Belasan tahun berlalu. Suatu hunian pondok terpencil, terdapat belasan murid usia muda menimba berbagai ilmu spiritual dan sastra kepada seorang guru. Ia seorang resi yang seumur hidupnya memilih jalan kesunyian dalam pertapaan di dekat sungai panjang melintasi lereng gunung. Ia pula yang mengangkat Arjuna sejak usia 1 hari. Kesaktian Tuan Guru menjadi misteri dan jarang ditampakkan.
Suatu ketika di ujung senja, Tuan Guru berbincang dengan Arjuna.
"Sembunyikan selalu identitasmu, Sawyaci. Ilmu memanah yang aku turunkan padamu, sudah mencapai yang terbaik dari semua muridku. Tetapi kau perlu mengasahnya di dunia luar, bukan sekedar berkutat di persinggahan terbatas ini," bernada tegas, Tuan Guru mengingatkan Arjuna.
"Jadilah dirimu dengan nama lain," perintah sekaligus permintaan, Tuan Guru bersebelahan dengan Arjuna, menatap langit senja sebagai batas antara guru dan murid setelah bertahun-tahun bersama.
Tuan Guru, orang paling tahu tragedi mengerikan yang pernah melanda Arjuna dan keluarganya. Bersembunyi dari dunia luar, setelah kejadian kebakaran yang disengaja pihak tertentu, mereka menginginkan Arjuna dan keluarganya binasa. Mereka khawatir akan darah biru yang mengalir di dalam jiwa raga Arjuna, kelak menuntut kekuasaan atas pemerintahan Hastinapura. Orang-orang berhati iri dengki yang berniat menghabisi Arjuna dan semua keluarganya. Beruntung, Arjuna dan keluarganya selamat. Hidup dalam pengasingan dan menyamar sebagai rakyat jelata, jalan satu-satunya untuk melanjutkan kehidupan. Namun sebuah takdir besar sesungguhnya menunggu.
"Hamba belum menemukan nama untuk penyamaran kali ini. Dari waktu ke waktu, selain untuk melindungi diri dan keluarga, nama apalagi yang hendak menyandang diri hamba?" tanya Sawyaci, sebenarnya nama lain, pemberian gurunya sejak Arjuna masih bayi. Seketika ia bertekut lutut di hadapan Tuan Guru.
Usia Arjuna memasuki 16 tahun. Muda belia tetapi mewarisi hampir semua ilmu kanuragan dan kemampuan gurunya. Bahkan mendekati waktunya kelulusan, Tuan Guru memberi perintah pada Arjuna agar berguru pada orang lain yang lebih tinggi ilmunya. Yang memiliki kedigdayaan dan spiritual lebih dalam. Itu sebabnya Tuan Guru memerintahkan Arjuna pergi ke desa seberang, sehubungan wangsit yang didapatnya setelah bersemedi berbulan-bulan.
"Kamulah yang paling pandai ilmu asmara. Danasmara, pemilik mantera penakluk hati dan jiwa. Bagaimana, kau suka nama itu?" Tuan guru tersenyum lihai.
Arjuna sedikit berkedip-kedip cepat matanya, kedua alisnya berkerut, tanda serius heran. Namun tak ragu menerima nama itu.
"Danasmara, hamba sangat suka. Sejak hari ini, hamba menyandang nama itu," jawab Arjuna menyanggupi. Walaupun di mata gurunya, Arjuna tetaplah seorang Sawyaci.
"Mulai pekan depan, bermukimlah di desa seberang. Di sana banyak pertunjukan atraksi setiap akhir bulan. Temukan pengalaman baru. Takdir akan menemukanmu dengan siapa selanjutnya kau akan berguru. Sebelum pergi ke sana, kau boleh mengunjungi keluargamu terlebih dahulu," kata Tuan Guru.
"Baiklah, Tuan Guru," jawab Arjuna. Lantas gurunya berbalik meninggalkan Arjuna, saat ini sudah menggelar nama Danasmara. Walaupun belum terbiasa dengan nama itu. Arjuna sesekali komat-kamit menyebut nama barunya.
"Danasmara ...."
"Jangan lupa, sekalian besok pagi, aku hendak mewarisimu sesuatu dari milikku yang berharga. Datanglah ke pertigaan sungai!" nampak punggung, Tuan Guru berkata sambil menjauh.
Arjuna terdiam menunduk, seolah menjawab dalam kesendiriannya, "Baik, Tuan Guru," sangat patuh ia terhadap apapun perintah gurunya.