Putih. Himawan berselimuti harapan tebal. Hawa kebahagiaan tak terkira, singgah pada satu hunian lereng di kawasan Satringa. Siang itu, seorang wanita mulia baru saja melahirkan bayi laki-laki, bertepatan musim dingin melanda sisi lereng gunung.
Wajah bayi lelaki itu tampak bercahaya, tanpa dosa. Tangisannya berpadu kehangatan di pelukan Ibunda bernama Kunti.
"Arjuna, Yang tak ternoda dan bersinar keperakan. Kau suka nama itu, putraku sayang?" ujar ibu Kunti menggendong bayi lelaki yang dilahirkannya. Tangis bayi reda. Untuk pertama kali, terbuka kedua mata bayi yang jernih, menghadap wajah ibunda. Pertama kali juga dari balik jendela, cahaya Sang Surya lembut menerpa wajah si Bayi yang bersih mulus.
"Dia, Phalguna," seseorang berbicara di sisi ruangan, yang membantu kelahiran si Bayi. Seorang wanita paruh baya, semacam tabib khusus menangani kelahiran setiap bayi di pedalaman desa terpencil di lereng Himawan.
"Benar. Arjuna yang lahir bertepatan Phalguna, bulan kedua pada musim dingin Sisira. Bulan purnama nanti malam, yang paling istimewa dan penuh berkah," ujar Ibunda bahagia hingga tergenang air matanya.
"Tunas baru musim dingin telah hadir menghiasi dunia dengan segala keberkahan dan keutamaannya, kelak ia akan menjadi pemimpin besar dan ternama," satu harapan tersirat, doa yang murni dari tabib wanita setengah baya terhadap si Bayi.
"Arjuna. Sang Phalguna," Disambut ibu Kunti tersenyum.
Berbalut selimut putih, sesuci bayi yang lahir dalam kesederhanaan kediaman di lereng Himawan sunyi sejuk. Menjelang siang, matahari menyapa ramah. Beberapa warga sekitar berdatangan, namun tidak banyak. Sekedar melihat wajah bayi beraroma surga.
"Dia datang ke dunia fana dengan mengemban tugas besar. Jaga dan rawat bayimu sebaik-baiknya," tutur beberapa sesepuh kepada ibu Kunti. Mereka datang dari penjuru lereng, rela menempuh perjalanan semalaman demi menyambut kelahiran bayi, tepat sesuai prediksi. Bayi lahir dengan selamat di puncak penantian.
Ada seseorang lain paling bahagia tak terkira adalah Sang Ayah yang mendengar kabar kelahiran putra ketiga. Ia bergegas pulang menuju kediaman Satringa. Hunian tentram, jauh dari hiruk pikuk pusat kota.
Langkah kaki kuda putih terangkat disertai ringkik melengking. Berhenti tepat di ujung jalur depan rumah pondoknya. Disusul gegap gempita, derap kaki tuan penunggang turun ke tanah. Dialah Pandu, ayah dari bayi yang lahir di kediaman, berlari kecil menuju teras rumah yang tampaknya ramai didatangi warga.
"Putraku, ayah datang," ujar Pandu disambut bayi mungil di pelukan istrinya. Wajah bayi antara menangis dan tersenyum, "Wajah ini, untuk apa dihiasi tangisan dan siapa yang mengajarimu tertawa?" Ayah Pandu mengoceh di depan raut bayi mungil, beralih dalam dekapannya. Ayah Pandu tertawa ringan. Istrinya pun tersenyum berbinar. Letih dan sakit, namun terbayar.
"Baratasresta, itu namamu, putraku sayang," ujar Pandu menimang. Hampir lupa semua tugas yang ditinggalkan. Hari ini, seperti hanya ada anak di hati dan kehidupannya. Ketika istrinya berbicara, barulah ia tersadar. Istrinya segera menyela.