Arishta

Tamara Lutfiana Putri
Chapter #2

This is Me!

"Ari...!"

Seorang gadis terlihat tengah keluar dari ruang kelas. Ia berlari dengan semangat serta senyum di wajahnya.

Hai! Namaku Ari, lengkapnya Arishta Davine Galena. Sahabatku pernah bilang kalau aku itu orangnya aneh. Tapi, kalau menurutku sih, aku itu cantik.

"Ari, jangan lari lo! Woy!"

Orang yang sedang berlari sambil berteriak di belakangku bernama Adriana Maorilla Azni. Panggil saja Mao. Cewek gendut yang memiliki hobi makan. Bisa dibuktikan dengan Mao yang saat ini tengah berlari mengejarku karena keripik kentang kesukaannya baru saja aku rampas. Gila! Itu anak cepat banget larinya.

"Woy! Berhenti lo, kampret!"

Nah, orang di belakang Mao itu Adara Fadiella Haidar. Panggil saja Ara. Cewek yang mudah banget baper. Sepertinya dia telah sadar mengenai aksiku kemarin. Yaps, karena merasa gabut dengan sengaja aku membajak ponsel Ara dan mengirimkan pesan kepada mantan gebetannya. Hehe.., maafkan sahabatmu yang cantik dan juga imut inii ^3^.

"Gaess, tunggu gue dong!"

Nah, orang yang berada di posisi paling belakang itu Zanna Kirania Wajdi. Panggil saja Anna. Dia adalah orang yang memiliki otak paling encer di antara kami bertiga. Tapi itu tidak berlaku untuk mata pelajaran olahraga. Terbukti dengan posisi Anna yang saat ini telah tertinggal jauh.

Baiklah, sampai disini dulu perkenalannya. Karena saat ini langkah kakiku harus terhenti ketika di depan sana terlihat sebuah jalan buntu yang telah menyapa. Tak ingin membuang banyak waktu, segera kubalikkan badanku dan mencoba untuk keluar dari jalan buntu ini. Naasnya, belum sempat aku melangkahkan kakiku untuk pergi, telah berdiri sesosok manusia yang saat ini sangat aku hindari.

Dia berdiri di sana, dengan sorot mata tajamnya yang tepat mengarah kepadaku. Melihat pemandangan itu membuat tubuhku menjadi kaku. Aku menelan salivaku dengan susah payah dan mencoba untuk tetap tenang. Dengan perlahan, kulangkahkan kedua kakiku untuk berjalan mundur saat sesosok itu pun mulai melangkahkan kakinya maju. Hingga akhirnya punggungku mulai menempel dengan dinding, tidak ada jalan keluar lagi bagiku.

"Stop! Berhenti di sanaa! A’udzu billahi minasy syaithonir rojiim—" ucapanku terhenti ketika seseorang tersebut tiba-tiba saja langsung memitingku.

"Aduh! Ampun-ampun, Ari salah!" mohonku kepadanya.

"Lo pikir gue setan pake ta'awuz segala!" serunya yang masih belum ingin melepaskan pitingannya. Justru aku merasakan cengkraman di leherku yang semakin kuat.

"Mao yang cantik dan tidak sombong, lepasin gue dong. Gue kan cuma becanda, ya ya...," ucapku dengan nada memohon. Mungkin saja Mao akan berbaik hati untuk melepaskanku.

"Mao, jangan dilepasin dulu!"

Belum selesai satu masalah, sudah datang lagi masalah yang baru. Dengan tatapan yang tak kalah garang dari Mao, aku melihat Ara mulai mendekat ke arahku. Sementara aku yang masih dipiting oleh Mao hanya bisa pasrah menerima nasibku ke depannya.

"Lo itu kuker banget sih! Pake bajak-bajak hape gue segala. Sekarang gue mau lo vn ke dia dan bilang kalau yang kemarin itu lo yang bajak hape gue, cepetan!" seru Ara kepadaku. Dia segera mengeluarkan ponselnya dan mengarahkannya kepadaku.

Aku melihat ponsel Ara yang saat ini tengah menunjukkan room chat antara dirinya dan mantan gebetannya. Sedetik kemudian, kembali kuarahkan pandanganku kepada Ara. "Gue vn nih?" tanyaku mencoba untuk memastikan lagi.

"Iya, cepetan!" jawab Ara yang mulai terlihat kesal. Bahkan wajahnya kini terlihat memerah.

"Hai, Ghani! Gue Ari. Jadi gue yang kemarin bajak hape-nya Ara, soalnya gue lagi gabut. Hehe..., sorry ya," ucapku dengan nada sangat terpaksa.

Setelah itu, aku meihat wajah Ara yang langsung tersenyum senang setelah berhasil mengirimkan voice note itu kepada Ghani—mantan gebetannya. Dasar Ara! Bilang saja kalau belum move on.

"Sudah kan? Sekarang lepasin gue," ucapku lagi yang mencoba untuk keluar dari pitingannya Mao. Pegel juga leher jika terus-terusan dipiting seperti ini.

"Enak aja! Masalah kita belum selesai tau!" sergah Mao yang masih tetap mempertahankan pitingannya.

"Masalah apa lagi sih? Kan gue udah bilang kalau gue cuma becanda?" tanyaku dengan nada lemas.

"Becanda sih becanda! Balikin dulu keripik kentang gue!" serunya.

Pandanganku kini dengan cepat beralih ke arah saku seragamku. Benar saja, benda itu ternyata masih berada di sana. "Oh iyaa, gue lupa. Maapin yaw," ucapku dengan cengiran lebar.

Lihat selengkapnya