Satu panah menerjang pasukan yang mengepung dari arah belakang Arjuna. Satu panah lagi meluncur ke arah datangnya Cakravyuha di depan.
Ujung panah lebih tajam dari mata pedang di muka bumi. Ukurannya bertambah besar seiring melesat di udara, berkali-kali lipat lebih besar dari tombak bermata api dan berparuh elang.
Masing-masing panah, sekejap mata berlipat ganda menjadi ratusan panah, menerobos barisan terbentuk dari tubuh-tubuh prajurit pada setiap lapisan Cakravyuha. Tubuh-tubuh terpental hingga panah-panah lainnya menerobos lapisan berikutnya sampai menembus lapisan paling dalam.
Hingga satu panah api, tepat menghantam pusat Cakravyuha. Menohok seekor gajah di tengah laju formasi bergerak cepat. Akibatnya, gajah terhempas mundur, ambruk dengan bobot begitu berat, menubruk pasukan gajah di belakangnya hingga pusat Cakravyuha hancur berantakan. Hancur pula lapisan lainnya.
Satu panah berikutnya menyusul tanpa henti, seakan tak memberikan kesempatan siapapun yang bernafas di dalam formasi Cakravyuha. Sebilah amukan panah, meluncur secepat kilat dan tepat menohok leher seseorang paling berpengaruh, seseorang berjirah emas di dalam kereta perang. Terpental ke atas, lepas kepala dari tubuhnya. Sementara tubuh manusia itu masih menggenggam senjata pedang di tangannya.
"Jayadratha!!!" Jerit mengamuk bercampur geram. Arjuna melepas puncak kemarahan. Melihat panahnya secepat itu berhasil menunaikan sumpahnya untuk memenggal kepala Jayadratha.
Penampakan mengerikan. Kepala Jayadratha terpelanting ke atas, disertai jeritan keras yang belum usai. Semua pasukannya terperangah hebat menyaksikan kematian mengerikan di depan mata. Baru tersadar, sebilah panah Arjuna tepat memotong kepala yang rupanya adalah kepala sang komandan.
Sebongkah kepala melayang-layang di langit kelam. Setiap kali kepala Jayadratha meluncur ke bawah, dengan cepat panah lain menghempaskannya kembali ke atas, sehingga tak pernah sampai mendarat di tanah. Selagi kepala itu terlempar ke atas, tubuh Arjuna mengorbit dan meliuk, mengendalikan pusaran badai panah segala penjuru, mengikuti amukan kekuatan spiritual dalam dirinya.
Pusaran Cakravyuha porak poranda. Tak mampu pulih seperti sedia kala. Raungan terompet Arjuna beberapa kali menggelegar, para pengendali gajah sampai pecah telinga sehingga tak mampu lagi mengendalikan laju tunggangannya, bertubrukan dengan gajah lainnya di dalam formasi. Komando Cakravyuha terletak pada para peniup terompet. Sehingga hancur pula barisan kavaleri dan infantri. Bersamaan dengan itu, hujan panah seukuran tombak-tombak api baja menembus tubuh-tubuh perkasa para prajurit elit, bersama kuda dan gajah tunggangan.
Jerit ampun, kesakitan, pasukan musuh kehilangan komando, lantas berlarian meninggalkan formasi Cakravyuha. Namun panah-panah serupa elang api, terus mengejar, hingga mereka melarikan diri bermil-mil jauhnya dari medan pertempuran, namun tak sanggup melampaui kecepatan laju panah tiada henti. Ribuan prajurit terguling berjatuhan, panah-panah menembus tubuh-tubuh mereka hingga menghantam tanah.
"Ini yang paling aku hindari, tapi tak bisa aku hindari lagi. Kalian mengubahku menjadi mesin pembunuh!" geram Arjuna. Sedikit jeda, nafas memburu. Sejauh mata memandang medan pertempuran. Panah-panah di kejauhan, belum usai menghujani pasukan yang lari tunggang langgang.