"Hati-hati dong, Jun. Sampai kesedak gitu?" Wisnu menepuk-nepuk punggung Juna. Juna menata nafas satu-satu. Melerai oksigen yang berebut memenuhi tenggorokan.
"Kenapa tanya gue?" Dengus Juna setelah terbebas dari jebakan udara di jalan nafasnya.
"Wulan kan naksirnya sama kamu."
"Ya tanya aja ke dia." Meski hati sungguh tak rela.
"Habis ini gue pasti tanya. Setelah kamu ikhlasin dia." Wisnu nyengir kuda. Matanya menatap Juna penuh harap. Seyakin itulah ia. Paham betul bahwa Juna akan merelakan.
Juna membuang pandang ke rerimbun aglonema di samping meja. Menyapu tiap helai daun. Meninggalkan goresan aksara di atas epidermis. Otaknya menerawang entah sampai dimensi mana.
Juna tak pernah sekalipun mengungkapkan rasa pada Wulan. Meski ia tahu, Wulan begitu ingin menjadi kekasihnya. Bukan karena tak ingin. Hanya saja ada sesuatu yang hingga kini serasa menahan dirinya.
"Kamu serius, tak punya hati padanya kan, Jun?"
"Serius," jawab Juna lirih, setenang mungkin. Berharap Wisnu tak membaca keraguan di matanya.
Diam adalah pilihan terbaik. Meski gejolak dalam hati mendesak untuk dimuntahkan. Sekian waktu dan kisah, seharusnya Wulan telah menangkap sinyal cintanya. Walaupun masih masih lemah. Berkedip-kedip. Timbul tenggelam.
Wulan adalah penyemangat hidup. Ringan langkahnya menuju kampus, sebab gadis itu. Cukup melihat senyum manis itu lewat jendela kaca. Gembira hatinya.