“Pernahkah engkau bertanya kepada semesta mengenai nama-nama yang hadir dalam buku kehidupanmu?”
Kirana berlari hingga terpental-pental layaknya kancil dikejar harimau Sumatra. Tidak dipedulikannya khalayak ramai yang melihatnya dengan hidung mengerut.
“Eh, Kir, lama banget, sih! Gue udah lumutan, nih, nungguin lu!” Jelita mencegat di bawah tangga. “Gimana? Juna mau kasih, kan?”
“Hah?” jawabnya dengan napas terengah-engah tidak keruan.
“Lu udah ngomong, kan, supaya dia langsung ngasih ke Harris?”
Kirana mati kutu menghadapi pertanyaan itu. Tadi, dia begitu panik hingga tidak sadar belum menyelesaikan sisa 25% tugasnya.
“I ... iya ..., udah, kok,” jawabnya cari aman.
Bagaimana bisa dirinya melupakan hal itu?
Kirana selalu menganggap dirinya memiliki level kecermatan di atas rata-rata. Namun, kali ini, dia tidak hanya menggagalkan misinya, tetapi juga menambah masalah untuk dirinya sendiri.
Jika Juna tidak tahu bahwa cokelat itu semestinya untuk Harris, maka tamat sudah riwayatnya.
“Terus, dia bilang, iya, kan?” Jelita memastikan.
Kirana mengangguk lemah. Dia tidak memiliki keberanian untuk membeberkan kebodohannya ini.
“Jel, gue pulang dulu, ya. Enggak bisa nongkrong di kantin, nih.”
“Lho, kok? Lu, kan, bilang mau nemenin gue tadi!”
“Iya, sori Ibu barusan telepon. Katanya gue mesti pulang cepetan, emergency gitu.” Kirana beralasan karena sesungguhnya dia berencana untuk menemui Juna lagi.
“Emergency apaan?”
“Gue juga enggak tahu, Ibu enggak bilang, keburu-buru gitu ngomongnya.”
“Ya, udah, deh. Ayo, gue anterin.”
“Eh, enggak usah. Lu ke kantin aja, gue bisa pulang sendiri, kok!” sergahnya panik. “Kalau lu pulang sekarang, kan, rugi, siapa tahu Harris dateng nemuin lu?”
“Emh , tapi, kan, gue sendirian.” Jelita menimang-nimang.
“Enggak apalah. Kalau gue di sana, entar Harris jadi ogah nyamperin lu-nya. Dia, kan, pasti enggak enak gitu kalau ada gue.”
“Iya, juga sih, ya? Hm ya, udah, deh, kalau ada apa-apa, telepon gue aja, ya!”
Tidak mau menghabiskan banyak waktu, Kirana segera melesat kembali ke kelas XI-IPS 3 sepeninggal Jelita.
Nasib sial sedang merundungnya karena batang hidung cowok itu sudah tidak tampak ketika dia kembali menginjakkan kaki di ruangan kelasnya.
Entah, takdir macam apa yang sudah tertulis untuknya sehingga dia tidak mendapat kesempatan bertemu Juna lagi.
Karena waktu terus berjalan dan matahari semakin bergeser ke barat, Kirana segera mengeluarkan HP-nya. Sebenarnya, dia enggan menjelaskan kepada Juna jika tidak face to face, tetapi dia tidak mempunyai pilihan lain.
Pada awal semester satu tahun lalu, Pak Dji—wali kelas mereka—membagikan daftar nama dan nomor ponsel murid-murid sekelas beserta alamat rumahnya. Kirana mengira sudah menyimpan semua nomor yang tertulis di sana, tetapi ternyata hanya segelintir siswa saja yang tercatat dalam daftar kontaknya. Kirana ingat dia tidak mau repot-repot menyalin seisi daftar ke ponselnya. Dia hanya menyimpan nomor mereka yang memang pernah menghubungi Kirana.
Kirana berkutat selama 5 menit dengan semua barang yang ada di dalam tasnya sebelum dia menyadari bahwa kertas daftar itu tertinggal di dalam tas lamanya. Entah, dosa apa yang telah dia perbuat sehingga musibah ini menimpanya.
***
Juna melirik ke arah ponsel yang dia lempar ke tempat tidur sembarang begitu tiba di rumah. Ada satu pesan masuk.
Rasita Mirabelle:
Kamu udah di rumah? Lagi ngapain? Telepon aku?
Diliriknya pesan itu sekilas sebelum dia kembali mengamati kotak merah berukuran 10x20 cm yang didapatnya dari Kirana.