Rinai pertama di awal bulan Januari. Tanah yang membasah. Menyatu dengan hujan yang dirindukan. Bumi yang gersang seketika menjelma rupa. Memancarkan aura bahagia. Menghijau, menerbitkan harapan sesiapapun memandang.
Juna masih menikmati tetes langit dari sebalik jendela. Irama yang indah, menimpa dedaunan. Sejenak berkumpul untuk kemudian meluncur bebas. Rebah memeluk tanah.
Tik-tik-tik.
Entah berapa lusin kali ia mengikuti ritme alam itu. Sungguh menawan. Secangkir coklat panas ikut menghangatkan pagi. Asap yang masih mengepul, bersatu dengan hembusan nafasnya. Membentuk embun kala bertemu di permukaan kaca.
"Sarapan yuk, Jun." Teriakan Ibu meski samar, membuyarkan lamunan.
"Iya, Bu. Segera datang." Juna belum beranjak. Masih enggan berpisah dengan hujan.
Sekali lagi menghembuskan nafas. Menyusuri lorong waktu yang telah berlalu. Slide-slide peristiwa bermunculan di ruang memori. Begitu kuat mempengaruhi jiwanya.
Ayah, lelaki yang kata ibu begitu mencintainya, ternyata satu-satunya orang yang paling tega menyakiti. Bukan sekali dua kali. Bahkan sampai tega merampas hak milik. Rumah ibu. Warisan dari kakek.
Ibu memutuskan tinggal di toko roti. Satu-satunya harta yang bisa beliau pertahankan. Meski Satria membujuk untuk tinggal bersama. Bukan tidak ingin. Hanya saja ibu lebih nyaman tinggal berdua dengan Juna di toko.
Juna akhirnya menyelesaikan gelar sarjana. Meski harus dengan susah payah. Setelah Wulan mengakhiri dengan sepihak, ia tumbang. Terhempas hantaman gelombang luka yang bertubi-tubi, kuliahnya berantakan. Nasehat ibu dan Satria tak ada yang mempan.
[Kak Juna, maafkan aku. Mohon ikhlaskan segala salahku selama ini.]