"Empat ratus... lima ratus... enam ratus... enam ratus dua puluh lima."
Aku menghitung dengan cermat setiap lembar demi lembar uang yang ada di depanku. Hingga hitunganku berhenti pada lembar terakhir, aku mendesah pelan. "Masih kurang tiga ratus tujuh puluh lima lagi," keluhku.
Aku menghembuskan napas panjang, memandangi uang yang baru saja selesai kuhitung. Tak jauh dari posisi uang tersebut, aku melihat kondisi celengan ayam yang telah kugembosi dengan berat hati. Terlihat begitu mengenaskan.
Uang tabungan yang telah kukumpulkan dengan jerih payah, menahan segala godaan membeli makanan enak atau barang-barang lucu, harus aku relakan begitu saja. Bahkan untuk membeli boneka labubu yang asli saja masih belum cukup, kini malah harus kugunakan untuk membayar uang ganti rugi.
"Kalau gue nabung pake uang jajan cukup gak yah? Atau gue cari kerja sampingan aja. Tapi, kerjaan apa?" gumamku mencoba untuk mencari solusi dari masalah ini.
Kepalaku terasa pusing memikirkan semua ini. Kumasukkan semua uangnya ke dalam amplop putih dan menyelipkan di laci meja belajar. Sudah kuputuskan. Aku akan menyicil sebanyak seratus ribu per hari. Setidaknya masih ada sisa uang untuk berjaga-jaga bila terjadi hal yang tak terduga nantinya.
Pandanganku beralih pada tumpukan tugas yang telah menanti. Kuambil satu buku yang terletak di paling atas, mencoba untuk membacanya. Namun, kata-kata yang tertulis di sana seperti simbol-simbol aneh yang tidak aku mengerti.
"Kalau soal ginian mah makanannya Anna, gue mana ngerti," keluhku sambil menutup buku itu kembali.
Saat tanganku hendak meraih buku kedua, suara ketukan lembut terdengar dari balik pintu, menarik perhatianku. Tepat di depan pintu, Bunda muncul dengan senyuman hangatnya. Senyuman yang membuatku merasa lebih semangat untuk menjalani kehidupan yang melelahkan ini.
"Anak Bunda lagi belajar, ya?" tanyanya dengan nada penuh kasih sayang.
"Iya, Bun. Tugasnya lagi banyak banget," keluhku sambil menghembuskan nafas berat.
Tangan Bunda terangkat untuk mengelus kepalaku lembut. Sentuhan yang membuat hatiku menjadi lebih tenang. Seakan menghapus setengah beban yang tengah aku pikul.
"Kasihan anak Bunda. Bunda mau bantu, tapi Bunda gak ngerti. Bunda kasih semangat aja ya? Anak Bunda pasti bisa!"
Aku menganggukan kepala sembari tersenyum dengan lebar ke arah Bunda. "Makasih, Bun," ucapku.
"Ya udah, lanjutin kerjain tugasnya ya."
Bunda berbalik menuju pintu, tapi aku dapat melihat sesuatu dari matanya. Terlihat sedikit kekhawatiran yang samar.
"Bunda perlu bantuan Ari?" tanyaku penasaran.
"Tadinya Bunda mau minta tolong beliin obat di apotek. Tapi kamu lagi sibuk, biar Bunda saja," jelas Bunda.
Aku menegakkan tubuhku, merasa cemas. "Siapa yang sakit, Bun?"
"Rio. Dia demam."
Aku langsung berdiri untuk mengambil jaket yang telah tergantung di belakang pintu kamarku dan dengan cepat memakainya. "Biar Ari aja yang beliin obatnya. Bunda di rumah aja, jaga Rio," ucapku.
Bunda tersenyum dengan lembut, lalu memberikan uang kepadaku. Namun aku menolaknya, menggenggam kedua tangannya dengan erat. "Gak usah, Bun. Pakai uang Ari aja. Assalamualaikum."
Aku mencium punggung tangan Bunda. "Wa'alaikumussalam, hati-hati ya, Nak," ucap Bunda lembut.
Aku mengangguk pelan. Langkahku dengan cepat berjalan menuju ke toko apotek terdekat, diiringi semilir angin malam yang menerpa wajahku dengan lembut. Meski saat ini aku merasa lelah dengan berbagai masalah yang terus menghimpit, tapi rasa tanggung jawab dan kasih sayang untuk adikku yang paling utama. Aku ingin menjadi seseorang yang bisa diandalkan untuk keluargaku. Layaknya lilin kecil yang menerangi gelapnya malam.