“Chiyoku Tensho!” pekik Sanada.
Sayap hitam di punggungnya seketika merentang lebar, melengkung naik juga membesar, lalu bagian ujungnya berguguran menjadi puluhan ekor burung gagak yang sekonyong-konyong menghambur ke arah Arjuna.
“Gawat!”
Arjuna sontak mengambil langkah seribu. Dia berlari menyusuri tepian rooftop tempatnya berada, melompati pagar kawat tinggi dan blok-blok generator, bersalto menyamping dan berlarian menyisir tembok bangunan di puncak gedung. Lajunya gesit mengelakkan kawanan burung gagak yang dikirim Sanada layaknya hujan peluru, yang meletus berkobaran tatkala membentur segala yang dihantam. Dari sudut matanya, Arjuna melirik kedua sayap milik Sanada yang kian laun menyusut seiring datangnya kawanan gagak yang dikirim untuk memburunya.
Ini masuk akal, setiap Simulacrum memiliki batasan tersendiri terlepas seberapa kuatnya Chakra—energi metafisik—penggunanya, pikir Arjuna. Ini memberinya gagasan spontan, Arjuna menyadap chakranya sendiri dan membelokkan larinya ke tepian rooftop, petir dalam skala mikro seketika berkeriap di sekujur tubuhnya dan waktu mulai melambat di matanya.
Arjuna membalik arah pegangan Murakumo—pedangnya— dan melompati jurang di antara dua rooftop bangunan dengan lincah. Sosoknya hadir sekelipan kemudian di rooftop Golden Fish, kilasan biru menyertainya, Arjuna melendungkan telapak kakinya lantas mendorong tubuhnya ke depan. Sanada sontak membubarkan sayapnya, menjelmakan tiga klon dirinya sendiri dari ruas sayap yang tersisa dan langsung dikirim untuk menyongsong Arjuna.
Gelombang serangan pertama datang, serangkaian tusukan tombak bermata ramping yang mencacah lantai rooftop dilesakkan oleh klon Sanada yang terdepan. Arjuna berkelit lincah di antaranya dan bersalto mengelakkan sapuannya yang lebar. Murakumo berkicau nyaring di tangannya, petir kebiruan menyelubungi bilahnya yang jernih dan dingin. Ia mendarat dan mendaratkan tendangan berputar ke wajah klon Sanada.
Klon yang terdepan jungkir balik terlempar, Arjuna lantas membabitkan Murakumo dalam kecepatan tinggi, memangkas habis tombak klon Sanada nomor dua yang memburu dadahnya, sebelum menebas lehernya dalam sebuah pirouette. Murakumo kembali terangkat, bermandikan petir gemilang, Arjuna melompat dan membelah tubuh klon ketiga Sanada tanpa ampun.
Dua wujud klon Sanada hancur menjadi sebaran bulu sayap gagak hitam yang berhamburan ditiup angin basah, satu masih terkapar di genangan air, sedangkan empunya wujud yang asli datang membawa tombak yang ujung matanya berkobaran oleh api. Benimaru menderu dalam putaran melawan rinai hujan, berkisar jingga dan membara.
Saat tombak Sanada menembus udara basah, Arjuna sempat menyaksikannya dengan terpana, meski mampu menghindari tepat waktu. Dibarengi bunyi gedebuk yang mengejutkan, mata tombak Benimaru menghantam lantai beton rooftop, berderit nyaring saat meluncur diseret dan diputar. Deras hujan menguap menjadi kabut akibat apinya. Arjuna tersadar dari keterkejutannya oleh denting Muramasa yang membentur mata Benimaru.
Sanada terbukti ulet meskipun perawakannya lebih pendek dan gaya berjalannya lebih lambat. Dia menekan Arjuna dengan sambaran tombaknya yang berapi-api dan nyaris akrobatik, dan kemudian dia memukulkan tombak itu dengan keras tepat ke dada Arjuna. Hujan mengguyur para petarung, membuat bentrokan pedang dan tombak semakin memekakkan telinga. Lagi dan lagi, Arjuna bisa menghindarinya sekali lagi, tapi dia semakin muak untuk terus dipaksa menghindar.