Aku memasuki kantin dengan napas yang masih tersengal. Insiden tadi membuatku menjadi yang terakhir sampai. Bukan hanya itu, aku bahkan harus mentaktir sekaligus memesankan makanan untuk ketiga sahabatku.
Tepat di ujung meja, terlihat mereka yang telah terduduk dengan manis. Pandangan kami bertemu dan langsung saja mereka semua menunjuk ke arah stand bakso yang begitu ramai. Aku menghela napasku pasrah. Kalau bukan karena cowok itu, mungkin saat ini aku yang akan berada di posisi Anna.
"Makanan datang!" seruku sambil meletakkan nampan yang penuh dengan makanan ke atas meja.
Dengan cepat, tangan Mao langsung menyambar mangkuk baksonya. "Akhirnya datang juga, hampir mati kelaparan gue," keluh Mao sembari mengaduk-aduk mangkuk baksonya, tak memperdulikan ekspresi lelahku.
Aku menghembuskan napas pelan, mencoba untuk menahan rasa kesal yang kembali hadir. Satu-satunya hal yang aku inginkan saat ini hanyalah makan dengan tenang. Tidak lebih.
"Eh, ini baju siapa?"
Suara Ara membuyarkan pikiranku. Wajahnya terlihat penasaran melihat seragam yang tengah tergelak di atas meja.
Lagi-lagi aku menghembuskan napas pelan. "Baju orang," jawabku seadanya, sambil terus menyuap makananku.
Ara menatap heran seolah tidak puas mendengarkan jawabanku. Tapi aku diam saja, berpura-pura tidak melihat.
Tak lama setelah itu, pikiranku mulai mengusik. Aku menatap ke arah Ara lagi, merasa ragu untuk menanyakan sesuatu yang sejak tadi terus mengganjal pikiranku.
"Ra, gue mau nanya... Baju beginian emang harganya bisa sampai satu juta ya?" tanyaku, sambil menyerahkan seragam itu kepada Ara.
Ara menerimanya, matanya memindai setiap inci seragam tersebut dengan serius. Jemarinya yang ramping memegang dan mengusap kain tersebut dengan lembut. Perlahan, wajahnya berubah menjadi heran.
"Baju ini kayanya rancangan khusus deh, gak ada dijual di mana-mana. Bisa jadi harganya segitu atau bahkan lebih," jelas Ara dengan nada pelan yang menerka-nerka.
Aku menelan ludah dengan susah payah, "se-seriusan?" bisikku, berharap bahwa dia hanya bercanda.
Ara terdiam sejenak, lalu mengangkat pandangannya ke arahku. "Lo dapat baju ini dari mana? Jangan bilang lo nyuri punya orang," tebak Ara yang menatap ke arahku dengan penuh curiga.
Tanganku langsung terangkat untuk menjitak kepalanya. "Ngaco lo! Gue gak mungkin nyuri! Tadi gue gak sengaja nabrak cowok di koridor, terus minumannya tumpah ke bajunya. Dia nyuruh gue ganti rugi."
Mao yang tadinya sibuk dengan baksonya, kini mulai ikut bergabung ke dalam percakapan. "Seragam siapa tuh?" tanyanya dengan mulut yang masih penuh makanan.
Ara membolak-balik seragam itu, lalu menunjukkan nama yang tertera di atas kantong seragam tersebut. Seketika ekspresinya langsung berubah drastis. "Ari... lo tahu gak ini baju siapa?" tanyanya dengan nada menurun.
Aku menggeleng santai. "Enggak."