"Karena semua orang akan sayang jika sudah mengenal.”
“Please, dong, Kir .... Gue minta bantuan lu sekali ini aja.”
“Enggak, enggak, enggak!” Kirana tidak mau menuruti rengekan sahabatnya itu.
“Jahat banget, sih, lu! Udah istirahat kedua, nih. Enggak ada waktu lagi kalau lu enggak ngasih ke dia entar abis kelas.” Jelita memanyunkan bibirnya. “Besok mah udah basi. Udah bukan Valentine, kali!”
“Haduh ..., lu sendiri aja kenapa, sih?” Kirana mendengus. “Kenapa harus gue yang ngasih ke Juna? Lagian, tuh cokelat, kan, buat Harris. Kok, pake lewat gue dan Juna segala, sih? Lebih gampangan lu yang kasih langsung ke Harris, kan?”
“What? Mau dikemanain muka gue kalau gue ngasih langsung ke Harris?”
“Lah, terus? Lu korbanin gue, gitu? Mau taruh di mana muka gue kalau gue kasih cokelat ini ke Juna?”
“Lu, kan, enggak ada apa-apa sama dia, kenapa harus naruh muka segala? Kalian, tuh, cuma messenger. Kurir. Perantara. Ekspedisi. Paham enggak?”
Kirana memutar bola matanya dengan kesal. “Lah, lu juga enggak ada apa-apa, kan, sama Si Juna? Kenapa repot-repot lewat gue?”
“Lu, kan, sekelas sama dia. Lebih gampang ketemunya!” tukas Jelita.
Kirana mendecih. “Lu juga enggak jauh dari kelas gue, kan?”
“Aduh, please-lah, ya. Lu, kan, tahu sendiri kalau Rasita itu selalu ngekor Juna ke mana-mana. Gue enggak punya alasan yang cukup kuat buat nemuin dia. Bisa berabe jadinya entar.”
Menuruti permintaan Jelita sama saja dengan masuk ke lubang buaya. Kirana tidak mau namanya masuk ke daftar hit-list Rasita, cewek yang jungkir balik mengejar Juna sejak mereka masih berseragam putih-biru.
“Lu punya seribu satu alasan, Kir. Pinjem catatan, kek. Tanya tugas besok, kek. Lagi cari temen buat kerja tugas bareng, kek. Apa aja, lah.” Jelita meningkatkan usaha memelasnya dengan menambahkan isak palsu yang mengundang bisik-bisik dari orang-orang sekitar mereka.
“Haaa ..., lu ini, ya!”
Dengan berat hati, Kirana meraih kotak berwarna merah yang dihiasi pita putih cantik di atasnya.
Jelita berasal dari keluarga yang berada. Semua barang yang cewek itu beli harganya selalu di atas rata-rata. Alat tulisnya saja diimpor dari Jepang, lebih tahan lama katanya. Apalagi, cokelat Valentine untuk Harris, pujaan hatinya sejak mereka mengikuti MOS. Kemarin sore, Jelita rela mengantre berjam-jam di salah satu toko cokelat di pusat Ibu Kota, yang namanya baru-baru ini melejit hingga ke mancanegara. Kirana juga berada di sana karena sudah dijanjikan berkah berupa sekotak cokelat pilihannya jika ikut menemani. Tidak seperti sahabatnya, Kirana tidak berniat memberikan cokelat itu kepada siapa pun. Dia ingin melahapnya sendiri karena konon rasanya bisa membuat orang serasa melayang.
“Awww ... thank you, My Best Friend! Lu emang the best, deh. Enggak salah gue pertahanin lu sebagai temen gue sampe hari ini!” Jelita berjingkrak-jingkrak heboh.
“Haisss ..., kalau ada maunya aja lu baru inget gue! Biasanya, coba? Dikacangin mulu. Kayaknya udah waktunya gue cari temen baru, nih.”
“Iya, makanya gue bilang, lu cari cowok, dong!”
“Lho, kok, jadi cowok, sih?”
“Iya, kalau temen mah banyakan enggak cocoknya. Siapa juga yang bisa tahan sama lu yang ketus gitu? Kalau cowok, lain ceritanya, Kir,” tutur Jelita menceramahi. “Udah, lu cari aja gih, biar ada yang diobsesiin gitu. Pasti lu enggak bakal ngerasa gue kacangin lagi, deh. Nevan temennya Harris boleh juga, tuh. Kayaknya kalian cocok, deh.”
“Nevan?” Kirana membelalakkan mata. Dia merasa sangat terganggu dengan usulan itu.
“Bukannya dia ganteng?”
“Ganteng dari mana? Jel ..., lu, tuh, kemakan arus mainstream. Cuma karena banyak cewek di angkatan kita yang ngebet ke dia, bukan berarti dia itu oke. Lu lihat enggak cewek yang ngejar dia kayak gimana? Enggak ada yang sip!” Kirana mencibir.
“Eh, eh, Kir ..., jangan-jangan lu emang suka sama Nevan, ya? Kok, berapi-api banget ngomongnya?”
“Ngaco banget, sih, lu. Gue enggak suka aja sama tuh anak, dan gue lebih enggak suka lagi kalau lu pake tawarin dia ke gue.”