"Apakah ini serius, Dok?" Prof Hendri terlihat masih di ruangan praktek dokter spesialis bedah syaraf.
"Ini baru sebatas dugaan, Prof. Dibutuhkan pemeriksaan fisik lebih lanjut."
"Apa yang harus kami lakukan?"
"Tidak perlu terlalu khawatir. Kita berhusnuzan saja pada Allah." Sang dokter tersenyum menguatkan. Meski dampaknya tak cukup signifikan mengurai kecemasan.
Kegelisahan tergurat nyata di kening Prof Hendri. Ia yang hampir selalu membersamai keseharian mahasiswanya itu. Ada saat kondisi apapun yang dialami. Meski belumlah terlalu ingin membuka diri padanya.
Prof Hendri masih berbincang dengan dokter. Sementara Juna setia duduk di depan kamar praktek. Menunggu resep obat dari apotek. Mendung menggelayut di hatinya. Pusingnya kali ini sungguh tak biasa.
"Terimakasih, Dok. Kami akan datang lagi begitu obat habis." Terlihat Prof Hendri sudah keluar. Bejabat tangan, mohon undur diri. Bersamaan Juna menerima resep dan penjelasan dari apoteker.
"Bagaimana kondisimu, Jun?" tanya Prof Hendri sesaat setelah mobil melaju.
"Alhamdulillah, sudah mendingan, Prof. Entah harus bagaimana saya berterimakasih. Untuk kesekian kalinya Prof selalu membantu saya." Terbata Juna mencoba mengungkapkan rasa. Dijawab dengan tertawa saja.
"Kamu menyimpan masalah apa?"
"Tak ada, Prof. Andaipun ada, bukan masalah yang serius. Biasa saja."
Mereka berjalan dalam diam. Dengan pikiran masing-masing yang tak saling bertautan. Mengalihkan pandang ke luar jendela mobil.
Drrrrttt!
Gawai Juna bergetar. Ia bahkan lupa sejak tadi sudah banyak notifikasi. Benar saja. Puluhan panggilan terabaikan. Belasan chat dari satu nomor yang sama.
[Kak, dimana? Bagaimana kondisinya?]