Arjuna meletakkan tangannya yang lain pada genggaman katana, kilatan listrik kebiruan memercik di sepanjang bilahnya. Ia sedikit merendahkan posturnya seperti pelari yang hendak melesat, pedangnya yang berkilatan ikut dibawanya ke sebelah kanan. Ia menarik napas panjang sebelum melontarkan tubuhnya ke depan oleh sentakan kaki kirinya.
Udara yang diterabasnya bergelora, partikel air di sekelilingnya membuncah warna biru plasma kilat, seolah-olah turut membungkus tubuh Arjuna yang meluncur layaknya sebatang lembing yang dilempar. Bagi mata telanjang Sanada, ia seolah berpindah tempat dalam sekedipan mata. Tetapi bagi Arjuna, ia hanya sekedar melesat sekencangnya, melampaui aliran waktu yang mengililingi.
Dalam perspektifnya, rinai gerimis tampak mengambang layaknya tergantung oleh benang yang kasat, cipratan air yang dibuatnya sekedar melompat lalu diam ditempat, begitu pula uap panas yang menguar dari lampu-lampu neon terang di gedung sekeliling. Sebuah keajaiban yang berlangsung kurang dari 3 detik waktu normal, tetapi cukup bagi Arjuna. Cukup waktu untuk bagi pedangnya untuk diayun secara horizontal mengarah dada Sanada.
Pedang melawan pedang melahirhkan dentang nyaring ketika bilahnya saling bertumbukan keras.
Sanada si samurai gaek mampu memperlihatkan bagaimana pengalaman sangat lah berarti. Ia menyilangkan pedang sekaligus serangkanya ke depan sebagai bentuk pertahanan, secara insting di sepersekian detik yang krusial, tatkala Arjuna lenyap sekedipan mata.
Arjuna melihat sosok Sanada yang terhuyung mundur oleh gempurannya, pertahanannya tampak bercelah, dan sebelum kecepatan kilatnya rampung, ia membongkar silangan pedang dan serangka lawannya dengan sebuah sabetan vertikal ke atas.
Sanada menggeritkan rahangnya, menyadari posisinya yang tidak menguntungkan, ia melompat mundur, mencoba untuk memberi jarak antara dirinya dan Arjuna. Akan tetapi lawan belianya itu sudah lebih dulu mengudara, siap mengirim serangan pamungkas untuk mengakhiri duel mereka secara.
“Sialan.” Sanada mengumpat, ia mendongak kepada malapetaka yang datang, mencetak seringai kecil di wajahnya.
Arjuna melentingkan tubuhnya tinggi-tinggi dengan sebuah sentakan. Langit malam membadai yang melatarinya seolah mengirim sebuah sambaran petir pada bilah katana yang diangkatnya setinggi kepala. Lalu terjun bersama rinai hujan menyeret serta halilintar yang menggelora hebat di pedangnya.
Kilat yang membutakan kembali pecah dari puncak Golden Fish, menyusul sebuah geledek yang mendentum. Entakannya turut memecah neon-neon reklame beraneka rupa di gedung-gedung yang bersebelahan, juga mematikan aliran listrik, menggentarkan kaca-kaca jendela. Orang-orang di jalanan distrik merah tersentak oleh dekatnya suara petir yang membahana, juga alarm kendaraan yang menyalak saling menyahut dengan lampu ikut berkedipan di antara kompleks bangunan yang mendadak jadi gelap gulita.
“Tidak buruk.” Sanada mengomentari. Tongkat-pedang dan serangkanya patah terpotong, jatuh bergemelentang di lantai.
Sayatan diagonal melintang di sepanjang tubuh bagian atasnya, kimono dan outer-nya terbedah, Sanada tampak terhuyung memegang pedang Arjuna tenggelam hingga ke dadanya, masih dengan seringainya yang meledek.
“Unfortunately, I’ve seen better,” lanjutntya.
“Tidak mungkin!”
Arjuna balik terperangah, ia merasa ada yang tidak beres, dan firasatnya segera terbukti tatkala tubuh Sanada luruh menjadi puluhan ekor burung gagak hitam yang sontak menghambur ke arahnya. Ia secara insting buru-buru berguling menjauh dari tempatnya, firasatnya memeringati.