“Sumeragi no Hanabi!”
Sanada menukik ke arah Arjuna dalam kecepatan tinggi, tombaknya diayunkan menyilang, Sayapnya yang berkobar-kobar mengepak dengan ganas.
Sebuah ledakan tiba-tiba mengentak rooftop Golden Fish, dan gelombang panas yang masif melahap area sekitarnya. Dalam sekejap mata, api menghabiskan semua yang dilaluinya, hanya menyisakan puing-puing hangus di belakangnya. Pelanggan klub malam di sekitar Golden Fish berteriak ketakutan, mereka berdesak-desakan untuk keluar menyelamatkan diri. Ratusan orang yang tengah beraktivitas di sepenjuru Kabukicho buru-buru meninggalkan tempatnya. Orang-orang di sekitar distrik lampu merah pun tak kalah terkejutnya, mereka buru-buru melongok dari jendela komuter dan merekam api dan kolom asap yang membumbung tinggi dengan ponselnya.
Arjuna sejenak dibutakan oleh cahaya dan panas ledakan, dan dia terpaksa merangsek mundur secara naluriah. Tetapi Sanada memanfaatkan kesempatan ini untuk segera menumbangkan lawannya, ia menerabas tembok api yang mengelilingi Arjuna mendaratkan tebasan diagonal atas yang tidak dapat dibendung, lalu sebuah tendangan yang berapi-api.
Arjuna meringis oleh robekan luka di bahunya yang panas, dan tohokan keras di dadanya. Ia bersalto ke belakang untuk memulihkan diri. Pandangannya membaik seiring datangnya serangan Sanada yang berikutnya, tusukan tombak ganda berturut-turut yang datang seperti ombak yang mengamuk.
“Karma dan dendam bukanlah perkara yang sama! Keduanya tidak sesederhana pikiran naifmu, bocah!” Sanada makin menaikan tempo serangannya, kekuatannya juga meningkat drastis, Arjuna merasakan ledakan chakra yang besar dari tubuh Sanada.
“Aku tidak peduli, pak tua!” hardik Arjuna.
Murakumo kembali diselimutinya dengan petir, dan ia mengerahkan langkah kilat untuk menangkis lesakkan tombak milik Sanada yang seolah tak ada habisnya.
Aku harus bertahan, ia tidak mungkin bisa mempertahankan keadaan ini selamanya, pikir Arjuna. Tangannya mulai mati rasa, dan lukanya melelehkan darah, mereka kini berkejaran di sepanjang rooftop yang hangus, pedang dan tombak mereka beraduan nyaring bertalu-talu. Arjuna melompati celah antara gedung dan mendarat di rooftop gedung yang lain, tepat ketika dua mobil kepolisian Tokyo berhenti di bawah mereka. Pejalan kaki yang melintas menunjuk-nunjuk ke puncak gedung, kedua detektif berpakaian preman buru-buru meminta izin kepada pemilik kedai minum untuk naik ke atap.
“Sampai kapan kau akan melarikan diri, bukankah tujuanmu adalah aku, untuk mencari tahu soal Elesar, bukan?” Sanada yang sudah menyeberang kini menyatukan kedua ujung tombaknya, melepaskan serangan tombak berputar cepat di udara seraya menghambur ke Arjuna.
“Gurensho!” pekiknya.
Lusinan api berbentuk sabit yang mengeras setajam bilah pedang dan beterbangan dari sekelilingnya dengan kecepatan yang sangat cepat dan menghujani Arjuna tanpa ampun. Mencincang dan membakar segala yang dihantamnya, meletup-letup sengit layaknya rentetan kembang api.
“Aku tidak melarikan diri!”
Arjuna menyepuh Murakumo dengan chakranya, api kemarahan di dadanya tersulut, mendengar nama Elesar disebut. Ia mengerahkan kecepatan kilatnya ditempat, menangkisi sabit api yang menghujani ke segala penjuru dengan beringas dan tanpa mempedulikan sekeliling.
Lusinan sabit api yang ditampiknya itu berhamburan liar menerjang jendela klab-klab malam yang masih berpenghuni, membelah kendaraan yang parkir, dan membakar sejumlah pengunjung sebuah restoran seafood yang tak sengaja menonton. Sejumlah reklame dan papan nama rontok dari tempatnya, rangka bajanya menjatuhi sekelompok preman dan hostes di depan salonnya.