Juna menghela nafas. Serasa ada gumpalan karbondioksida yang menyumbat alveolusnya. Peristiwa belasan tahun lalu hadir menari di pikirannya.
“Kak Juna, aku nggak mau punya rambut panjang. Ribet. Gerah.” Gadis kecil itu menggelendot manja di pangkuan kakaknya.
“Tak boleh begitu. Rambut panjang membuatmu cantik. Jangan dipotong, ya?” pinta Juna memohon.
“Aku mau rambut pendek, Kak.”
“Jangan, Dik. Nanti kamu mirip anak laki-laki.”
“Aku mau pakai jilbab aja, Kak. Boleh, khan?” Sahutan ringan Laras membuat matanya berbinar. Sempurna membuat Juna tersenyum bahagia. Mengangguk merestui.
Setitik embun menetes dari sudut mata Juna.
Mengenang Laras adalah kebahagiaan yang perih. Gadis cantik, lincah, lucu. Satu-satunya adik perempuan yang dia miliki. Semua orang menyayangi. Namun Allah berkuasa menjemput lebih dini. Sebelum dia sempat mewujudkan cita-cita mulianya.
Sesak di dada Juna belumlah mereda. Bayangan Laras masih menggenang di pelupuk mata. Lengking jerit kesakitan saat tubuh mungil itu terhantam sepeda motor. Di pinggir jalan raya, depan sebuah salon.
Juna beristighfar. Mengusap wajahnya. Menarik nafas panjang. Lalu melepaskan bersama debu kesedihan yang membelenggu jiwa. Rasa bersalah karna tak mampu menjaga adiknya dengan baik.
Andai Laras masih ada, mungkin saat ini sudah masuk kuliah. Tiga tahun selisih usia keduanya.
Wulan. Hadir seolah melalui lorong waktu. Entah mengapa sosok Laras sempurna menjelma pada diri Wulan. Semuanya. Bahkan lesung pipit Laras pun tercetak jelas di pipinya.