Arishta

Tamara Lutfiana Putri
Chapter #6

Pembayaran Pertama

Matahari masih belum sepenuhnya memancarkan sinarnya, tetapi aku telah berada di sekolah. Hal ini dikarenakan pesan dari kakak kelas nyebelin itu yang menyuruhku untuk datang pagi. Aku biasanya datang ke sekolah ketika koridor telah ramai oleh tawa dan langkah kaki siswa. Namun sekarang hanya diriku sendiri dengan beberapa petugas kebersihan yang terlihat.

Aku menghela napas panjang. Teringat ucapan yang sering aku layangkan kepada Ara. Penunggu sekolah ya lo! Itu karena dia yang selalu datang pagi layaknya penunggu. Dan ironisnya, kini dirikulah yang berperan seperti 'penunggu' tersebut.

Dengan langkah berat, aku melangkahkan kaki menuju tempat dudukku. Jari-jariku dengan cepat mengetikkan sesuatu kepada penyebab kesialan yang kualami sekarang.

|Gue udah bawa baju lo

Sembari menunggu balasan, aku merebahkan kepala di atas meja. Mulutku menguap lebar, tak kuat menahan rasa kantuk. Mengingat seharusnya aku masih terbaring di atas kasurku yang nyaman. Suasana kelas yang sepi semakin membuatku merasa bosan.

Decakan mulai terdengar. Aku merasa kesal, cowok itu belum juga membalas pesannya. Jangan-jangan dia masih tertidur di atas kasurnya, sementara aku harus meratapi nasib seorang diri di kelas yang sepi.

|Rooftop

Melihat balasan singkat dari si pengirim membuatku mendengus sebal, lalu segera beranjak menuju rooftop.

Ketika membuka pintu rooftop, pandanganku langsung mengitari ke sekitar. Tempat yang jauh berbeda dari bayanganku, tidak kotor dan berdebu, melainkan bersih dan juga rapi. Beberapa kursi panjang tertata rapi, menghadap pemandangan kota Jakarta yang sibuk.

Tanpa sadar, langkah kakiku membawa diriku untuk duduk dengan nyaman di kursi tersebut. Kedua mataku tertutup, menikmati angin yang berhembus dengan lembut, menerpa wajahku.

Tempat ini... nyaman juga, batinku masih menikmati suasana.

"Udah puas?"

Suara datar itu membuat diriku tersentak kaget. Aku segera berbalik dan melihat kak Bagas telah berdiri di belakang, dengan tatapan datarnya yang khas. 

"Gue suruh lo bawa baju gue, bukan duduk santai. Mana baju gue?" tanyanya dengan nada yang sama, datar dan juga menusuk.

Tak ingin membalasnya, aku menyerahkan paper bag berisi seragam yang sudah dicuci bersih kepada kak Bagas. Cowok itu menerimanya dengan santai lalu langsung memakainya. Hal tersebut membuatku tersadar, ternyata dia hanya mengenakan kaos putih polos dengan celana abu-abu. Pantas saja dia memaksaku untuk datang di pagi buta ke sekolah.

Tak berselang lama, keningnya terlihat mengernyit, lalu mengendus seragam yang telah melekat di tubuhnya. Tatapannya langsung mengarah ke diriku.

Aku yang melihat tatapan anehnya itu merasa heran. "Kenapa?" tanyaku.

"Detergent lo merek apa?" tanya Bagas akhirnya.

Aku memutar kedua bola mataku malas, tak menduga akan mendapatkan pertanyaan itu. "Kenapa? Gak suka? Beda kayak detergent lo yang mahal itu? Kulit lo gatel-gatel? Alergi sama detergent murahan?"

Beribu pertanyaan aku layangkan, kepalang kesal dengan kakak kelas nyebelin ini.

Kak Bagas hanya terdiam menatap ke arahku. Sepertinya ia tidak menduga dengan respon yang baru saja kuberikan.

Dia terlihat mengalihkan pandangannya sambil berdehem pelan, "gue gak masalah."

Lihat selengkapnya