"Kak, aku mohon. Sekali ini saja. Tolong ijinkan." Sudah lebih dari satu jam Juna membujuk Satria. Nihil.
"Lelaki itu sudah bukan ayah kita lagi, Juna. Kamu jangan sekali-kali mencarinya." Mata Satria memerah. Menahan amarah yang meletup di dada.
"Ini permintaan Ibu, Kak. Mengertilah."
"Ibu juga. Ngapain masih memikirkan lelaki brengsek itu?"
Wening seketika memegang erat lengan Satria. Mengedipkan mata berharap suaminya bisa mengendalikan diri. Amarah itu hampir meledak.
"Kak, seburuk apapun dia, tak ada istilah mantan ayah." Meski Juna pun teramat benci lelaki itu. Namun sendu di mata Ibu kemarin itu meluluhkan beku di hatinya.
"Tak usah kau mengajari aku!" Ditatapnya tajam mata Juna. "Lelaki itu berkhianat tepat di depan muka Kakak. Saat itu kau masih terlalu kecil untuk mengerti." Mata Satria mendung. Mengulum rinai yang hampir berderai.
Juna tak pernah melihat kakaknya semarah itu. Kakak iparnya sampai harus mencengkeram lengan Satria karena bergetar.
Setetes peluh meluncur dari pelipis Juna. Ia menyerah. Satria tak akan merestui. Padahal satu-satunya jalan hanya itu. Menemui mantan sekertaris ayah di Sukabumi. Dia pasti tahu keberadaan ayah saat ini.
"Lebih baik fokus saja pada kuliahmu. Jangan kecewakan kami."
Juna menggangguk pelan. Kalimat Satria tetap berenergi tinggi, meski sudah lebih lunak. Ia masih berharap sang kakak akan berubah pikiran. Dan merestui usahanya.