Arjuna dan Kirana

Mizan Publishing
Chapter #3

Jalan-Jalan Valentine

“Ada tiga hal penting yang tak dapat dilihat, tetapi dapat dirasakan. Udara, sinyal Wi-Fi, dan cinta.”

Mobil Juna melaju cepat menuju mal baru di daerah utara. Level kemacetan di jalan sudah mendekati dua kali lipat kepadatan biasanya. Maklum, hari Valentine memang membuat banyak orang merasa tiba-tiba ingin jalan-jalan.

Sejak ke luar rumah, Kirana belum berkata apa pun lagi kepada Juna. Hingga akhirnya Kirana mendadak sibuk mengaduk tasnya dan perhatian Juna pun tersedot ke sana.

“Ada yang ketinggalan?”

“Oh ..., enggak, kok.” Kirana menggeleng. Dia kemudian menutup tas dan kembali duduk dengan tenang. Sesekali dia melirik ke arah Juna seperti hendak mengatakan sesuatu, tetapi tidak jadi.

Sunyi kembali merundung mereka hingga suara panggilan masuk terdengar dari HP Juna. Juna mengeklik sesuatu di setir mobil. Secara otomatis, sambungan bluetooth dari HP-nya ke sistem audio memunculkan suara si penelepon melalui speaker.

Juna ...? Kamu udah lupa, ya, sama aku? Kok, enggak balas chat aku sama sekali, sih? Kamu lagi ngapain?” Suara Rasita yang mendayu berkumandang. Cewek itu terdengar manja.

“Aku lagi di jalan, Sita. Enggak bisa baca chat kamu.”

Kamu pergi? Ke mana?

Dari ujung matanya, Juna melihat Kirana meringis khawatir. “Ada barang yang harus dibeli hari ini, jadi aku mesti pergi nyari.”

Barang apa? Kok, enggak ajak aku? Aku, kan, bisa bantu cari. Lagian, aku enggak ngapa-ngapain, nih, di rumah. Bosan banget. Udah gitu, tadi kamu langsung pulang. Kan, aku jadi kangen kamu.

Juna sudah terbiasa mendengar Rasita berkata “kangen” kepadanya. Namun, kali ini, entah mengapa dia merasa agak kikuk mendengarnya bersama orang lain.

“Ini mendadak soalnya. Makanya, tadi aku langsung pulang. Sita ..., aku udah mau sampe, nih. Teleponnya udah dulu, ya!”

Eh, eh, tunggu dulu! Entar malem temen-temen pada mau nonton, terus mau cobain kafe baru. Nah, aku diajakin. Kamu juga ikut, ya? Kan, enggak enak kalau aku pergi sendirian. Mereka semua bawa cowoknya lagi. Entar, aku jadi nyamuk, nih.

Lagi-lagi, Juna merasa percakapan ini membuat perutnya mulas. “Entar, aku kabarin, ya. Bye.”

Jangan lupa, ya! Nontonnya jam delapan lima belas, lho.

“Iya.”

Kirana memalingkan wajahnya ke arah kaca spion di sebelah kirinya begitu telepon terputus. Telepon dari Rasita barusan membuat suasana di dalam mobil canggung.

Tidak berapa lama kemudian, mereka pun sampai. Juna sudah menjelaskan sebelum berangkat bahwa mereka akan ke toko cokelat itu sebelum pergi menemui Harris. Dan jika kemarin toko cokelat itu ramai, hari ini toko itu seperti kebanjiran manusia.

“Hah? Yang bener aja! Sampe jam berapa kita harus berdiri kalau gini caranya?” Kirana menggerutu sendirian.

Juna sendiri tidak menyangka antreannya akan sepanjang ini.

“Kita tunggu aja,” saran Juna santai. “Lagian udah nyampe sini, sia-sia banget kalau langsung pulang.”

Kirana mengangguk.

Mengantre adalah pekerjaan yang sangat membosankan, tidak heran di luar negeri ada orang yang mata pencahariannya menggantikan orang mengantre. Seiring waktu, barisan orang di depan mereka pun memendek.

“Sehabis ini giliran kita,” gumam Kirana seraya menghela napas lega. Setelah orang di depan mereka melenggang ke luar, Kirana cepat-cepat menghampiri konter.

“Maaf, Kak, itu produk best seller kami. Barusan banget yang terakhir dibeli. Maaf, ya, Kak.”

“A ... apa?!” Kirana tercengang. Mas-mas yang jaga konter hanya sanggup melemparkan senyum canggung, seakan habis menonton film The Ring versi Jepang.

“Jadi, udah enggak ada lagi?” Juna mengambil alih.

“Ada, sih, tapi lagi dibuat di cabang kami yang di pusat, Kak. Baru datang sekitar dua jam lagi. Kalau Kakak mau nunggu, saya bisa masukkan order dulu, gimana?”

Kirana melirik Juna dengan cemas.

“Ya, udah, masukin aja dulu ordernya. Kami tunggu.” Juna angkat suara.

“Pesan berapa, Kak?”

“Satu aja, Mas,” Kirana menjawab. Dia kemudian mengeluarkan dompet dan mengambil dua lembar uang seratus ribuan. “Ini, Mas.”

“Maaf, Kak, ini uangnya kurang.”

“Kurang? Bukannya harganya 180 ribu?”

“Oooh, itu harga kemarin, Kak. Promosi pre-Valentine. Lima puluh persennya sudah enggak berlaku lagi hari ini. Harga normalnya 360 ribu, Kak.”

“Sa ... saya enggak punya kartu, Mas,” Kirana tergagap seraya merogoh isi tasnya.

Juna jadi tidak enak melihat cewek itu kesusahan.

“Pake ini aja, Mas.” Berhubung Juna juga tidak membawa cash sebanyak itu, dia memberikan kartu debitnya.

“Baik, terima kasih. Ordernya sudah masuk, ini struknya, Kak.” Mas tadi memberikan selembar kertas struk beserta kartu debit Juna kembali. “Silakan ditunggu dua jam lagi. Kami juga ada kafe di lantai tiga, siapa tahu Kakak-Kakak mau mampir. Hari ini grand opening-nya. Nah, kalau di sana ada promo macam-macam buat couple.”

***

Keluar dari toko roti, ternyata mal semakin dipadati orang- orang. Entah untuk menonton di bioskop, makan, atau sekadar jalan-jalan. Yang pasti, banyak pasangan lalu-lalang sehingga Juna merasa mereka sedang berada di tengah- tengah katalog jual baju couple online.

Masih ada 1 jam 50 menit hingga supply cokelat keramat itu datang. Dari ekor matanya, Juna mengamati Kirana penuh pertanyaan.

Lihat selengkapnya