing yang menyenangkan. Semuanya begitu dekat dan familiar, pikirnya.
Angelina menggeliat. Dari balik kaca mata hitamnya, ia menatap putrinya yang berusia enam tahun sedang bermain-main mengejar ombak bersama keponakan dan pengasuhnya. Kemudian dia menoleh ke samping kirinya, suaminya tengah rebahan, sesekali memandangi handphone-nya- suaminya yang kini lebih sukses, lebih sibuk, dan perutnya yang lebih berlemak. Akhir pekan yang sempurna, kehidupan yang diam-diam selalu didambakan oleh teman-temannya, dan bahkan oleh dirinya selama ini. Namun sekarang Angelina selalu merasa ada yang kurang. Ibarat sebuah game, dia menantikan level yang lebih. Lamunannya buyar begitu Sabrina entah sejak kapan sudah berada di depannya tengah memanggilnya, sambil menjilati lollipop.
"Mam, Mamiii!"
"Oh, ya, sayang, ada apa? Tak perlu teriak begitu!" Angelina merubah posisinya menjadi duduk, lalu membenarkan letak kacamatanya.
"Hei sudah selesai mainnya honey?" Eric menimbrung yang disusul gelengan oleh putrinya.
"Genevieve bilang aku harus melakukan apa pun yang aku mau ketika ulang tahun. Aku dan Genevieve ingin menaiki jetski, hanya sekali ini saja boleh, kan, Dad?"
"Tentu saja boleh jika bersama orang dewasa, bukan begitu Mam?"
"Eric!" Angelina mendesis, lalu dia menatap putrinya yang seketika berhenti menjilati permen, sementara wajahnya berubah sendu. "Mami kan sudah bilang berkali-kali, kau tak boleh menaiki itu sampai umurmu 15 tahun, sayang. Lagi pula ulang tahunmu sudah lewat."
Wajah Sabrina ditekuk, pipinya yang bulat memerah, hidungnya kembang kempis, sementara alisnya semakin tajam. Jika sedang jengkel seperti ini sekilas wajahnya memang lebih mirip Angelina. "Tapi kan ulang tahunku baru kemarin," ucapnya kesal yang kemudian disusul tawa oleh Eric.
Eric tahu betul putri semata wayangnya yang berusia enam tahun sudah mengerti konsep waktu, tentu saja. Anak seusianya memang selalu memutuskan segala sesuatunya tanpa pikir panjang. Sesukanya, yang penting keinginannya tercapai. Terlebih jika sedang tantrum, kelakuannya tidak masuk akal. Meski begitu Eric harus menegaskan apa yang benar dan tidak benar bagi putrinya.
"Kemarin berarti satu hari yang lalu honey, tidak berlaku untuk hari ini, hanya kemarin." Eric kembali tertawa. "Bagaimana kalau hari ini bermain banana boat saja?"
"Tidak, dia tidak akan main itu. Minggu kemarin, kan, sudah— ya ampun Sabrina, kau jorok sekali!" ucapnya begitu putrinya mengambil permen yang baru saja jatuh, dan mencoba membersihkan pasir yang menempel di sana. Angelina menghampiri putrinya untuk meraih permennya. "Kemarikan permennya sayang!"
Sabrina menyembunyikan permennya di belakang tubuhnya. "Tidak."
"Itu kotor Sabrina, kemarikan!"
Sabrina menggeleng sambil semakin menyembunyikan permennya. "Kan baru lima menit!"
"Ayolah Angelin—"
"Kau diam saja Ric. Aku tahu apa yang aku lakukan— kemarikan permennya!" Angelina meraih permen dari genggaman erat putrinya, dan tanpa sadar kukunya melukai tangan Sabrina. Dengan kesal Angelina melempar permennya ke tempat sampah, namun tidak masuk.
Sementara itu Sabrina mematung menatap luka lecet di jari telunjuknya dengan terkejut, kemudian tangisnya pecah.
"Hei, kenapa menangis, it's ok honey." Eric meraih Sabrina ke gendongannya, lalu membawanya duduk di pangkuannya di kursi malas.
Angelina mendesah sambil memandang putrinya yang kini menenggelamkan wajahnya di pundak Eric. "Sudah berapa kali Mami bilang jangan dipungut makanan apa pun yang sudah jatuh!"
Sabrina semakin tergugu. "Mami melukaiku," jawabnya tanpa ada yang tahu Sabrina sedang membicarakan jarinya yang lecet.
"Mami bukannya melukaimu Sabrina, Mami mencoba melindungimu dari bakteri penyebab sakit perut."
"Oh ayolah Angelina, dia hanya anak-anak. Kau membuatnya takut, tak seharusnya kau merebutnya seperti itu. Kau kan bisa memintanya baik-baik."
"Sudah kulakukan, dan kau tahu sendiri dia tak mendengarkanku," Angelina melepas kacamatanya kemudian menatap suaminya terlewat serius. "Aku hanya berusaha melakukan yang terbaik, apa itu salah?" kali ini suaranya terdengar dingin dan berjarak.
"Tapi bukan begini caranya!"