Arjuna

leonheart
Chapter #1

Wasiat

Tangerang Selatan, 11 tahun silam.

Selama ratusan tahun, dia tidak pernah menganggap kematian sebagai musuh; Niskala sudah lama menyerahkan egonya pada keniscayaan ini. Bahkan petang itu, dia memeluk kematian seolah-olah itu adalah seorang teman lama yang datang untuk menjemput. Kendati kepadanya Niskala meminta untuk bersabar barang sejenak lagi saja, ada perkara mendesak untuk dibereskan sebelum ia mangkat.

Dalam ingatan rekan-rekan bisnisnya, Niskala tidak lebih dari seorang pengusaha muda berusia akhir 30-an yang energik. Begitu malam ini berlalu, orang-orang akan menyayangkan mati mudanya yang mendadak. Terkecuali bagi sang penuai kehidupan yang bersemayam di halaman depan, Niskala sudah terlalu lama hidup melampaui usia manusia pada umumnya. Ia hanyalah salah satu individu dari yang banyak jumlahnya seperti dia di daftar tunggu malaikat maut.

Niskala kini hanya ditemani oleh pelayan setianya, Sawatari Ouma, sementara kain putih yang terbentang di ruang latihan telah menutupi keheningan mereka seperti dinding putih. Pria Jepang berusia lima puluhan yang telah melayaninya selama satu dekade menjadi diam semenjak tadi, bersimpuh tanpa mengatakan apa pun di sisi tuannya yang sekarat.

Kimono Niskala berwarna putih, meskipun faktanya berlumuran bercak darah dari dadanya yang dibedah, memperlihatkan jantung yang berkedut seiring dengan detak nafasnya yang lemah. Niskala menekuri rintik hujan di atap rumah, sementara sang penuai kematian kian gelisah di serambi depan, untuk kesekian kalinya mengintip bolak-balik melalui dinding rumah dan tirai menutupi pemandangan.

Wajahnya yang sedih dan lesu tidak menjadi cerah sampai telinganya menangkap gema deburan lantai kayu di tangga yang setengah berlari menuju kamar mereka. Dinding kain putih kemudian terbelah. Seorang remaja berperawakan kurus tinggi dengan seragam sekolah putih dan abu-abu mendekat, matanya merah dan ujung rambutnya yang bergelombang basah kuyup. Air matanya telah mengering sejak Sawatari mengabarinya, dan setengah dari pakaiannya kusam dan lembab.

"Arjuna, apakah kamu sudah sampai? Terima kasih sudah datang ke sini, Nak. Aku ingin berbicara denganmu untuk yang terakhir kalinya." Niskala meminta remaja yang bernama Arjuna itu mendekat dengan suara yang kian bergetar. Meski dia mencoba membuat senyum bahagia dengan bibirnya, meski tubuhnya kian melemah.

"Maaf... maafkan aku... Maaf, Sensei..."

Itulah yang dikatakan pemuda bernama Arjuna; dia bingung apa yang harus dilakukan ketika dia melihat luka besar di dada gurunya yang sekarat, dan Sawatari, yang sedang ditolehnya demi sebuah jawaban, hanya menggelengkan kepalanya perlahan dengan ekspresi muram di wajahnya. Niskala yang berpakaian serba putih mencengkeram tangan Arjuna dengan sekuat tenaga.

"Arjuna, kematian adalah keniscayaan, selain juga hak setiap manusia yang hidup. Itu termasuk kematianku malam ini, Nak. Sebuah takdir yang tidak perlu kau tangisi berlama-lama."

Dia berusaha untuk menenangkan remaja muda di sebelahnya, terlepas dari kenyataan bahwa dia tahu satu-satunya murid tersebut masih terlalu muda untuk memahami keputusannya. Jadi wajar saja jika kata-kata penguat yang terlontar justru membuat sang murid semakin tersedu-sedu.

"Saya hanya punya satu permintaan, dan itu jika engkau mau memaafkan saya atas permintaan egois terakhir yang saya miliki, Nak." Niskala melanjutkan, menahan napasnya yang seperti hendak melarikan diri, dadanya bergetar.

"Apapun itu. Aku sadar dan patuh, Sensei." Arjuna menyeka air matanya dengan lengan bajunya.

"Ingatlah untuk tidak membuat janji dengan enteng, Padawanku. Laki-laki tidak bisa membuat komitmen dan kemudian dengan sengaja melanggarnya, mengerti? Tapi aku menghargai kesediaanmu untuk memenuhi permintaan terakhir ini."

Niskala melirik lemah ke arah Watari, yang telah mengawasinya sepanjang waktu. Pelayan itu mengenali bahasa isyarat tuannya dan menggeser sebuah kotak berukir dengan pernis hitam mengkilat yang sejajar dengan kursi miringnya.

Perlahan, ia mengangkat tutup kotak yang berhiaskan burung bangau berukir dengan kaki panjang yang terendam tanah di permukaannya. Dia mengambil isi kotak dengan kedua tangan dan mempersembahkannya kepada Arjuna.

Lihat selengkapnya