Arjuna berjalan lambat menyeberangi rooftop yang luas di puncak Golden Fish, di bawah guyuran hujan yang belum tampak akan reda. Langkahnya berkecipak di genangan tipis air, telapak tangannya sengaja dibuka tengadah, membiarkan bulir hujan membasuh darah kental yang mengendapi permukaan sarung tangan hitamnya.
“Jangan khawatir, nanti juga kau akan terbiasa dengan hal itu.” Tegur lelaki berkemeja necis dan berdasi hitam dengan luaran kimono abu-abu, yang tampak sudah menantinya semenjak tadi. Suaranya dalam, bergema di bawah riuh titik air menampar semen rooftop.
“Kau telah memilih untuk menempuh perjalanan sejauh ini. Aku pribadi merasa terkejut dengan apa yang telah lakukan untuk mencapai tempat ini, segalanya demi menemukanku, kau meninggalkan jejak darah yang signifikan, kesatria belia.” Ia menambahkan.
Masih tetap bergeming di tempatnya, di tengah hamparan rooftop yang cukup luas bagi mereka berdua. Berdiri dengan kedua tangan menumpu tongkat berjalan dengan ornamen ukiran kepala elang pada gagangnya. Arjuna mengelap bilah pedangnya yang basah hingga mengkilap jenih kembali dengan lipatan sikunya.
“Aku tidak perlu dikuliahi oleh seorang penjahat dan pembunuh sepertimu, Tuan. Atau kawananmu yang pengecut itu. Aku hanya perlu tahu di mana keberadaan Elesar,” kata Arjuna.
“Kau memilih jalan yang sulit, menyeberangi lautan dan jarak yang jauh, menghabiskan waktu yang tidak sebentar, semua demi memburu seekor monster yang menurutmu telah merenggut segalanya darimu ….”
Dada Arjuna tampak melonjak, ia mencemooh di balik topengnya, lalu menertawai lirih ucapan lelaki di hadapannya.
“Apakah kau tahu, terkadang monster yang sama bisa kita temukan dengan mudah, setiap kali kita berdiri di depan sebuah cermin?”
“Aku tidak suka mendengar metafora, jujur saja.” Arjuna mengambil langkah panjang, lalu menghamburkan dirinya ke depan, melepaskan serangan menusuk horisontal dengan pedangnya.
Lawannya juga setara gesitnya. Dia menarik ornamen kepala elang di ujung tongkat seraya beringsut menyamping ke kanan, mengungkap sebilah pedang yang tertanam di dalamnya. Suara berdenting memecah deru hujan.
“I am Sanada Yukishiro.” Sanada memperkenalkan diri dalam bahasa Inggris, dari balik perlindungan melintang tongkat-pedangnya.
“Sial!” Arjuna terkesiap.
Sergapannya ditangkis tanpa kesulitan berarti, tetapi ia lekas mengantisipasi serangan balasan dilancarkan oleh lawannya. Kilasan perak mengiris tirai hujan yang lebat merutuki rooftop. Mereka bertukar sabetan pedang satu sama lain setidaknya selusin kali sebelum Arjuna dipukul mundur oleh gerak tipu yang rapi. Tidak gentar, Arjuna menetak lebih keras, mata pedangnya menumbuk mata tongkat-pedang Sanada, saling menggisar satu sama lain hingga mencapai titik buntu.