Bergeraklah, maka kau akan mencetak sejarah.
-Istie
Gemericik air seolah berbisik. Perlahan menyusuri celah-celah sempit di antara bebatuan. Mencipta riak indah di setiap liukan. Terus bergerak tiada putus. Menerjang segala rintang.
Seorang pemuda duduk di salah satu bongkahan batu. Menikmati aliran air yang berirama dengan alam. Satu tangan terjulur menyibak barisan bening. Merendamkan kaki dengan celana tergulung. Dinginnya menyusup hingga terasa di dada.
Kontras dengan suasana alam yang begitu damai. Jauh di benaknya justru riuh ramai. Penuh riak dan jeram.
"Juna, sebaiknya kamu segera terbuka kepada keluargamu." Perkataan Rama itu masih terngiang. Juna menggeleng cepat. Berkali-kali.
"Tidak, Mas. Aku tak bisa."
"Apa kau tak kasihan dengan ibu dan Kak Satria?"
Pertanyaan yang sama sekali tak perlu jawaban. Mereka berdua adalah alasan bahagia Juna. Tak ingin sedikitpun membuat mereka bersedih.
"Biarlah mereka mengetahui saat aku sembuh nanti. Tolong jaga rahasia ini."
Rama mengusap kening. Sama sekali tak mengerti dengan jalan pikiran Juna. Entah itu kalimat optimis, sebuah harapan, atau sebaliknya. Bagi Juna, ia hanya mencoba berbaik sangka dengan kehendak Tuhan.
Sejauh ini Rama masih bisa memegang janji itu. Ia tak membicarakan perihal penyakit Juna. Meski pada keluarganya sekalipun. Ia pula yang mendampingi setiap kali Juna uji laboratorium.
Sampai kapan aku harus menyembunyikan ini, Ya Rabb? Sejujurnya, Juna pun ragu dengan keputusannya itu.
Perlahan ia merogoh saku jaket. Mengambil sebuah amplop. Membukanya perlahan. Mengeja huruf demi huruf yang tertulis di sana.
Bulir bening jatuh dari matanya. Inikah akhirnya?
Aaaaahhhhh!