“Juna, tolong urus maba yang sok kecentilan itu.” Siska, melipat alis dan memajukan bibir beberapa senti. Nampak kejengkelan sudah di ujung rambut. Siap rontok.
“Apaan sih lu, Sis? Dia 'kan cewek. Jangan gue, dong.” Juna sewot saja mengelak lemparan Siska.
“Sepertinya cuma kamu yang bisa menaklukkan dia.” Ketus. Sembari melenggang meninggalkan lapangan. Menyisakan sesosok gadis berdiri pucat pasi. Siap menunggu eksekusi. Terpaksa Juna mengikhlaskan muka alimnya untuk mendekati.
“Kamu kenapa dihukum Kak Siska?” Juna bukan senior yang galak. Tampang pun tak bisa menunjukkan kesan itu. Namun saat dia sudah mengeluarkan suara baritonnya, jangkrik harus berhenti mengerik. Burung akan tetiba berhenti berkicau.
“S..sa..ya, tidak tahu, Kak.” Seperti sedang berendam di telaga. Maba itu merasa lebih damai. Namun tak urung bibirnya kelu karena menggigil.
“Namamu siapa?” Juna masih saja dingin.
“Wulan, Kak.” Makin terbenam muka maba bernama Wulan itu. Pasrah menerima konsekuensi, dari kesalahan entah apa yang sudah dia perbuat.
“Oh, Wulan anak Pak Pembantu Dekan? Mau belagu di sini? Merasa bebas berbuat apapun? Mentang-mentang anak pejabat kampus?” Deras kalimat Juna bagai hujan di musim kemarau. Mata Wulan menggenang. Sedetik kemudian butiran bening meluncur bebas mengiringi kalimat Juna setelahnya.